Wednesday, February 5, 2014

LENTERA MULAI MENYALA: RABI’AH AL-ADAWIYAH

Malam tak menyisakan setitik cahaya di ruangan gelap gulita. Ruangan itu bagai kolong yang tak memiliki celah untuk menyelipkan sinar rembulan. Sayup-sayup terdengar rintihan wanita yang tengah mempertaruhkan nyawa demi melahirkan bayinya. Di dekatnya tampak seorang laki-laki yang mondar-mandir mencari-cari perabotan yang nantinya akan digunakan setelah anak keempatnya itu lahir. Minyak untuk menerangi ruangan telah habis. Kain yang nantinya untuk pembungkus bayi pun tidak ada. Sebagai lelaki, dia merasa tak berdaya melihat istrinya merintih kesakitan sementara suaminya hanya mondar-mandir tidak berbuat apa-apa.
“Pak, coba minta minyak ke rumah tetangga, siapa tahu mereka sudi meminjamkannya pada kita.” Saran sang istri sembari menahan perih.
“Tapi, aku sudah terlanjur berjanji untuk tidak menerima bantuan selain kepada Tuhan.” Kata suami dalam hati. Ia pun pergi meninggalkan rumah, berniat menenangkan hati istrinya untuk mencari minyak. Janji tetaplah janji, ia tak berani mengingkari. Ismail, begitu nama suami itu pulang dengan tangan hampa. Sesampai di rumah, ia menunggu kelahiran bayinya yang masih dalam proses persalinan. Tak kuasa menahan kantuk yang mendera, ia tertidur. Dalam mimpinya ia bertemu dengan sosok yang sangat terang parasnya, yang belum pernah ia temui sebelumnya. Namun rasanya ia sudah kenal dengan sosok tersebut, melihat ciri-ciri dan sifatnya yang agung. Ia baru menyadari, sosok itu adalah Junjungannya, Rasulullah SAW. Beliau menenangkan hati Ismail.
“Jangan bersedih hati. Anak perempuanmu yang baru lahir ini adalah orang suci yang agung. Dia akan menjadi orang yang pengaruhnya dianut oleh tujuh ribu umatku.” Sabda Beliau sambil menepuk bahu lelaki miskin itu.
“Besok kirimkan surat kepada Isa Zadzan, Amir kota Basrah. Ingatkan padanya bahwa ia biasanya bershalawat seratus kali untukku setiap malam dan pada malam Jumat sebanyak empat ratus kali. Tetapi malam Jumat ini ia melupakanku, dan sebagai hukumannya ia harus membayar denda kepadaku sebanyak empat ratus dinar.” Lanjut Nabi, memberi solusi atas permasalahan yang dihadapi Ismail.
Tiba-tiba sosok itu menghilang, dan gelap menyelimuti. Ismail terbangun dari tidurnya kemudian menangis tersedu. Tangisannya sahut menyahut dengan tangisan bayinya yang telah lahir beberapa menit yang lalu. Ia menghampiri bayinya.
“Selamat Ismail, bayimu perempuan. Cantik, seperti ibunya.” Wanita yang membantu persalinan istrinya. Ismail menggendong dan menciumi kedua pipi putrinya.
“Putriku, putri keempatku. Kau ku beri nama Rabi’ah. Rabi’ah Al-Adawiyah.” Ucap Ismail sembari mencium kening bayinya. Mereka menangis bersama.
Ismail teringat dengan pesan Nabi pada mimpinya tadi. Ia bergegas mengambil secarik kertas dan menggenggam pena. Ia menulis surat sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah untuk diberikan kepada Amir Kota Basrah. Surat itu ia titipkan kepada pengawal surat pemimpin kota itu.
Amir membaca surat itu dengan mata berkaca-kaca. Sambil menyeka air mata, ia memberi perintah kepada ajudannya.
“Berikan dua ribu dinar ini kepada orang miskin itu sebagai tanda terima kasihku, sebab Nabi telah mengingatkanku untuk memberi empat ratus dinar kepada orang tua itu. Katakanlah kepadanya bahwa aku ingin agar ia menghadapku supaya aku dapat bertemu dengannya.”
Sejenak, Amir berpikir. Lelaki yang mendapat mimpi itu bukanlah orang sembarangan. Tampaknya tidaklah pantas mengundang orang seperti itu ke gedung ini, sementara yang butuh adalah dia. Sang Amir kembali memanggil ajudannya.
“Aku sendiri yang akan datang ke rumahnya, dan mengusap penderitaannya dengan janggutku ini.” Perintah Amir. Rombongan penguasa basrah itu menuju gubuk di mana ayah Rabiah tinggal. Sesampai di daun pintu, ajudannya mengetuk seraya mengucap salam . Ismail menyahut dengan membalas salam dan membuka pintu untuk mereka. Betapa terkejutnya laki-laki tua itu melihat rombongan Amir datang ke rumahnya yang kumuh dan gelap gulita itu. Mereka dipersilakan masuk dan duduk bersama beralas tikar tua yang terbuat dari pelepah kurma. Agar perbincangan itu berlangsung khidmat, sang ajudan menyalakan lentera. Cahaya kecil yang muncul dari lentera itu menyinari seisi sudut rumah. Si kecil Rabiah tersenyum simpul dalam gendongan ibunya. Hembusan angin dan irama binatang malam turut mengiringi peristiwa itu seraya memuji betapa salehnya penghuni rumah itu.

No comments :

Post a Comment