Perjalanan kini semakin melelahkan. Bimbang, ragu, putus asa
senantiasa menjadi duri penghalang langkah. Setelah lepas dari beban kuliah,
nampaknya babak hidupku semakin hilang arah. Kemantapan hati mulai goyah, dan
aku perlahan kafir terhadap komitmen yang telah ku pegang erat berpuluh-puluh
tahun. Persepsi akan kerja selalu berujung harta. Tatkala aku menyusuri jalan
yang telah ku babat alas, rasanya semakin dalam ku susuri semakin lelah,
dahaga, dan lapar. Hanya gerutu yang ku temu, tak ada emas ataupun seloka. Aku
merasa hidupku akan berujung nista, apabila tak ada perubahan yang berarti.
Mulai itu, dunia mengesampingkan Tuhan. Ibadah hanya soal sempat, rupiah
semakin memikat. Begitu mudahnya hati manusia ditipudaya oleh dunia, sehingga
aku mewakili manusia kehilangan kesadaran sosial dan spiritual.
Selepas menjalankan rutinitas kerja yang menguras emosi dan
duit, gerutuku mulai menjadi-jadi. Caci-maki tak lagi gengsi. Ku tarik gas
motor yg lama tak mencicipi servis bengkel, seraya menyulut jengkel. Pandanganku
kabur, melebur bersama asap knalpot yang terbatuk-batuk. Tepat di persimpangan
jalan, ku temui sosok-sosok yang menggugah mata batinku. Nampak dua tiga petani
yang tampak letih melaksanakan sembahyang di tepi sungai. Bahkan baju yang
dikenakan masih tampak berlumur lumpur, walau sudah berendam di sungai sembari
mengambil air wudhu. Betapa teduhnya suasana itu, yang sedikitpun tak pernah
terbayangkan dalam benakku –saat itu. Di tempatku, biasanya setinggi apapun
titel panggilan seseorang, kalau sudah mencebur di sawah ntah daut, tanem,
ngedos, panen, dsb apalagi kalo sistemnya borongan, ibadahnya dikesampingkan.
Bahkan adzan pun tidak dihiraukan.
Mereka beda, entah apa benar yang aku lihat adalah para
petani, atau malaikat yang menyamar menjadi sosok yang sangat ta’dzim menghadap
sang pencipta. Sayup doa mereka panjatkan, mulai dengan syukur atas rezeki yang
didapatkan setengah hari ini, mengucap shalawat kepada Nabi, sampai doa-doa
yang tak pernah aku lafalkan sebelumnya. Pernah, tapi aku berdoa cuma dengan
lisan. Tak kuasa air mata ini meleleh, walau tak sampai jatuh hanya bergumul di
kelopak mata. Aku sadar, Tuhan memberi jalan rezeki kepada hamba-Nya yang
bersabar dan bekerja keras, dan senantiasa memenuhi panggilan-Nya. Jalan itu
terkadang sulit dan berliku, kadang pula licin atau mulus. Aku harap, jalan
rezeki yang kutempuh, tak peduli bagaimanapun bentuknya, senantiasa memberi
keberkahan dalam hidupku. Apa guna harta melimpah kalau tidak bisa memberi
ketenangan hati, malah menjauhkan ku dari Sang Pemberi Rezeki. Tuhan, ridhoi
perjalananku ini, doaku dalam hati, sembari menancap gas motorku untuk kembali
pulang. Mengerjakan sisa-sisa harapan ku yang masih dalam angan-angan.
No comments :
Post a Comment