Illustrasi Bersih Desa |
Di tengah terik matahari
yang menyengat kulit, puluhan orang membentuk barisan rapi dengan membawa
atribut ritual menyusuri jalan. Ada yang membawa bendera merah putih, ada yang
menitih kuda hias, membawa benda-benda pusaka, memikul miniatur bangunan
masjid, diiringi irama terbang, hentakan kaki barongan dan reog. Dilihat dari
jauh, serangkaian manusia ini membentuk kirab budaya adhi luhung yang
sarat nilai filosofi.
Adalah desa Gunungwungkal,
desa yang terletak di sebelah utara kota Pati ini memiliki tradisi khusus yang
dilaksanakan setiap tahun. Acara yang bertajuk “Bersih Desa” ini
diselenggarakan setiap bulan Apit (Dzul Qa’dah) pada hari Minggu Legi
tepat jam dua siang. Bukan sembarang ritual, Bersih Desa atau yang sering juga
disebut sedekah bumi ini menjadi aktualisasi rasa syukur masyarakat atas nikmat
kesuburan tanah dan hasil pertanian yang melimpah.
Riwayat Tradisi
Tradisi ini bermula dari
cerita asal-muasal desa yang berkembang di masyarakat. Munculnya cikal bakal
desa beriringan dengan pecahnya perang Diponegoro yang meluas sampai daerah
Pati. Sekitar tahun 1825, terjadi kerusuhan yang bersumber dari daerah Pati
sebelah utara (yang sekarang bernama Sedopuri). Hal ini membuat Bupati Pati
Condronegoro resah, sehingga mengadakan sayembara yang berisi barang siapa yang
bisa memberantas atau dapat mengamankan kerusuhan di wilayah Pati utara akan
diangkat menjadi Petinggi (kepala desa).
Seorang yang berhasil
memenangkan sayembara adalah Raden Tohjoyo, putra Raden Tobongso. Atas
keberhasilannya, Raden Tohjoyo diberi wilayah dukuh Mbamban dan dinobatkan
sebagai Petinggi (kepala desa) di sana. Dukuh Mbamban pada masa itu masih
dihuni penduduk yang sering berbuat kejahatan dan memberontak pemerintahan. Upaya
Raden Tohjoyo dalam membina masyarakat berhasil sehingga muncul nama desa
Gunungwungkal yang diambil dari kata Gunung artinya tempat dan Wungkal artinya
pendidikan untuk membina orang yang berbuat jahat.
Pusaka yang digunakan Raden
Tohjoyo dalam memberantas kerusuhan di wilayahnya sekarang masih disimpan
masyarakat. Sebilah keris dan tombak, Cemeti (cambuk), serta Topong (mahkota)
yang menjadi pusaka Petinggi pertama di Gunungwungkal ini dijamas (sucikan)
setiap tahun sekali yang menjadi salah satu rangkaian tradisi Bersih Desa.
Ritual dan Wujud Kecintaan
Budaya
Rangkaian acara Bersih Desa
Gunungwungkal dimulai dengan pertemuan para sesepuh dan tokoh masyarakat untuk
melaksanakan penghormatan pada arwah leluhur. Upacara ini dilaksanakan pada
malam hari sebelum Bersih Desa berlangsung. Ringin Putih di Dukuh Mbamban
menjadi symbol tempat penghormatan leluhur. Konon, tempat tersebut memiliki
danyang (penjaga) Nyai Putih, isteri Raden Tohjoyo, sehingga dianggap keramat
oleh penduduk setempat.
Beragam sesajen tertata di
sekeliling pohon beringin putih. Ada jajan pasar yang berisi padi, buah-buahan,
kopi pahit, kacang dsb. Menurut Sulan selaku sesepuh desa, jajan pasar
merupakan lambang sesrawungan (hubungan antar masyarakat) dan kemakmuran.
Hubungan antar masyarakat dan kemakmuran ini diasosiasikan dengan pasar yang
menjadi tempat penyedia kebutuhan hidup. Selain jajan pasar, terdapat pula
Kupat Lepet, Kembang Telon yang terdiri dari bunga melati, kenanga, dan mawar,
Tumpeng, serta bubur merah putih. Semua bahan-bahan yang dijadikan sesajen
memiliki nilai kearifan lokal.
Tepat pukul dua siang,
rombongan peserta arak-arakan berkumpul di depan rumah kepala desa. Sebelum
memulai pemberangkatan, peserta berdoa bersama dipimpin oleh tokoh agama
setempat. Sampai terdengar suara kentongan yang ditabuh oleh kepala desa, semua
rombongan bergegas berangkat menuju pasar.
Rombongan kirab
dikelompokkan berdasarkan atribut yang dibawa. Baris pertama diisi pasukan
pembawa bendera merah putih, baris kedua menitih kuda yang telah dihias.
Disusul barisan kepala desa beserta tokoh masyarakat, barisan pembawa
pusaka-pusaka, barisan punakawan, putri Domas, ibu-ibu perangkat desa dan BPD.
Di barisan akhir, terdapat Jolen yang berwujud miniatur masjid atau rumah yang
diiringi rombongan yang menabuh terbang, barongan dan reog. Rombongan kirab ini
berangkat mengelilingi pasar sebanyak tiga kali dilanjutkan berjalan
mengelilingi desa sekali. Menurut Sulan, kirab ini mempunyai maksud untuk
membersihkan hal-hal yang menimbulkan mara bahaya yang akan datang. “Rombongan
mengitari pasar dan desa ya bertujuan membuang sengkala”.
Selepas mengitari desa,
semua peserta kirab berkumpul kembali ke rumah Kepala Desa untuk menikmati
hidangan yang sudah dipersiapkan. Makanan tersebut berasal dari sumbangan
masyarakat, berupa ambengan (berkatan) sebanyak dua besek atau kardus yang
dikirim masing-masing kepala keluarga. Hal ini menjadi wujud partisipasi
masyarakat dalam melestarikan budaya daerah mereka. Selain dalam partisipasi
dalam bentuk sumbangan, sebagaimana Sulan menuturkan, warga juga mengadakan
perlombaan dan acara pendukung lain untuk menyemarakkan tradisi Bersih Desa.
Perlombaan dilaksanakan seminggu sebelum kirab berlangsung. “Ritual Bersih Desa
sekarang lebih variatif, tidak hanya sekedar kirab budaya. Ada lomba sepak
bola, balap karung, panjat pinang. Ada pengajian, langen beksan tayub,
pementasan wayang kulit dan ketoprak yang menambah semarak ritual Bersih Desa.”
Tuturnya.
Refilosofi Simbol Budaya
Dalam
penafsiran Robertson Smith mengenai
ritual sesaji yang dilaksanakan secara bersama-sama oleh masyarakat mempunyai
fungsi social untuk mengintensifkan solidarikas masyarakat. Sebagian dari
mereka ada yang bersungguh-sungguh meyakini mitologi ritual tersebut,
sebagaimana warga Gunungwungkal. Mereka percaya ketika tradisi tersebut tidak
dilaksanakan, akan terjadi kesialan dan musibah yang menimpa warga. Namun, ada
juga yang melakukan ritual secara setengah-setengah. Mereka mengikutinya bukan
karena percaya, tetapi menganggap hal tersebut sebagai kewajiban sosial.
(Kuntjoroningrat, 1980)
Tanpa simbol tidak akan
muncul budaya, begitu ungkapan Mary LeCron Foster (1994) memandang sebuah ritual sebagai
symbol budaya. Di balik ritual Bersih
Desa yang dilaksanakan warga desa Gunungwungkal, terdapat nilai kearifan dalam
simbol-simbol budaya. Istilah Bersih Desa menurut tafsir masyarakat adalah
sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan atas nikmat dan kesuburan tanah
pertanian serta bentuk permohonan agar terhindar dari mara bahaya. Bumi menjadi
simbol sumber penghasilan masyarakat yang mayoritas berprofesi sebagai petani.
Selain itu, prosesi Bersih Desa juga melibatkan pasar yang diasosiasikan
sebagai tempat pemenuh kebutuhan manusia setelah bumi (pertanian).
Atribut
upacara sedekah bumi pun tak luput dari nilai simbolis. Bendera merah putih
yang dibawa menjadi simbol nasionalisme warga dan meleburkan budaya tersebut
sebagai bagian dari kebhinnekaan Indonesia. Tombak dan keris merupakan senjata
pusaka yang digunakan Raden Tohjoyo mengisyaratkan tanggung jawab pemerintah
terhadap tindak kejahatan dan kerusuhan yang melanda warganya. Cemeti (cambuk)
menjadi lambang pelecut semangat akademik, pemantik laku berbudi, bersikap
disiplin dan patuh pada peraturan perundang-undangan. Topong (mahkota
kebesaran) sebagai tanda kewibawaan seorang pemimpin yang mengedepankan
musyawarah mufakat dalam meyelesaikan perkara. Payung melambangkan tugas aparat
pemerintahan untuk mengayomi dan melayani masyarakat.
Instrumen
lain yang digunakan dalam ritual Bersih Desa adalah kuda yang mampu berlari
cepat dan bermanfaat untuk alat transportasi masyarakat zaman dulu. Hal ini menjadi perlambang
strategi pelayanan publik hendaknya dilaksanakan secara cepat dan bermanfaat.
Terdapat pula Teken (tongkat) yang menjadi simbol petunjuk atau penuntun dalam
mencapai tujuan dan cita-cita. “Petunjuk itu tidak lain adalah ilmu dan
keimanan kepada Tuhan” tutur Sulan.
Lelaki
yang juga menjabat sebagai ketua RW ini menuturkan, ritual Bersih Desa dilengkapi
dengan pembakaran dupa (kemenyan). Hal ini dimaksudkan sebagai wujud rasa
syukur kepada Penguasa Jagad serta bentuk penghormatan kepada leluhur agar
senantiasa menjaga kemakmuran dan ketenteraman desa. Ada pula Jolen, yakni
miniatur masjid dengan ukuran panjang dan tinggi 1,5 meter menjadi symbol
keberhasilan pembangunan. “Masjid sendiri mengingatkan kita bahwa keberhasilan
dalam kehidupan tidak terlepas dari karunia Allah” tegas Sulan.
(Tulisan ini dimuat di majalah Paradigma STAIN Kudus)
No comments :
Post a Comment