Malam tak
menyisakan setitik cahaya di ruangan gelap gulita. Ruangan itu bagai kolong
yang tak memiliki celah untuk menyelipkan sinar rembulan. Sayup-sayup terdengar
rintihan wanita yang tengah mempertaruhkan nyawa demi melahirkan bayinya. Di
dekatnya tampak seorang laki-laki yang mondar-mandir mencari-cari perabotan
yang nantinya akan digunakan setelah anak keempatnya itu lahir. Minyak untuk
menerangi ruangan telah habis. Kain yang nantinya untuk pembungkus bayi pun
tidak ada. Sebagai lelaki, dia merasa tak berdaya melihat istrinya merintih
kesakitan sementara suaminya hanya mondar-mandir tidak berbuat apa-apa.
“Pak, coba
minta minyak ke rumah tetangga, siapa tahu mereka sudi meminjamkannya pada
kita.” Saran sang istri sembari menahan perih.
“Tapi, aku
sudah terlanjur berjanji untuk tidak menerima bantuan selain kepada Tuhan.”
Kata suami dalam hati. Ia pun pergi meninggalkan rumah, berniat menenangkan
hati istrinya untuk mencari minyak. Janji tetaplah janji, ia tak berani
mengingkari. Ismail, begitu nama suami itu pulang dengan tangan hampa. Sesampai
di rumah, ia menunggu kelahiran bayinya yang masih dalam proses persalinan. Tak
kuasa menahan kantuk yang mendera, ia tertidur. Dalam mimpinya ia bertemu
dengan sosok yang sangat terang parasnya, yang belum pernah ia temui
sebelumnya. Namun rasanya ia sudah kenal dengan sosok tersebut, melihat
ciri-ciri dan sifatnya yang agung. Ia baru menyadari, sosok itu adalah
Junjungannya, Rasulullah SAW. Beliau menenangkan hati Ismail.
“Jangan
bersedih hati. Anak perempuanmu yang baru lahir ini adalah orang suci yang
agung. Dia akan menjadi orang yang pengaruhnya dianut oleh tujuh ribu umatku.”
Sabda Beliau sambil menepuk bahu lelaki miskin itu.
“Besok
kirimkan surat kepada Isa Zadzan, Amir kota Basrah. Ingatkan padanya bahwa ia
biasanya bershalawat seratus kali untukku setiap malam dan pada malam Jumat
sebanyak empat ratus kali. Tetapi malam Jumat ini ia melupakanku, dan sebagai
hukumannya ia harus membayar denda kepadaku sebanyak empat ratus dinar.” Lanjut
Nabi, memberi solusi atas permasalahan yang dihadapi Ismail.
Tiba-tiba
sosok itu menghilang, dan gelap menyelimuti. Ismail terbangun dari tidurnya
kemudian menangis tersedu. Tangisannya sahut menyahut dengan tangisan bayinya
yang telah lahir beberapa menit yang lalu. Ia menghampiri bayinya.
“Selamat
Ismail, bayimu perempuan. Cantik, seperti ibunya.” Wanita yang membantu persalinan
istrinya. Ismail menggendong dan menciumi kedua pipi putrinya.
“Putriku,
putri keempatku. Kau ku beri nama Rabi’ah. Rabi’ah Al-Adawiyah.” Ucap Ismail
sembari mencium kening bayinya. Mereka menangis bersama.
Ismail
teringat dengan pesan Nabi pada mimpinya tadi. Ia bergegas mengambil secarik
kertas dan menggenggam pena. Ia menulis surat sebagaimana yang disampaikan oleh
Rasulullah untuk diberikan kepada Amir Kota Basrah. Surat itu ia titipkan
kepada pengawal surat pemimpin kota itu.
Amir membaca
surat itu dengan mata berkaca-kaca. Sambil menyeka air mata, ia memberi perintah
kepada ajudannya.
“Berikan dua
ribu dinar ini kepada orang miskin itu sebagai tanda terima kasihku, sebab Nabi
telah mengingatkanku untuk memberi empat ratus dinar kepada orang tua itu.
Katakanlah kepadanya bahwa aku ingin agar ia menghadapku supaya aku dapat
bertemu dengannya.”
Sejenak, Amir
berpikir. Lelaki yang mendapat mimpi itu bukanlah orang sembarangan. Tampaknya
tidaklah pantas mengundang orang seperti itu ke gedung ini, sementara yang
butuh adalah dia. Sang Amir kembali memanggil ajudannya.
“Aku sendiri
yang akan datang ke rumahnya, dan mengusap penderitaannya dengan janggutku ini.”
Perintah Amir. Rombongan penguasa basrah itu menuju gubuk di mana ayah Rabiah
tinggal. Sesampai di daun pintu, ajudannya mengetuk seraya mengucap salam .
Ismail menyahut dengan membalas salam dan membuka pintu untuk mereka. Betapa terkejutnya
laki-laki tua itu melihat rombongan Amir datang ke rumahnya yang kumuh dan
gelap gulita itu. Mereka dipersilakan masuk dan duduk bersama beralas tikar tua
yang terbuat dari pelepah kurma. Agar perbincangan itu berlangsung khidmat,
sang ajudan menyalakan lentera. Cahaya kecil yang muncul dari lentera itu
menyinari seisi sudut rumah. Si kecil Rabiah tersenyum simpul dalam gendongan
ibunya. Hembusan angin dan irama binatang malam turut mengiringi peristiwa itu
seraya memuji betapa salehnya penghuni rumah itu.
No comments :
Post a Comment