Pagi dan malam senantiasa bergilir berebut
start dan nampaknya roda waktu mengiringi mereka tanpa henti. Proses hidup
begitu cepat membuat manusia mengalami pasang surut kehidupannya. Ada kalanya
manusia yang mencibir nasib tatkala ia berada di titik terendah dalam hidup.
Bahkan ada pula yang lupa diri saat berada di puncak kesuksesan hidup. Yah,
sukses itu bukan tujuan begitu kata orang bijak, tetapi sukses adalah proses
menuju hidup yang lebih baik. Bagaimana dengan profesi guru?
Menyelami kehidupan bersama siswa-siswi menjadi
agenda rutin seorang guru. Seperti yang saya alami, acap pelik masalah datang
menghampiri. Profesi guru menuntut idealitas namun tak cukup bilamana
membincangkan isi perut. Problematika guru yang selama ini dielu-elu adalah
masalah gaji, finansial, dan kesejahteraan. Walaupun pemerintah sudah
mencanangkan program sertifikasi dan tunjangan professional sebagai alternatif
kesejahteraan bagi guru yang tidak menyandang status Pegawai Negeri Sipil,
namun hal tersebut belum mampu mengakomodir masalah yang dihadapi guru.
Perjalanan menuju kesejahteraan yang digambarkan dengan elegan itu tidaklah
mulus. Bayangkan lima tahun mengabdi dengan gaji yang tak seberapa, namun
tuntutan kerja begitu mendera. Apalagi bagi mereka yang mengajar di sekolah
swasta plus terpencil, inilah saat iman mereka teruji. Iman tentang cita-cita
yang dituju sejak duduk di bangku SD.
Tentunya tidak semua profesi diukur dengan gaji. Hemat saya,
sebesar apapun gaji yang didapat apabila dalam bekerja tidak ada rasa nyaman,
aman, dan yang paling penting BAROKAH penulis rasa tidak ada harganya usaha
tersebut. Pengalaman penulis menunjukkan bahwa mendidik anak adalah belajar
menjadi orang dewasa yang tentunya lebih baik dan bertanggung jawab. Memberi dan
menerima kasih sayang, apresiasi dan hukuman, adalah wajar menjadi bumbu-bumbu
dalam mengajar. Yang paling penting, ungkapan yang dipetik dari guru ngaji
penulis adalah menjadi jalan pahala yang terus mengalir, bila mana ilmu kita
bermanfaat bagi siswa-siswi kita. Kalau dulu, penulis pernah menggerutu pada
sosok guru yang bisa dibilang malas ngajar, sering keluar, dan monoton dalam
mengajar. Sekarang penulis mengerti jawabannya, karena menjadi guru bukanlah
pekerjaan mudah. Menguras emosi, pikiran, dan tentunya ongkos kerja. Ah, tapi
penulis tidak merasa kecewa dengan pilihan hidup menjadi guru. Karena bagi
saya, menjadi guru adalah wujud eksistensi manusia pembelajar. Setuju?
setubuh....haha..senasib, nyaris mengerucut dan siip dehhhhhhhhhhhh
ReplyDelete