Judul : Membaca
Sejarah Nusantara: 25 Kolom Sejarah Gus Dur
Penulis :
Abdurrahman Wahid
Penerbit : LKiS
Yogyakarta
Tahun : 2010
Tebal : 129 hlm
Mengingat kembali sosok Gus Dur, seorang politikus visioner
berbasis Islam dan tokoh pluralism ini tidak diragukan lagi kemahirannya dalam
menganalisis fenomena. Termasuk tentang sejarah, cerita masa lampau baik yang
bersifat faktual –berdasarkan sumber terpercaya, maupun mistis –dongeng dan cerita
rakyat. Tak tanggung-tanggung, fenomena sejarah yang oleh sebagian orang hanya dipandang
sebagai “cerita masa lalu” dijadikannya pisau analisis untuk menjawab kebijakan
dan isu politik kekinian.
Dalam membaca sejarah nusantara ini, yang tampaknya ingin
diingatkan oleh Gus Dur adalah mengenai sejarah panjang pertumbuhan kita
sebagai bangsa yang melampaui konsep-konsep “nasionalisme” yang secara teoretis
baru dikenal pada akhir abad ke-19. Gus Dur mengingatkan bahwa bangsa ini telah
tumbuh jauh sebelum orang mengatakannya sebagai bangsa modern. Tapi orang
sering lupa dengan pertumbuhan kita dan cenderung menunjuk bahwa dirinyalah
paling berhak menentukan corak bangsa-bangsa ini atas keistimewaan agama etnis,
ideologis. Artinya pandangan nasionalisme model ini lebih menunjukkan bobot
kekuasaannya daripada niat menciptakan kehidupan bersama yang lebih naik dan demokratis.
“Mungkinkah terjadi proses demokratisasi yang sebenarnya kalau hanya
membicarakan nasionalisme dalam memperebutkan kekuasaan Negara..”, tulis Gus
Dur.
Musthofa Bisri, atau akrab dibaca Gus Mus memberi komentar mengenai
buku ini, bahwasanya Gus Dur melihat sejarah masa lalu melalui kaca matanya
yang jeli, kritis, unik, dan nekat sehingga seperti biasa kemungkinan orang
akan terkaget-kaget atau setidaknya tergelitik untuk membaca tafsir dan
spekulasinya terhadap suatu peristiwa sejarah. Sejarah –sebagaimana sosok Gus
Dur- agaknya memang tidak lepas dari kontroversi. Apalagi sejarah yang sudah
lama berlalu, terbuka terhadap berbagai versi tafsiran yang tidak bisa
dihindari.
Seperti kolom Gus Dur dalam membaca sejarah lama (1) menceritakan
tentang Ki Ageng Gringging mempunyai sebutir kelapa muda yang diletakkan pad
arak (pogo) di dapur. Ketika ia pergi ke kebun, datanglah Ki Ageng
Pamanahan yang langsung menuju dapur. Di tempat itu, ia melihat kelapa tersebut
dan langsung melobangi dan meminum airnya. Karena minum air kelapa itulah kemudian
ia menjadi cikal bakal dinasti tersebut. Padahal dalam budaya Jawa, meminum air
kelapa berarti serong dengan istri orang. Kalau hal ini benar, berarti dinasti
tersebut adalah hasil hubungan gelap antara Ki Ageng Pemanahan dengan istri Ki
Ageng Gringging. Dan kalau demikian terjadi berarti pula bahwa perzinaan adalah
hal umum dalam pusat-pusat kekuasaan kita, jadi tidak mengherankan kalau sampai
sekarang hal itu masih terjadi.
Hal yang menarik lainnya dari kolom ini adalah bahasan Gus Dur
mengenai hubungan Raden Wijaya dengan mertuanya Raja Kertanegara dari
Singosari. Mengapa Raden Wijaya mendirikan Majapahit. Sejarah mengatakan dia
membelot dari mertuanya, namun tidak dijelaskan mengapa ia berbeda dengan sang mertua.
Sumber sejarah mengatakan bahwa ia mendirikan Majapahit dengan bantuan Angkatan
Laiut China yang sepenuhnya diisi orang muslim. Karena itu, salahkah kita kalau
menyimpulkan bahwa pertentangan Raden Wijaya dan mertuanya karena perbedaan
agama. (hlm 2)
Peristiwa lain yang memiliki berbagai penafsiran adalah perang
Bubad yang terjadi antara kerajaan Sunda melawan Majapahit. Hal itu berlangsung
ketika pasukan Hayam Wuruk menyerang rombongan tentara Sunda berada dalam
perjalanan dari Sunda ke keraton Majapahit, membawa puteri Sunda yang sedianya
akan menjadi permaisurinya. Penyerangan ini bukan inisiatif sang Raja melainkan
orang yang tidak senang dengan perkawinan tersebut. Alasan pertama adalah
karena jika hal itu terjadi maka Majapahit akan menjadi sangat perkasa dan
memiliki kawasan yang sangat luas. Alasan lain adalah Majapahit merupakan Negara
kulminasi perpaduan antara Budhisme dan Hinduisme yang dikenal dengan nama Bhairawa.
Jelas dengan uraian ini, datangnya perlawanan adalah dari pihak “Hindu Murni”
yang tidak rela jika gagasan penyatuan wilayah Majapahit dan Pasundan –melalui perkawinan
Hayam Wuruk dan puteri Sunda- itu karena akan memperluas wilayah Bhairawa
tersebut. Analisis ini dikaitkan dengan anomali politik NU. Pasalnya, pada
setiap zaman selalu ada yang menolak perpaduan apapun dengan alasan hilangnya “kemurnian”
suatu ajaran yang menjadi tulang punggung masyarakat. Hal ini bisa dilihat pada
saat PKB diwacanakan akan terbuka bagi semua unsur Islam dan non-Islam, ada elemen
“NU Murni” yang menolak wacana tersebut. (hlm. 17)
Akhirnya, kita diingatkan dengan optimisme Gus Dur akan perbaikan bangsa
ini. Sebagaimana Kaidah Fiqih yang berbunyi: maa la yudraku kulluhu la yutraku
julluh (apa yang tidak dapat dicapai seluruhnya, jangan ditinggal yang
terpentingnya). Dengan pedoman ini, bagaimanapun buruknya keadaan, toh tetap
masih ada yang terpenting yang bisa kita lakukan untuk memperbaikinya. Membangun
bangsa dengan karya. Begitu.
No comments :
Post a Comment