Masa muda menjadi momen yang penuh asa dan semangat untuk
mengembangkan diri. Memaksimalkan usia muda kita dengan melakukan hal-hal yang
positif menjadi salah satu langkah dalam meniti jalan kedewasaan. Apa lagi
dengan berbalut seragam putih abu-abu, sudah sepantasnya insan muda terpelajar
menjadi barisan terdepan dalam menentukan garis perubahan hidup, diri dan
lingkungannya.
Di sudut kelas, mengingatkan kita akan canda dan tawa persahabatan
yang terjalin alamiah saat mengenakan seragam putih abu-abu. Sesekali mencibir
anak baru atau memamerkan barang-barang koleksi semacam aksesoris atau novel
baru. Atau, bagi mereka yang kutu buku, lebih menikmati waktu sendiri di atas
kursi belajarnya sambil menikmati camilan jajan. Kata mereka, isi kepala lebih
penting, yang membedakannya dengan anak-anak jalanan dengan prinsip isi perut
yang paling penting. Yang membuatnya sama hanya usia dan naluri alamiah mereka
yang ingin diperhatikan, disayangi, dan diperhitungkan keberadaannya.
Ada lagi wajah “putih abu-abu” yang aktif, senang berkumpul di
kantor membantu tugas orang dewasa –guru dan staf, walaupun tidak digaji.
Mereka gemar berdiskusi, membuat event-event di setiap hari-hari besar, atau
sesekali mengikuti kegiatan di luar sekolah seperti camping, seminar,
dan pelatihan. Sebut saja mereka “orang sibuk” yang dikeluhkan si kutu buku
karena sering keluar kelas waktu jam pelajaran, padahal mereka sedang
mengerjakan tugas kelompok. Karena memilih menjadi aktivis, maka sudah menjadi
konsekuensi kalau harus mengikuti jam tambahan dari guru atau minta diajari
teman untuk mengejar pelajaran yang mereka lewatkan. Namun, mereka punya
pengalaman lebih di luar kelas yang “katanya” bermanfaat untuk masa depannya.
Tak terlewatkan pula sosok-sosok yang mendapat banyak perhatian
dari sejumlah guru, terkhusus guru BP. Mereka yang suka terlambat masuk sekolah
dengan alasan yang relatif hampir sama setiap harinya, yaitu “bangun
kesiangan”. Mereka yang tak suka dengan kerapian, tampil beda –tidak wajar,
penuh sensasi. Disiplin menjadi kata yang asing di kamus harian mereka, dan
hampir tiap hari menghabiskan waktunya untuk nongkrong, bermain game, atau
motor-motoran –motor betulan, bukan mainan. Mereka dipanggil dengan sebutan
“orang sulit” dengan indikasi sulit belajar, sulit bergaul dengan orang dewasa
–guru, dan sulit dimengerti. Satu lagi yang kadang-kadang dialami, yaitu sulit
duit, sehingga tak heran jika di pojok sekolah terjadi tradisi palak-memalak.
Padahal, tidak sedikit di antara mereka yang memiliki tingkat IQ yang lumayan,
punya keluarga terpandang, dan punya background agama yang cukup matang.
Pilihan terakhir, menjadi siswa biasa yang memiliki rutinitas yang
biasa. Tak terpandang di kelas ataupun di sekolahan. Prestasi pun pas-pasan,
paling bagus satu derajat di atas garis rata-rata. Pulang-pergi sekolah tiap
hari tanpa beban, walau acap kali dijadikan bual-bualan “orang sulit”. Bahkan,
tugas rumah setumpuk pun tak jadi masalah, karena species “orang biasa” ini
paling mudah bergaul dengan si kutu buku. Mereka yang mewarnai kelas dengan
canda tawa, atau kegilaan yang natural. Keberadaan mereka mungkin tidak
diperhitungkan, namun ketika bangku mereka kosong derajat keceriaan kelas turun
drastis. Mereka tak banyak tingkah, tak bikin ulah, dan sedikit penyakit.
Paling-paling penyakit akut yang menjangkit adalah “galau” gara-gara cemburu,
ngambek, atau putus sama pacar.
Mengenai kamu termasuk kategori mana, itu bukan problema. Masalah
tulisan ini benar atau keliru, tidaklah menjadi masalah bagiku. Intinya cuma
introspeksi, karena sebaik-baik manusia adalah yang mengenali dirinya sendiri, punya
konsep diri. Bahkan secara kodrati, manusia terlahir dengan karakter yang
bervariasi. Berbeda, itulah yang kita sebut bhinneka tunggal ika. Karena kita
punya misi yang sama, yaitu membawa perubahan untuk masa depan diri dan
lingkungan kita. Masih ada waktu untuk mengubah diri, sebelum waktu itu sendiri
yang mengubur cita-citamu dalam lubang penyesalan.
Salam Putih Abu-Abu
No comments :
Post a Comment