Thursday, December 25, 2014

PASINAON, MISTISISME KEDOKTERAN JAWA


Judul Buku   : Pasinaon
Penulis           : AA Yurisaldi
Penerbit        : Pinus Book Publisher, Yogyakarta
Cetakan         : Cetakan 1, April 2010
Tebal              : 131 hlm

Temen, pinter, nglakoni, sabar, dan nekani sebuah filosofi jawa, tertulis di sebuah pentagram yang tergantung di dinding rumah kawedanan. Sebuah simbol memiliki kekuatan magis untuk memusnahkan sihir jahat dari para penganut ilmu Kalakembar yang diwariskan turun-temurun oleh keluarga keturunan Belanda. Konon, seorang Resi sakti bersama temannya mengembangkan ilmu kebatinan untuk membantu Raja Pajajaran dalam mempertahankan wilayahnya dari ekspansi Majapahit. Walhasil terciptalah ilmu yang diberi nama Kalakembar yang tersimpan dalam dua kitab. Sebuah kitab dilarikan temannya yang berkhianat menuju Timur Tengah dan satunya lagi dicuri muridnya sendiri dengan cara membunuh sang Resi. Namun, bak pepatah di atas langit masih ada langit. Sebelumnya sang Resi telah menciptakan cincin Kalamunyeng yang diberikan kepada adik seperguruannya untuk menangkal kekuatan dari ilmu Kalakembar, sekaligus menghantam balik penggunanya.
Pewaris Kalakembar merah dan hitam secara tidak terduga bertemu dalam ikatan keluarga seorang dokter Belanda dalam lingkungan NIAS (Netherlands Indiche Artsen School) pada tajun 1929 di Surabaya. Di bawah bimbingan wanita usia senja pengikut gypsi, para penganut ilmu Kalakembar menggencarkan serangan sihir kepada orang-orang yang dibencinya. Sebut saja Raden Oerip, seorang bendahara pemerintah kota Malang, menggunakan ilmu tersebut untuk membunuh jaksa penuntut khusus kasus korupsi yang menjeratnya. Selang beberapa lama, Raden Oerip bertemu dengan pemilik cincin Kalamunyeng yang tidak lain adalah suami teman lamanya, Mas Ngabehi Akadikoen. Raden Oerip tewas mengenaskan dengan tanda tato sepasang kalajengking merah pada pergelangan tangannya.
Kisah penganut ilmu Kalakembar tidak berhenti sampai di situ. Kutukan dan sihir Kalakembar turun diwariskan kepada dua dokter wanita keturunan Belanda, berikut sifat dan peringai yang jahat. Amari dan Lyna, begitu mereka disapa memiliki dendam pada salah satu mahasiswa kedokteran NIAS bernama Herman yang tidak lain adalah keturunan pemilik cincin Kalamunyeng. Herman terkena serangan nyeri pada perut yang begitu hebat. Gejala-gejala yang muncul dianalisis, tidak menghasilkan diagnose yang ilmiah. Di sinilah pertarungan ilmu kedokteran dan magis sangat kental terasa. Saat semuanya terasa sia-sia, Herman mendapat saran dari ayahnya, pemilik cincin Kalamunyeng untuk dibersihkan dari segala macam guna-guna. Di bawah bimbingan sang Guru, Eyang Marnu, butir-demi butir paku berkarat keluar dari perut calon dokter muda tersebut.  Ritual terakhir adalah mandi di sungan Mendit, kaki Gunung Bromo. Akadikoen juga merapalkan wirid untuk menangkis serangan sihir tersebut datang kembali dengan wirid yang sama dia baca ketika terkena serangan yang serupa puluhan tahun silam. Sebuah amalan dari RM. Sostokartono, sang Maha Guru bersama surat yang penuh makna dan filosofi.
Surat itu berbunyi:
Ngloeroeg tanpa bala, menang tanpa ngasoerake. Biarkan sadja orang jang soeka berboeat jahat, jang penting kita perbaiki diri teres sahadja, mereka akan maloe sendiri. Harap berhati-hati sanget, terhadap orang jang pernah memfitnah dari arah selatan Krakasan. Batjalah doa jang pernah saia berikan, dan lihatlah di dalam bantal Dimas Akadikoen. Rahajoe. Joko Pring.
Singkat cerita, Herman yang sudah sembuh dari penyakitnya, membuka album foto lama yang berisi foto Suhu Go Boen Bie, seorang arif keturunan Tionghoa yang merupakan teman lama ayahnya. Dalam album tersebut, terdapat catatan kaki yang bertuliskan: genteng saponono, abot enteng  yo lakonono bakal sirno ilang Kalakembar. Sabar, pinter, temen, waspodo akeh kala.. akeh kala.. waspodo. Tulisan yang memuat pentagram riasan dinding rumahnya. Herman mengambil pentagram tersebut dan melihat gambar kalajengking hitam dan merah dibelakangnya. Jari-jari Herman yang memakai cincin Kalamunyeng mengusap satu persatu gambar kalajengking tersebut dan tiba-tiba lenyap menjadi kanvas putih. Hilangnya gambar tersebut menandai musnahnya sihir jahat Kalakembar, yang dibuktikan dengan meninggalnya Amari, Lyna, dan semua keturunan penganut sihir itu dengan kematian yang mengenaskan, bertato kalajengking beraroma kemenyan Arab.
Novel yang menyajikan cerita mistis dengan analogi ilmu kedokteran menjadi tulisan menarik untuk dibaca. Yurisaldi juga mengambil setting dan tokoh yang sarat sejarah, seperti istilah kawedanan, yang kental dengan setting zaman penjajahan. Munculnya tokoh sampiran RM Sosrokartono ikut melengkapi nuansa historis dalam novel ini, mengingat beliau adalah filosof Jawa yang hidup di era kolonialisme. Pembaca juga bakal menjumpai harmonisasi social di lingkungan kawedanan. Kisah sahabat seperguruan Go Boen Bie dengan Akadikoen menjadi hubungan multicultural yang terjadi di era penjajahan, terlepas dari fiktif tidaknya kedua tokoh ini.
Kesulitan yang dijumpai pembaca dalam novel ini adalah penalaran alur cerita. Alur yang digarap Yurisaldi terkesan meloncat-loncat tanpa ada pengantar pada saat zoom in atau pun zoom out membuat pembaca bingung mengenai setting waktu yang berlangsung. Munculnya tokoh-tokoh sampiran dengan nama yang sulit dieja oleh pembaca awam, tanpa memahami posisi tokoh tersebut, juga menjadi kendala tersendiri dalam menikmati sajian novel ini. Over all, novel ini layak diapresiasi. Seorang dokter yang mampu mengawinkan ilmu kedokterannya dengan kisah mistis, historis, dan humanis. Good Job Dok!


No comments :

Post a Comment