Sunday, December 15, 2013

Kaca Mata Sejarah Ala Gus Dur

 
Judul               : Membaca Sejarah Nusantara: 25 Kolom Sejarah Gus Dur
Penulis            : Abdurrahman Wahid
Penerbit          : LKiS Yogyakarta
Tahun              : 2010
Tebal               : 129 hlm
 
Mengingat kembali sosok Gus Dur, seorang politikus visioner berbasis Islam dan tokoh pluralism ini tidak diragukan lagi kemahirannya dalam menganalisis fenomena. Termasuk tentang sejarah, cerita masa lampau baik yang bersifat faktual –berdasarkan sumber terpercaya, maupun mistis –dongeng dan cerita rakyat. Tak tanggung-tanggung, fenomena sejarah yang oleh sebagian orang hanya dipandang sebagai “cerita masa lalu” dijadikannya pisau analisis untuk menjawab kebijakan dan isu politik kekinian.
Dalam membaca sejarah nusantara ini, yang tampaknya ingin diingatkan oleh Gus Dur adalah mengenai sejarah panjang pertumbuhan kita sebagai bangsa yang melampaui konsep-konsep “nasionalisme” yang secara teoretis baru dikenal pada akhir abad ke-19. Gus Dur mengingatkan bahwa bangsa ini telah tumbuh jauh sebelum orang mengatakannya sebagai bangsa modern. Tapi orang sering lupa dengan pertumbuhan kita dan cenderung menunjuk bahwa dirinyalah paling berhak menentukan corak bangsa-bangsa ini atas keistimewaan agama etnis, ideologis. Artinya pandangan nasionalisme model ini lebih menunjukkan bobot kekuasaannya daripada niat menciptakan kehidupan bersama yang lebih naik dan demokratis. “Mungkinkah terjadi proses demokratisasi yang sebenarnya kalau hanya membicarakan nasionalisme dalam memperebutkan kekuasaan Negara..”, tulis Gus Dur.
Musthofa Bisri, atau akrab dibaca Gus Mus memberi komentar mengenai buku ini, bahwasanya Gus Dur melihat sejarah masa lalu melalui kaca matanya yang jeli, kritis, unik, dan nekat sehingga seperti biasa kemungkinan orang akan terkaget-kaget atau setidaknya tergelitik untuk membaca tafsir dan spekulasinya terhadap suatu peristiwa sejarah. Sejarah –sebagaimana sosok Gus Dur- agaknya memang tidak lepas dari kontroversi. Apalagi sejarah yang sudah lama berlalu, terbuka terhadap berbagai versi tafsiran yang tidak bisa dihindari.
Seperti kolom Gus Dur dalam membaca sejarah lama (1) menceritakan tentang Ki Ageng Gringging mempunyai sebutir kelapa muda yang diletakkan pad arak (pogo) di dapur. Ketika ia pergi ke kebun, datanglah Ki Ageng Pamanahan yang langsung menuju dapur. Di tempat itu, ia melihat kelapa tersebut dan langsung melobangi dan meminum airnya. Karena minum air kelapa itulah kemudian ia menjadi cikal bakal dinasti tersebut. Padahal dalam budaya Jawa, meminum air kelapa berarti serong dengan istri orang. Kalau hal ini benar, berarti dinasti tersebut adalah hasil hubungan gelap antara Ki Ageng Pemanahan dengan istri Ki Ageng Gringging. Dan kalau demikian terjadi berarti pula bahwa perzinaan adalah hal umum dalam pusat-pusat kekuasaan kita, jadi tidak mengherankan kalau sampai sekarang hal itu masih terjadi.
Hal yang menarik lainnya dari kolom ini adalah bahasan Gus Dur mengenai hubungan Raden Wijaya dengan mertuanya Raja Kertanegara dari Singosari. Mengapa Raden Wijaya mendirikan Majapahit. Sejarah mengatakan dia membelot dari mertuanya, namun tidak dijelaskan mengapa ia berbeda dengan sang mertua. Sumber sejarah mengatakan bahwa ia mendirikan Majapahit dengan bantuan Angkatan Laiut China yang sepenuhnya diisi orang muslim. Karena itu, salahkah kita kalau menyimpulkan bahwa pertentangan Raden Wijaya dan mertuanya karena perbedaan agama. (hlm 2)
Peristiwa lain yang memiliki berbagai penafsiran adalah perang Bubad yang terjadi antara kerajaan Sunda melawan Majapahit. Hal itu berlangsung ketika pasukan Hayam Wuruk menyerang rombongan tentara Sunda berada dalam perjalanan dari Sunda ke keraton Majapahit, membawa puteri Sunda yang sedianya akan menjadi permaisurinya. Penyerangan ini bukan inisiatif sang Raja melainkan orang yang tidak senang dengan perkawinan tersebut. Alasan pertama adalah karena jika hal itu terjadi maka Majapahit akan menjadi sangat perkasa dan memiliki kawasan yang sangat luas. Alasan lain adalah Majapahit merupakan Negara kulminasi perpaduan antara Budhisme dan Hinduisme yang dikenal dengan nama Bhairawa. Jelas dengan uraian ini, datangnya perlawanan adalah dari pihak “Hindu Murni” yang tidak rela jika gagasan penyatuan wilayah Majapahit dan Pasundan –melalui perkawinan Hayam Wuruk dan puteri Sunda- itu karena akan memperluas wilayah Bhairawa tersebut. Analisis ini dikaitkan dengan anomali politik NU. Pasalnya, pada setiap zaman selalu ada yang menolak perpaduan apapun dengan alasan hilangnya “kemurnian” suatu ajaran yang menjadi tulang punggung masyarakat. Hal ini bisa dilihat pada saat PKB diwacanakan akan terbuka bagi semua unsur Islam dan non-Islam, ada elemen “NU Murni” yang menolak wacana tersebut. (hlm. 17)
Akhirnya, kita diingatkan dengan optimisme Gus Dur akan perbaikan bangsa ini. Sebagaimana Kaidah Fiqih yang berbunyi: maa la yudraku kulluhu la yutraku julluh (apa yang tidak dapat dicapai seluruhnya, jangan ditinggal yang terpentingnya). Dengan pedoman ini, bagaimanapun buruknya keadaan, toh tetap masih ada yang terpenting yang bisa kita lakukan untuk memperbaikinya. Membangun bangsa dengan karya. Begitu.

No comments :

Post a Comment