Thursday, February 6, 2014

BERSIH DESA: AKTUALISASI SYUKUR DAN TOLAK BALAK

Illustrasi Bersih Desa
 
Di tengah terik matahari yang menyengat kulit, puluhan orang membentuk barisan rapi dengan membawa atribut ritual menyusuri jalan. Ada yang membawa bendera merah putih, ada yang menitih kuda hias, membawa benda-benda pusaka, memikul miniatur bangunan masjid, diiringi irama terbang, hentakan kaki barongan dan reog. Dilihat dari jauh, serangkaian manusia ini membentuk kirab budaya adhi luhung yang sarat nilai filosofi.
Adalah desa Gunungwungkal, desa yang terletak di sebelah utara kota Pati ini memiliki tradisi khusus yang dilaksanakan setiap tahun. Acara yang bertajuk “Bersih Desa” ini diselenggarakan setiap bulan Apit (Dzul Qa’dah) pada hari Minggu Legi tepat jam dua siang. Bukan sembarang ritual, Bersih Desa atau yang sering juga disebut sedekah bumi ini menjadi aktualisasi rasa syukur masyarakat atas nikmat kesuburan tanah dan hasil pertanian yang melimpah.
Riwayat Tradisi
Tradisi ini bermula dari cerita asal-muasal desa yang berkembang di masyarakat. Munculnya cikal bakal desa beriringan dengan pecahnya perang Diponegoro yang meluas sampai daerah Pati. Sekitar tahun 1825, terjadi kerusuhan yang bersumber dari daerah Pati sebelah utara (yang sekarang bernama Sedopuri). Hal ini membuat Bupati Pati Condronegoro resah, sehingga mengadakan sayembara yang berisi barang siapa yang bisa memberantas atau dapat mengamankan kerusuhan di wilayah Pati utara akan diangkat menjadi Petinggi (kepala desa).
Seorang yang berhasil memenangkan sayembara adalah Raden Tohjoyo, putra Raden Tobongso. Atas keberhasilannya, Raden Tohjoyo diberi wilayah dukuh Mbamban dan dinobatkan sebagai Petinggi (kepala desa) di sana. Dukuh Mbamban pada masa itu masih dihuni penduduk yang sering berbuat kejahatan dan memberontak pemerintahan. Upaya Raden Tohjoyo dalam membina masyarakat berhasil sehingga muncul nama desa Gunungwungkal yang diambil dari kata Gunung artinya tempat dan Wungkal artinya pendidikan untuk membina orang yang berbuat jahat.
Pusaka yang digunakan Raden Tohjoyo dalam memberantas kerusuhan di wilayahnya sekarang masih disimpan masyarakat. Sebilah keris dan tombak, Cemeti (cambuk), serta Topong (mahkota) yang menjadi pusaka Petinggi pertama di Gunungwungkal ini dijamas (sucikan) setiap tahun sekali yang menjadi salah satu rangkaian tradisi Bersih Desa.
Ritual dan Wujud Kecintaan Budaya
Rangkaian acara Bersih Desa Gunungwungkal dimulai dengan pertemuan para sesepuh dan tokoh masyarakat untuk melaksanakan penghormatan pada arwah leluhur. Upacara ini dilaksanakan pada malam hari sebelum Bersih Desa berlangsung. Ringin Putih di Dukuh Mbamban menjadi symbol tempat penghormatan leluhur. Konon, tempat tersebut memiliki danyang (penjaga) Nyai Putih, isteri Raden Tohjoyo, sehingga dianggap keramat oleh penduduk setempat.
Beragam sesajen tertata di sekeliling pohon beringin putih. Ada jajan pasar yang berisi padi, buah-buahan, kopi pahit, kacang dsb. Menurut Sulan selaku sesepuh desa, jajan pasar merupakan lambang sesrawungan (hubungan antar masyarakat) dan kemakmuran. Hubungan antar masyarakat dan kemakmuran ini diasosiasikan dengan pasar yang menjadi tempat penyedia kebutuhan hidup. Selain jajan pasar, terdapat pula Kupat Lepet, Kembang Telon yang terdiri dari bunga melati, kenanga, dan mawar, Tumpeng, serta bubur merah putih. Semua bahan-bahan yang dijadikan sesajen memiliki nilai kearifan lokal.
Tepat pukul dua siang, rombongan peserta arak-arakan berkumpul di depan rumah kepala desa. Sebelum memulai pemberangkatan, peserta berdoa bersama dipimpin oleh tokoh agama setempat. Sampai terdengar suara kentongan yang ditabuh oleh kepala desa, semua rombongan bergegas berangkat menuju pasar.
Rombongan kirab dikelompokkan berdasarkan atribut yang dibawa. Baris pertama diisi pasukan pembawa bendera merah putih, baris kedua menitih kuda yang telah dihias. Disusul barisan kepala desa beserta tokoh masyarakat, barisan pembawa pusaka-pusaka, barisan punakawan, putri Domas, ibu-ibu perangkat desa dan BPD. Di barisan akhir, terdapat Jolen yang berwujud miniatur masjid atau rumah yang diiringi rombongan yang menabuh terbang, barongan dan reog. Rombongan kirab ini berangkat mengelilingi pasar sebanyak tiga kali dilanjutkan berjalan mengelilingi desa sekali. Menurut Sulan, kirab ini mempunyai maksud untuk membersihkan hal-hal yang menimbulkan mara bahaya yang akan datang. “Rombongan mengitari pasar dan desa ya bertujuan membuang sengkala”.
Selepas mengitari desa, semua peserta kirab berkumpul kembali ke rumah Kepala Desa untuk menikmati hidangan yang sudah dipersiapkan. Makanan tersebut berasal dari sumbangan masyarakat, berupa ambengan (berkatan) sebanyak dua besek atau kardus yang dikirim masing-masing kepala keluarga. Hal ini menjadi wujud partisipasi masyarakat dalam melestarikan budaya daerah mereka. Selain dalam partisipasi dalam bentuk sumbangan, sebagaimana Sulan menuturkan, warga juga mengadakan perlombaan dan acara pendukung lain untuk menyemarakkan tradisi Bersih Desa. Perlombaan dilaksanakan seminggu sebelum kirab berlangsung. “Ritual Bersih Desa sekarang lebih variatif, tidak hanya sekedar kirab budaya. Ada lomba sepak bola, balap karung, panjat pinang. Ada pengajian, langen beksan tayub, pementasan wayang kulit dan ketoprak yang menambah semarak ritual Bersih Desa.” Tuturnya.
Refilosofi Simbol Budaya
Dalam penafsiran Robertson Smith  mengenai ritual sesaji yang dilaksanakan secara bersama-sama oleh masyarakat mempunyai fungsi social untuk mengintensifkan solidarikas masyarakat. Sebagian dari mereka ada yang bersungguh-sungguh meyakini mitologi ritual tersebut, sebagaimana warga Gunungwungkal. Mereka percaya ketika tradisi tersebut tidak dilaksanakan, akan terjadi kesialan dan musibah yang menimpa warga. Namun, ada juga yang melakukan ritual secara setengah-setengah. Mereka mengikutinya bukan karena percaya, tetapi menganggap hal tersebut sebagai kewajiban sosial. (Kuntjoroningrat, 1980)
Tanpa simbol tidak akan muncul budaya, begitu ungkapan Mary LeCron Foster (1994) memandang sebuah ritual sebagai symbol budaya.  Di balik ritual Bersih Desa yang dilaksanakan warga desa Gunungwungkal, terdapat nilai kearifan dalam simbol-simbol budaya. Istilah Bersih Desa menurut tafsir masyarakat adalah sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan atas nikmat dan kesuburan tanah pertanian serta bentuk permohonan agar terhindar dari mara bahaya. Bumi menjadi simbol sumber penghasilan masyarakat yang mayoritas berprofesi sebagai petani. Selain itu, prosesi Bersih Desa juga melibatkan pasar yang diasosiasikan sebagai tempat pemenuh kebutuhan manusia setelah bumi (pertanian).
Atribut upacara sedekah bumi pun tak luput dari nilai simbolis. Bendera merah putih yang dibawa menjadi simbol nasionalisme warga dan meleburkan budaya tersebut sebagai bagian dari kebhinnekaan Indonesia. Tombak dan keris merupakan senjata pusaka yang digunakan Raden Tohjoyo mengisyaratkan tanggung jawab pemerintah terhadap tindak kejahatan dan kerusuhan yang melanda warganya. Cemeti (cambuk) menjadi lambang pelecut semangat akademik, pemantik laku berbudi, bersikap disiplin dan patuh pada peraturan perundang-undangan. Topong (mahkota kebesaran) sebagai tanda kewibawaan seorang pemimpin yang mengedepankan musyawarah mufakat dalam meyelesaikan perkara. Payung melambangkan tugas aparat pemerintahan untuk mengayomi dan melayani masyarakat.
Instrumen lain yang digunakan dalam ritual Bersih Desa adalah kuda yang mampu berlari cepat dan bermanfaat untuk alat transportasi masyarakat  zaman dulu. Hal ini menjadi perlambang strategi pelayanan publik hendaknya dilaksanakan secara cepat dan bermanfaat. Terdapat pula Teken (tongkat) yang menjadi simbol petunjuk atau penuntun dalam mencapai tujuan dan cita-cita. “Petunjuk itu tidak lain adalah ilmu dan keimanan kepada Tuhan” tutur Sulan.
Lelaki yang juga menjabat sebagai ketua RW ini menuturkan, ritual Bersih Desa dilengkapi dengan pembakaran dupa (kemenyan). Hal ini dimaksudkan sebagai wujud rasa syukur kepada Penguasa Jagad serta bentuk penghormatan kepada leluhur agar senantiasa menjaga kemakmuran dan ketenteraman desa. Ada pula Jolen, yakni miniatur masjid dengan ukuran panjang dan tinggi 1,5 meter menjadi symbol keberhasilan pembangunan. “Masjid sendiri mengingatkan kita bahwa keberhasilan dalam kehidupan tidak terlepas dari karunia Allah” tegas Sulan.
(Tulisan ini dimuat di majalah Paradigma STAIN Kudus)

No comments :

Post a Comment