Pesona geologi Muria yang terbentang di tiga kabupaten, yakni
Kudus, Pati, dan Jepara memiliki riwayat yang sangat menarik. Konon pada zaman
dahulu gunung Muria berada di pulau tersendiri, terpisah dari pulau Jawa.
Menelisik akar sejarah Muria masih menjadi garapan serius para
peneliti yang belum pupus. Muria sebagai wajah gelogis, sebagai sumber budaya dan ekonomi,
serta religiositas yang melekat pada aktivitas masyarakat Muria masih menjadi
sumber kajian yang kaya untuk diteliti, dikembangkan, dan dilestarikan. Muria
sebagai bentuk fenomena alam dan sosial yang masih terpendam dalam gunungan sejarah
yang belum pernah tuntas untuk diangkat ke permukaan.
Bahkan penamaan “Muria” untuk gunung yang berjarak 18 km dari kota
Kudus ini masih menuai tanda tanya. Sholichin Salam, dalam bukunya Kudus
Purbakala Dalam Perjuangan Islam (1976: 47-50) pernah mengemukakan hipotesa
mengenai nama Muria. Dengan mengutip buku A Short Cultural History of
Indonesia karya Soetjipto Wirjosuprapto, ia berpendapat bahwa nama Muria
itu diidentifikasikan dengan nama sebuah bukit di dekat Yerusalem, Palestina.
Di sana terdapat Baitul Maqdis yang dekat dengan bukit yang bernama Gunung Moriah,
di mana Nabi Daud dan Nabi Sulaiman dahulu membangun sebuah kanisah.
Pulau dan Selat Muria
Pegunungan Muria yang terbentang di tiga kabupaten, yakni Kudus,
Pati, dan Jepara memiliki riwayat yang tidak singkat. Muria memiliki pengalaman
geologis yang menarik. Konon pada zaman dahulu gunung Muria berada di pulau
tersendiri, terpisah dari pulau Jawa. Fakta ini bisa dijumpai dalam beberapa
literature yang masih menuai kontroversi di kalangan peneliti.
De Graaf dan Pigeaud dalam bukunya Kerajaan-kerajaan Islam
di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram pernah menyinggung tentang selat
Muria ketika menggambarkan ekologi letak Demak. Pada zaman dahulu, Distrik Demak
terletak di pantai selat yang memisahkan Pegunungan Muria dari Jawa. Sebelumnya
selat itu rupanya agak lebar dan dapat dilayari dengan baik, sehingga
kapal-kapal dagang dari Semarang dapat mengambil jalan pintas untuk berlayar ke
Rembang. Tetapi sudah sejak abad ke-17, jalan pintas itu tak lagi dapat dilayari
setiap saat{ (1985: 37).
Selanjutnya disebutkan, pada abad ke-17, selama musim hujan
orang dapat berlayar dengan sampan lewat tanah yang tergenang air, mulai dari
Jepara sampai Pati, di tepi Sungai Juwana. Pada tahun 1657, Tumenggung Pati
mengumumkan niatnya untuk menggali saluran air baru dari Demak ke Juwana,
sehingga Juwana dapat menjadi pusat perdagangan. Boleh jadi, ia ingin
memulihkan jalan air lama, yang seabad sebelumnya masih bisa dipakai.
Dua sejarawan dari Belanda itu pun menggambarkan, Jepara
terletak di sebelah barat pegunungan yang dahulu adalah pulau (Muria). Jepara
mempunyai pelabuhan yang aman dan dilindungi tiga pulau kecil. Letak pelabuhan
ini amat menguntungkan bagi kapal-kapal dagang yang lebih besar, yang berlayar
lewat pantura Jawa menuju Maluku, dan kembali ke barat.
Pada abad ke-17, ketika jalan pelayaran pintas di sebelah selatan pegunungan ini tidak lagi dapat dilayari perahu-perahu yang lebih besar, akibat pendangkalan oleh endapan lumpur, Jepara pun menjadi Pelabuhan Demak. Adapun yang menjadi penghubung antara Demak dan daerah pedalaman di Jateng adalah Sungai Serang, yang sekarang bermuara di Laut Jawa antara Demak dan Jepara. Sungai Serang pada abad ke-18 masih dapat dilayari perahu-perahu dagang yang agak kecil, setidaknya hingga Godong (kini wilayah Kabupaten Grobogan).
Pada abad ke-17, ketika jalan pelayaran pintas di sebelah selatan pegunungan ini tidak lagi dapat dilayari perahu-perahu yang lebih besar, akibat pendangkalan oleh endapan lumpur, Jepara pun menjadi Pelabuhan Demak. Adapun yang menjadi penghubung antara Demak dan daerah pedalaman di Jateng adalah Sungai Serang, yang sekarang bermuara di Laut Jawa antara Demak dan Jepara. Sungai Serang pada abad ke-18 masih dapat dilayari perahu-perahu dagang yang agak kecil, setidaknya hingga Godong (kini wilayah Kabupaten Grobogan).
De Graaf dan Pigeaud (1985: 157) berani berspekulasi, daerah
hulu Sungai Lusi atau Serang kini bermuara di Laut Jawa, selatan Jepara.
Mungkin sungai ini dulu bermuara di selat yang dangkal yang melintasi Demak,
Pati, dan Juwana, serta memisahkan Pulau Muria dari daratan Jawa.
Dennys Lombard, sejarawan Prancis juga
pernah mengutarakan keberadaan pulau Muria dalam bukunya Nusa Jawa: Silang
Budaya. Menurutnya, di
sebelah timur Semarang terdapat Gunung Muria (1.602 m), sebuah gunung api yang
sudah tidak aktif lagi dan dulu merupakan sebuah pulau (Lombard, 1996a: 37)
Dia juga mengutarakan, daerah kunci pada masa kerajaan Demak terletak di bagiam tengah, sebelah-menyebelah selat yang memisahkan Gunung Muria dari tanah daratan Jawa. Daerah tersebut menjadi jalan lintas alami tempat kapal-kapal berlabuh. Pusat perekonomian, politik, dan keagamaan adalah Demak yang diperintah Pangeran Trenggana (1504-1546). (1996b:53)
Dia juga mengutarakan, daerah kunci pada masa kerajaan Demak terletak di bagiam tengah, sebelah-menyebelah selat yang memisahkan Gunung Muria dari tanah daratan Jawa. Daerah tersebut menjadi jalan lintas alami tempat kapal-kapal berlabuh. Pusat perekonomian, politik, dan keagamaan adalah Demak yang diperintah Pangeran Trenggana (1504-1546). (1996b:53)
Lombard mengatakan, pada tahun 1940 Orsoy de Flines memulai penelitian
sistematis di perbukitan Grobogan yang terbentuk dari endapan tersier, antara
Semarang dan Blora. Pada zaman dulu, saat Gunung Muria masih berupa pulau,
letak bukit-bukit di sekitarnya berdekatan dengan laut. Sekarang letak daerah
ini agak jauh dari tepi laut. Berdasarkan
studi-studi sejarah terdahulu, Lombard bahkan berani berspekulasi jika daerah
genangan air terusan dari pantai mencapai Kuwu (wilayah Kabupaten Grobogan).
Pada tahun 1967, R Soekmono membicarakan lagi beberapa kesimpulan dari laporan Orsoy de Flines dan coba menelusuri kembali tepi pantai lama, serta meyakini Kota Medang Kuno yang sering disebut dalam berbagai prasasti abad ke-9 dan ke-10 —bahkan masih dikenang dalam beberapa dongeng— terletak di tepi Sungai Lusi, di selatan bukit-bukit Grobogan, dekat Desa Kuwu sekarang.
Di situlah agaknya terletak kota pelabuhan itu, pada bagian dalam muara yang dapat dimasuki kapal, tetapi jauh dari bangunan-bangunan suci di dataran Kedu. Untuk mendukung hipotesis yang baru dapat dibenarkan setelah diadakan penggalian sistematis di daerah itu, Soekmono mengingatkan suatu kutipan dalam Xin Tangshu tentang {sumber air asin alami{ yang menyangkut He-ling. Perlu diketahui, satu-satunya sumber air asin alami di Jawa itu hanya ada di Kuwu, dekat Sungai Lusi, tempat para petani mengambil garamnya sampai sekarang. (Lombard, 1996b: 15).
Pada tahun 1967, R Soekmono membicarakan lagi beberapa kesimpulan dari laporan Orsoy de Flines dan coba menelusuri kembali tepi pantai lama, serta meyakini Kota Medang Kuno yang sering disebut dalam berbagai prasasti abad ke-9 dan ke-10 —bahkan masih dikenang dalam beberapa dongeng— terletak di tepi Sungai Lusi, di selatan bukit-bukit Grobogan, dekat Desa Kuwu sekarang.
Di situlah agaknya terletak kota pelabuhan itu, pada bagian dalam muara yang dapat dimasuki kapal, tetapi jauh dari bangunan-bangunan suci di dataran Kedu. Untuk mendukung hipotesis yang baru dapat dibenarkan setelah diadakan penggalian sistematis di daerah itu, Soekmono mengingatkan suatu kutipan dalam Xin Tangshu tentang {sumber air asin alami{ yang menyangkut He-ling. Perlu diketahui, satu-satunya sumber air asin alami di Jawa itu hanya ada di Kuwu, dekat Sungai Lusi, tempat para petani mengambil garamnya sampai sekarang. (Lombard, 1996b: 15).
Sumber: Geologi UPN, Prof Bambang, 2005, Peta
Muria Lama
Fakta ini diperkuat oleh pernyataan M. Widjanarko, direktur Muria
Research Center (MRC) Indonesia. Ia menuturkan bahwa dari segi sejarah
geologinya, kawasan Muria pada abad VIII terpisah dari Pulau Jawa dan memiliki
Selat Muria. “Pada abad IX, wilayah daratan Kudus mulai terbentuk, bersamaan
mulai berkembangnya kerajaan Mataram kuno.” Tutur Widjanarko. Mengutip pendapat
Van Bemmelen (1949) ia memprediksi, arah sedimentasi yang terus menerus dari
Pulau Jawa melalui pendangkalan sungai-sungai yang mengalir ke arah selat yang
menghubungkan kedua pulau pada waktu itu, dengan kecermatan sedimentasi 30
meter per tahun, maka lama kelamaan selat tertutup dan kemudian menjadi daratan
hasil proses sedimentasi.
Tidak Aktif, Namun Berpotensi
Mengenai status Gunung Muria, Widjanarko mengemukakan bahwa
berdasarkan klasifikasi Direktorat Vulkanologi Gunung Muria tidak termasuk
gunung api aktif dan diklasifikasikan sebagai Gunung Api Maar. Dia juga
mengutip pendapat Schiedecfer (1959) dalam
penelitian Sutikno Bronto dan Sri Mulyaningsih pada Jurnal Geologi Indonesia
2007, Gunung Api Maar adalah cekungan yang uumnya terisi air, berdiameter
mencapai 2 km dan dikelilingi oleh endapan hasil letusannya. Gunung Api maar yang cekungan kawahnya tidak berisi air
disebut sebagai maar Kering. Maar
juga diartikan sebagai kerucut gunung api monogenesis yang memotong batuan
dasar dibawah permukaan air tanah dan membentuk kerucut berpematang landai yang
tersusun oleh rempah gunung api berbutir halus dan kasar, mempunyai diameter
kawah bervariasi antara 100-3000 m yang terisi air sehingga membentuk danau. “Jadi,
meskipun tidak termasuk gunung api aktif namun Gunung Muria memiliki potensi
letusan jika terjadi perubahan proses geologi pada wilayah tersebut.” Tegasnya.
Pesona Geologi Muria
Widjanarko menyebutkan jenis bentang alam Muria. “Bentang Alam
Semenanjung Muria terdiri atas dataran, perbukitan, dan pegunungan dimana
proses geomorfologi dikontrol oleh kegiatan gunung api.” Jelasnya. Daerah
dataran menempati seleluruh pantai barat, utara dan timur serta dataran
Kudus-Pati disebelah selatan. Litologi penyusun daerah dataran adalah bahan
rombakan berupa endapan lahar dan alluvium. Selain itu dijumpai pula endapan
piroklastika dan lava.
Adapun daerah perbukitan merupakan kaki dan lereng bawah Gunung
Api Muria, Gunung Api Genuk dan sekitarnya serta perbukitan yang terletak pada
Gunung Api Pati ayam.Di Gunung Api Pati ayam yang sekarang terdapat proyek
penggalian fosil hewan purba juga diduga terdapat ikatan riwayat dengan Gunung
Muria. Litologi penyusun daerah perbukitan
adalah lava, piroklastika dan lahar. Daerah pegunungan meliputi kawasan
puncak Gunung Muria dan puncak Gunung Genuk merupakan pusat erupsi. Batuan
penyusun terdiri atas lava, intrusi dan breksi piroklastika.
Kepercayaan Muria Purba
Peradaban primitif Muria juga masih
menjadi tanda tanya besar. Menurut Mastor, masyarakat Muria (khususnya Colo
–red) pra-Islam memiliki kepercayaan animisme. Dia mengungkapkan, bekas-bekas
kepercayaan itu masih terasa pada akhir tahun 1950-an ketika sebagian
masyarakat mengadakan ritual bakar menyan setiap malam jumat, memberikan sesajen,
dan sebagainya sebagai sarana untuk meminta rezeki dan pertolongan.
Hal ini diperkuat dengan pernyataan
Widjanarko ketika dalam perjalanan Jelajah Muria di Desa Tempur (yang diyakini
banyak pihak sebagai kawah purba Muria) , Jepara. Pada lokasi Candi Angin Kidul
dan Candi Angin Lor, Dukuh Duplak, Tempur, Jepara terdapat bukti bebatuan yang
tertata dengan rapi tetapi bukan berasal
dari Hindu atau Budha. “Namun, saya belum berani menarik kesimpulan mengenai
persoalan apakah sebelum Hindu, Budha masuk ke Jawa sudah ada masyarakat
Jawa penganut keimanan asli Jawa, khususnya di Kawasan
Muria. Hal ini masih saya cek dengan
kawan-kawan sejarah dan arkeologi.” Ungkap Widjanarko.
Sunan Muria
Berbicara tentang sejarah Gunung Muria tidak bisa terlepas dengan
keterlibatan Sunan Muria. Dialah sosok yang dikenal sebagai wali yang
menyebarkan agama Islam dan membentuk peradaban baru yang bernafaskan Islam di
kawasan Muria. Sunan Muria yang bernama asli Raden Umar Said ini memiliki
ikatan erat dengan perjuangan Walisongo, khususnya kepada Sunan Kudus yang
merupakan kakak iparnya. Mengenai asal muasal Sunan Muria masih kontroversi di
antara banyak kalangan. Dalam literature sejarah sering disebutkan bahwa Sunan
Muria merupakan putera Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq.
(Seperti dalam bukunya Solichin Salam, Sekitar Wali Sanga, terbitan
Menara Kudus, Kudus, 1974).
Widjanarko menyepakati pendapat tersebut. dia mengutip pendapat
Slamet Muljana, dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindhu-Jawa dan Timbulnya
Negara-negara Islam di Nusantara (1968), disebutkan ayah Sunan Muria, Sunan
Kalijaga, tak lain seorang kapitan Tionghoa bernama Gan Sie Cang. Sunan Muria
disebut ''tak pandai berbahasa Tionghoa karena berbaur dengan suku Jawa''.
Slamet mengacu pada naskah kuno yang ditemukan di Klenteng Sam Po Kong,
Semarang, pada 1928. Pemerintahan Orde Baru ketika itu khawatir penemuan Slamet
ini mengundang heboh. Akibatnya, karya Slamet itu masuk dalam daftar buku yang
dilarang Kejaksaan Agung pada 1971. “Sayang sekali, belum ada telaah mendalam
mengenai berbagai versi itu.” Ungkap lelaki yang juga Dosen Psikologi di
Universitas Muria Kudus itu.
Widjanarko
juga merujuk pada karya Umar Hasyim, Sunan Muria: Antara Fakta dan Legenda
(1983), yang menurutnya lebih ilmiah dalam menelusuri silsilah Sunan Muria.
Buku tersebut berusaha membedakan cerita rakyat dengan fakta. Misalnya tentang
Sunan Muria sebagai keturunan Tionghoa.
Umar
mengumpulkan sejumlah pendapat ahli sejarah. Ternyata, keabsahan naskah kuno
tadi meragukan, karena telah bercampur dengan dongeng rakyat. Walau begitu,
Umar mengaku kadang-kadang terpaksa mengandalkan penafsirannya dalam menelusuri
jejak Sunan Muria. Hasilnya, Umar cenderung pada versi Sunan Muria sebagai
putra Sunan Kalijaga.
Setelah ditelisik dari trah yang masih ada, terdapat
keganjilan mengenai asal usul Sunan Muria. Menurut Mastur Muhdi, selaku
pengurus Yayasan Pengelola Makam Sunan Muria, Sunan Muria bernama asli Raden
Umar Said bin Sayyid Karomat dengan Nyi Ageng Maloko. Berbeda dengan cerita
yang berkembang di literatur sejarah, Sunan Muria bukan warga pribumi tetapi
pendatang dari Timur Tengah selatan.
Mastur menuturkan, asal usul Sunan Muria versi ini menurut
silsilah lama yang disalin pada tahun 1968 sesuai aslinya. Bahkan fakta ini disebutnya
berdasarkan wawancara kepada K. Ismail Honggo Wiyono (alm), sesepuh kawasan
Muria yang merupakan keturunan Sunan Muria. Sayangnya silsilah yang didapatkan
hanya sampai pada kedua orang tuanya, kemudian turun sampai trah generasi
kesepuluh. Mengenai kontroversi silsilah Sunan Muria, menurut Widjanarko tidak
perlu diperdebatkan. “Toh, dari berbagai versi itu, tak ada yang meragukan
reputasi Sunan Muria dalam berdakwah.” Tutur lelaki yang juga Dosen Psikologi
Universitas Muria Kudus ini.
Sunan Muria memilih berdakwah di daerah pegunungan dengan beberapa
pertimbangan. Sosok Sunan yang rendah hati dan bergaya hidup sederhana ini
mendirikan masjid di puncak gunung supaya menarik perhatian para penduduk
sekitar. Kesederhanaan dan kezuhudan beliau diuji, ketika kemegahan bangunan
masjid Muria mendapat sanjungan dari berbagai kalangan, termasuk para wali.
Untuk menghilangkan stigma kemegahan tersebut, Sunan Muria memutuskan untuk
membakar habis bangunan masjid, yang kemudian didirikanlah masjid yang lebih
sederhana. Masjid tersebut memiliki sengkalan
4.4.1668 yang berarti tahun pembangunan.
Menurut Mastur, keabsahan cerita pembakaran masjid pernah
dibuktikan ketika adanya renovasi masjid pada tahun 1974. Pada waktu itu
ditemukan sisa-sisa pembakaran berupa arang kayu ketika menggali fondasi masjid.
“Cerita tersebut memberikan pelajaran bagi kita untuk senantiasa rendah hati dan
hidup sederhana.” Kata Mastur.
Sikap wira’i dan tidak suka bermegah-megah ini juga ditunjukkan
ketika Sunan Muria bersilaturrahim ke rumah iparnya, yakni Sunan Kudus. Sunan
Ja’far Shodiq termasuk kategori wali yang cukup kaya. Untuk menghormati
kedudukan Sunan Kudus, Sunan Muria memakaikan “Lung Wi” kepada putrinya dan seketika
menjadi emas. Selesai silaturrahim, beliau membuang emas tersebut dan berubah
menjadi Lung Wi kembali. Karena beliau tidak suka dengan perhiasan seperti
emas, muncul mitos di kalangan peziarah bahwa tidak boleh memakai perhiasan
yang berlebihan ketika berkunjung ke makam. Jika hal itu dilanggar maka mereka
akan kehilangan perhiasan tersebut.
Widjanarko
juga memuji metode dakwah Sunan Muria. “Gayanya yang ''moderat'', mengikuti
Sunan Kalijaga, menyelusup lewat berbagai tradisi kebudayaan Jawa. Misalnya adat
kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian anggota keluarga, seperti nelung
dino sampai nyewu, yang tak diharamkannya.” Tuturnya.
Jenis
tradisi yang berbau klenik seperti membakar kemenyan atau menyuguhkan sesaji
diganti dengan doa atau salawat. Sunan Muria juga berdakwah lewat berbagai
kesenian Jawa, misalnya mencipta macapat, lagu Jawa. Lagu sinom dan kinanti
dipercayai sebagai karya Sunan Muria, yang sampai sekarang masih lestari.
Lewat
tembang-tembang itulah ia mengajak umatnya mengamalkan ajaran Islam. Karena
itulah, Sunan Muria lebih senang berdakwah pada rakyat jelata ketimbang kaum
bangsawan. Maka daerah dakwahnya cukup luas dan tersebar. Mulai lereng-lereng
Gunung Muria, pelosok Pati, Kudus, Juana, sampai pesisir utara. “Cara dakwah
inilah yang menyebabkan Sunan Muria dikenal sebagai sunan yang suka berdakwah topo
ngeli. Yakni dengan ''menghanyutkan diri'' dalam masyarakat.” Ungkap
Widjanarko mengakhiri wawancara.
No comments :
Post a Comment