Tuesday, November 20, 2012

Sejenak Bersama Rasulullah: Habis Gelap Terbitlah Terang


Langkah demi langkah kami menyusuri bukit-bukit penuh semak belukar, sambil bergandengan tangan tanpa henti. Langkah ini semakin berat, seperti ada beban yang merantai di pergelangan kaki kami. Sesekali kami menghela nafas panjang dan menghempaskannya dengan meneriakkan vocal ‘A’ panjang untuk sekedar merelaksasikan fikiran dan jiwa kami yang penuh cucuran peluh. Perjalanan ini sungguh melelahkan.
Kami berlima: Aku, Dimas, Aji, Naira, dan Isma mendapat tugas dari Ketua Jurusan (Kajur) Tarbiyah IAIN Walisongo untuk melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada semester pungkasan. Hampir 5 km kami berjalan dari tepian Jalan Karanganyar-Kudus menuju desa Undaan, sebuah perkampungan kecil yang di tengah hamparan pesawahan. Kampung itu terkenal dengan hasil bumi berupa sayur mayur dan buah-buahan, namun seiring dengan bertambahnya area industri di daerah sekitar banyak warga desa yang berbondong-bondong beralih profesi menjadi buruh pabrik. Kami menikmati perjalanan yang menguras tenaga ini, seraya saling melontarkan celoteh. Kali ini aku yang jadi sasaran baku tembak cibiran mereka, karena sampai sekarang aku masih menyandang status jomblo. Lain dengan teman-teman di sampingku ini, sudah mahir memainkan istilah cinta atau setidaknya sudah mencicipi indahnya pacaran. Hatiku semakin panas ketika Dimas ikut-ikutan meledek, seakan-akan ia membuka kartu As yang pernah aku perlihatkan padanya.
Aku bergumam sendiri dalam hati sambil melirikkan mata ke arah Dimas. Dia adalah rival terberat di kampusku dalam beberapa ajang lomba karya ilmiah. Selain rival, ia juga sahabat karibku yang aku anggap seperti saudara kandung. Tak seperti aku yang hidup berkecukupan dan masih memiliki kedua orang tua, ia hidup cukup memprihatinkan. Semenjak ia kecil ia menjadi yatim piatu. Ayahnya seorang tukang becak meninggal sebagai korban tabrak lari, sedangkan ibunya meninggal kena serangan kanker leher rahim ketika mengandung adiknya yang baru berusia 7 bulan. Dokter memvonis harus diadakan aborsi, namun Allah berkehendak lain. Keduanya meninggal dunia. Bahkan Dimas tidak sempat menemani detik-detik terakhir bersama mereka, ketika itu ia sibuk menemani pamannya mengurusi administrasi rumah sakit. Namun, waktu itu tak sedikitpun aku lihat lelehan air mata yang mengalir dari pelupuk matanya. Tak seperti tanah makam keluarganya yang masih basah dengan serpihan bunga bertabur di atasnya. Ia duduk termangu  di antara kedua nisan itu, sambil mengorek-orekkan sebatang kayu  di atas tanah seakan ingin menyampaikan isyarat hatinya kepada medan penghabisan itu. Yah, minha khalaqnakum, wa fiha mu’idukum, wa minha nukhrijukum tarotan ukhra[1], sepertinya kalimat ini yang senantiasa terngiang-ngiang di telinga sebatang kara itu berharap Tuhan memutar waktu lebih cepat dan terus cepat agar bumi segera memuntahkan isi perutnya.
Aku teringat waktu hari lebaran lima belas tahun yang lalu, Dimas kecil hidup dalam kegelapan malam sendiri di kamar sempit berukuran dua meter persegi. Dari jauh aku lihat, di tepi jendela ia mengamati rombongan takbir keliling menggenggam obor pembakar nafsu dan syetan seraya memekikkan pujian-pujian Tuhan, Allahu Akbar. Aku berhenti sejenak mengamati gerak-geriknya yang tampak seperti raga tak bernyawa. Seperti hilang semangat hidup dan bungkam terhadap nada-nada kehidupan. Kedua bola matanya menatap tajam, tapi kosong. Aku mulai susuri lensa matanya, menembus kornea, pupil, sampai ujung retina tak tergambar sedikitpun bayangan kebahagiaan di hari kemenangan ini, selain gambaran fatamorgana masa lalunya. Gambar itu melapisi seluruh jaringan matanya sehingga yang tampak hanya mata yang sayup penuh beban hidup. Namun sekali lagi, aku tidak menemukan butiran air mata yang mengalir ke hilir pipinya. Entah bendungan apa yang sanggup menahan muntahan kesedihan itu. Mungkin itu salah satu keistimewaan yang dimiliki kedua bola mata hitamnya, hitam penuh teka-teki.
Lamunanku terhenti sejenak ketika kaki ini sudah memijak di batas desa. Desa Undaan tampak asri, lengkap dengan atribut alam yang jauh dari kontaminasi metropolis. Kami segera mencari kediaman kepala desa untuk sejenak berebah menghilangkan rasa capek. Sesampai di rumah kayu bercat hijau muda dengan atap joglo khas Jawa, kami dipersilakan masuk. Secangkir kopi hangat di suguhkan menemani rehat kami di rumah itu yang semakin lama diliputi kegelapan malam. Sang purnama sudah siap menampilkan senyum indahnya.
Suasana malam itu semakin kondusif setelah tiba-tiba udara mendingin, sang rembulan meredup terhalang hamparan mendung gelap. Gelap, semakin gelap keadaan sekitar malah semakin asyik kami berbincang-bincang dengan tetua di kampung itu, sambil sesekali menyeruput kopi hangat dihadapan kami. “Warga kampung sini amat bersahaja dalam menjalani hidup, selalu menghormati tamu pendatang, tidak mau berbohong, mencuri sekecil apapun dan dalam bentuk apapun. Namun sayang, akidah islam mereka masih bercampur dengan adat  leluhur. Sebagian mereka masih percaya akan adanya cerita takhayul maupun tradisi sesajen. Walaupun saya sudah sering mengingatkan, namun sepertinya kepercayaan itu sudah mendarah daging.” Tutur tetua kampung dengan harapan kami bisa membantu memerangi kejahilan warganya.
Sayup suara air hujan bergemricik di sela-sela atap rumah mengalir ke talang air dan jatuh ke pelimbahan menambah eksotis malam ini. Namun, keheningan itu pecah karena terdengar suara aneh yang muncul dari arah seberang jalan. Suara itu seperti angin yang memecah partikel-partikel air menjadi muatan listrik. Tapi, bukan itu. Suara itu disusul erangan keras seperti anak kecil yang merengek minta segelas susu. Sontak saja kami berhambur menuju bibir pintu dan melihat apa yang terjadi. Terlihat seorang anak usia delapan tahunan terjatuh tertimpa sepeda dengan drum air terikat di bagian belakang sepeda. Sepertinya ia terjatuh karena terlalu berat beban yang ia bawa sehingga terjungkal dan jatuh.
Dari ujung yang lain, Dimas menunjukkan sifat yang membuat kami semua kaget. Ia berlari mengambil payung dari dalam ranselnya kemudian menghampiri anak kecil yang basah kuyup itu. Pertama yang ia lakukan adalah mengulurkan payungnya kepada anak itu sambil melepas ikatan drum pada bagian belakang sepeda. Kedua, ia menegakkan sepeda dan menyandarkannya pada sebuah pohon jati di sebelah kanannya. Terakhir, ia membopong anak itu menuju emperan rumah tetua kampung. Tampaknya kaki kiri bocah itu terkilir. Sepertinya Dimas merasa yang paling mengerti dengan keadaan anak kecil. Setelah berteduh sejenak di emperan rumah dan meneguk segelas air putih, anak itu mulai buka mulut menceritakan perihal kejadiannya. Setiap hari, ia harus menyetor drum berisi 20 liter air mineral kepada para pelanggan setianya dengan mengayuh sepeda mini Phoenix untuk membantu meringankan beban ekonomi ibunya. Ayahnya bekerja di luar kota sudah tiga tahun tidak ada kabarnya. Mungkin penyakit medok-nya[2] kambuh, sehingga dia membina rumah tangga baru di daerah kerjanya dan melupakan anak kecil berambut kriting itu bersama ibunya.
Gumam batinku, nasib anak ini sungguh malang. Namun hal ini juga pernah di alami Dimas, si Pahlawan Kesiangan. Rintik hujan dan rerontokan daun trembesi menjadi saksi perjuangan dan alur hidup si Kara alias Dimas dengan mata sayupnya. Lima belas tahun lalu, ketika takbir berkumandang dari pita-pita suara kami, menggelombang di setiap celah udara, mengayun dan membumbung ke angkasa, berharap sang Khaliq bangga dan tersenyum mendengar pujian-pujian kami lantunkan di masjid penjuru dunia.
Hari kemenangan telah tiba, hampir semua insan menjelma putih bersih dari ujung kepala sampai ujung kaki bak bayi yang baru mencium aroma bumi. Suci dari dosa dan penuh kegembiraan. Sekalian manusia datang berkumpul bersama sanak saudara anjang sana anjang sini, bersilaturrahim sambil mengucap ”sugeng riyadhi[3] dan saling bersalam-salaman meminta maaf. Aku bersama keluargaku tak mau ketinggalan mengikuti tradisi ini. Kata pak Ustad, tradisi halal bi halal adalah bentuk keberagamaan Indonesia sebagai bentuk refleksi ayat Tuhan “wal ‘afina ‘aninnas”.[4] Walaupun ini cuma tradisi yang tidak kita temukan di negara-negara Arab, tidak ada salahnya mengabadikannya sebagai bagian dari hari raya.
Aku sudah tak sabar ingin melihat kondisi si Kara di kediamannya. Aku pun menuju rumahnya dengan membawa seikat ketupat dan rantang berisi opor ayam untuk melihat apakah ada perubahan pada tatapan matanya. Benar saja, setelah aku mengucapkan “assalamu’alaikum”, ia menjawab dengan suara lantang dengan nada yang hampir-hampir aku tidak percaya kalau itu suaranya. “Wa’alaikum salam warohmatullahi wabarokatuh”, ia menjawab salamku dengan lengkap. Nadanya pun satu oktaf lebih tinggi dari suaraku tadi. Ada apa dengan si-Kara berkemeja kotak-kotak ini?
Dimas membukakan pintu dari kayu jati berukiran khas Jepara dan menyambut tatapan mataku dengan mata yang berbinar-binar. Sayup matanya mulai terang benderang, tanpa aku telusuri pun sudah tampak berkas kebahagiaan di urat syarafnya. Sudah tidak ada berkas kalut yang membalut jaringan matanya. Apa gerangan yang mengubah keadaan temanku ini?
“Wah, ketupat bikinanmu sendiri , Kun?” ujarnya membuka dialog kami. Ia mulai menyapa aku dengan laqob aneh, Jukun alias juru kunci. Alasan ia memilih panggilan itu karena aku sering dijadikan pelabuhan kunci jawaban ketika ada ulangan kelas. Teman-teman menganggap IQ-ku paling tinggi, jadi sering dimintai contekan.
“Yup, tapi yang mengisi dan memasak ya tetep mamiku lah!” jawabku dengan santai.
“Ngomong-omong tumben wajahmu sumringah[5], ada apa gerangan?” tanyaku mengintrogasi perubahan mimik mukanya hari ini.
“Semalam aku mendapatkan sesuatu yang sangat spesial dari orang yang paling spesial.” Seperti itulah jawaban manusia super aneh ini. Jawabannya singkat dan penuh teka-teki, penuh tanda tanya.
“Maksudmu, mendapatkan apa? Dari siapa?” aku mengumpan pertanyaan balik berharap mendapat jawaban yang lebih detail dan tidak absurd.
Ia menarik napas panjang sebagai kuda-kuda ketika bercerita. Napas Dimas memang agak pendek tersengal-sengal karena adanya garis keturunan yang membawa bibit asma. Faktor hereditas yang sering disebut-sebut sebagai faktor penyakit yang sulit dihindari itu malah membuat Dimas semakin mahir dalam bercakap-cakap, terutama bidang logika linguistik atau mantiq. Sering orang yang mengaku pintar atau dipandang pintar ketika ia bisa mengelabuhi pikiran orang lain dengan bicaranya. Padahal omongannya kosong, rancu, dan orientasinya cuma satu, membuat orang lain bingung dan diam tak berkutik untuk menimpalinya. Itulah omongan tukang debat, orator provokatif, dan wartawan bodrek.
“Semalam aku bertemu dengan kekasih Tuhan, Rasulullah SAW. Ia memberiku sebuah wejangan yang membuat aku sekarang lebih fine dalam menjalani hidup.”
Aku terperangah tidak percaya dengan ucapan Dimas, si Kara yang biasanya berpenampilan dekil, berwajah kusut, dan berambut acak-acakan, sekarang menjelma menjadi lelaki gagah di usianya yang relatif lebih tua dari aku.
“Coba ceritakan jluntrungane![6] Soalnya Rasulullah kan sudah wafat 15 Abad mendahului kita.” Ujarku meragukan cerita temanku ini.
“Kamu pasti tidak percaya dengan ceritaku.” Ia sudah menyadari pikiranku tentang dia. Tanpa ragu, ia pun menyambung cerita dalam mimpinya itu.
“Malam itu aku duduk termangu sendiri di teras rumah melihat teman-teman kecilku bermain kembang api dan memakai baju barunya untuk lebaran esok hari. Aku berandai, kapan aku bisa merasakan kebahagiaan seperti mereka? Bermain dengan gembira, merasakan kebersamaan bersama keluarga, memakai baju baru dan menyalakan kembang api. Ah, daripada aku melamun, mendingan ikut bermain bersama mereka saja, walau harus menerima konsekuensi berupa hinaan dan sindiran. Belum sempat kaki ini melangkah tiba-tiba hujan gerimis turun, seketika segerombolan teman-teman kecilku berhamburan menuju rumah masing-masing untuk berteduh.” Ia berhenti bercerita. Sesaat ia menghela napas untuk mengisi penuh volume paru-parunya. Tampaknya udara residu pada paru-parunya sudah habis untuk mendeskripsikan kejadian mimpi malam itu.
Aku pun turut larut dalam cerita itu. Rasanya jiwa ini mencair mengikuti setiap untaian kata dan nada bicaranya yang kadang naik-turun seperti dalang yang sedang pentas. Imajinasiku mulai menyuting keadaan si-Kara dalam mimpinya, dengan cuaca gerimis dan hati yang tampak dingin, membeku sendu.
Ia melanjutkan ceritanya. “Aku urungkan niat, dan kembali ke posisi semula. Tiba-tiba ada seseorang yang menghampiri dari sisi kananku. Ia memanggiku dengan sebutan “ghulam” atau anak kecil. Sejenak ia berbicara kepadaku tetapi aku tidak tahu apa maksudnya. Kemudian ia membawaku ke suatu tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya. Aku melihat sebuah cahaya terang yang memenuhi ruangan itu, sampai-sampai aku ingin pingsan karena saking silaunya. Di tengah berkas cahaya itu muncul seorang yang sangat tampan. Baru pertama kali melihat, rasanya aku sudah ngefans banget, sudah dekat banget hatiku dengan dia. Sepertinya ia lebih dari seorang malaikat.
“Sesosok lelaki itu tampan; bersinar wajahnya; baik akhlaknya; perutnya tidak gendut; tidak kecil kepalanya; hitam matanya sangat hitam; bulu matanya lebat dan lentik; suaranya berwibawa; lehernya bersih bersinar; jenggotnya lebat; alisnya tipis memanjang dan bersambung satu dengan yang lain; jika diam berwibawa; jika berbicara, tutur katanya indah; sedap dipandang dari jauh maupun dari dekat; manis bicaranya, jelas, tidak terlalu singkat dan tidak bertele-tele; bahkan seperti untaian mutiara. Postur tubuhnya sedang; tidak terlalu tinggi, atau terlalu pendek sehingga diremehkan orang lain……Dia tidak pernah terlihat cemberut atau menampakkan muka sebagai orang bodoh.”[7] Dimas sepertinya paham betul deskripsi manusia dari balik cahaya itu, buktinya aku yang mendengarnya tak sempat menghela napas karena takjub akan keindahan sosok itu.
“Perawakannya sedang. Tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek. Mukanya bercahaya tidak putih sekali dan tidak coklat. Rambutnya tidak keriting dan tidak lurus tetapi bergelombang.”[8]
“Kami saling memandang, dan beliau memberi salam kepadaku dengan lengkap. Beliau mulai memperkenalkan diri dan menghiburku dengan menceritakan kisah kecil beliau kepadaku dengan singkat, tetapi dalam banget. Rasanya aku sudah tidak sendirian lagi, karena beliau semulia-mulianya manusia sudah berkenan mengobati kesedihanku. Pada akhir perjumpaan kami, beliau memberikan suatu pesan. Ia menyuruhku untuk membacakan shalawat kepada beliau ketika hatiku merasa hampa dan diliputi rasa rindu pada beliau. Bahkan aku hampir hafal dengan sabda beliau: “Barang siapa yang bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah akan mencurahkan rahmat dan ampunan-Nya sepuluh kali.”[9]
Kemudian tiba-tiba ruangan yang terang benderang itu berubah menjadi gelap kembali. Aku diantar pulang orang yang membawaku tadi dengan wajah penuh senyum –begitupun aku- seraya berbicara kepadaku yang kali ini aku coba cerna dengan teliti. Ternyata ia mendendangkan sebuah syair: Dia (Rasulullah) Orang jujur, pilihan Allah, mengajak pada kebaikan. Habis gelap, terbitlah terang.[10]
“Setelah aku sampai di ambang pintu, sekonyong-konyong orang itu menghilang dan aku terbangun dari mimpi. Telingaku disambut dengan gema takbir yang mengisi lorong-lorong udara, serasa sesak berebut frekuensi. Aku mulai tersadar bahwa pertemuanku dengan Nur fauqa Nur itu hanya di alam mimpi.” Ucap Dimas sedikit mendesah, melihat panorama mimikku yang sedikit berkerut meragukannya. “Tapi, mimpi itu terasa nyata, bagaikan purnama yang bersinar tanpa sedikitpun mendung di sekelilingnya.” lanjutnya, mencoba meyakinkanku.
“Ya,” aku mulai buka mulut untuk sekedar merespon cerita si-Kara. “Walaupun begitu, bertemu dengan manusia pilihan Allah itu bukan sembarang orang mengalaminya. Mungkin bunga tidurmu itu merupakan peringatan Allah agar kamu supaya engkau selalu optimis dalam menjalani hidup ini, sebagaimana Rasulullah yang tidak pernah putus asa walaupun seribu satu rintangan menghalangi tekadnya. Ingatlah, habis gelap terbitlah terang, setelah hujan pun segera muncul pelangi, seperti kamu saat ini.” Kataku sambil menepuk pundaknya. Ia tampak sumringah dengan tanggapanku terhadap ceritanya.
Kembali aku tersadar dari lamunan lima belas tahun silam itu, ketika butir-butir air hujan yang mulai lengang menetes di keningku. Pak tetua kampung sudah mengantar anak kecil yang terjatuh tadi, yang mengaku mempunyai nama Ajik, ke rumah ibunya. Naira mulai mencibirku karena sejak tadi aku terbengong sendiri, yang tidak me-legewo[11] apa yang terjadi di sekitarnya.
“Wah, Kang Jukun sedang berimprovisasi dengan kejadian tadi ya? Sudah bisa jadi bait-bait puisi dong!” sindir si cewek super crewet yang berpipi kemerah-merahan karena terlalu tebal memakai make up –terlalu menor menurutku. Yah, teman-teman memang terlalu memuji aku, sehingga ketika sedikit saja aku terjatuh atau bahkan dijatuhkan rasanya teramat sakit. Apalagi kalau mengenai sesuatu yang berbau puitis, pasti selalu menuding aku sebagai creatornya karena kebiasaanku –bukan hobi- mengisi waktu senggang dengan membuat sajak pendek atau gurindam sampai-sampai prosa agak panjang yang kemarin aku buat dicuri teman-teman untuk dimuat majalah kampus. Aku menimpalinya dengan senyum getir, senyum khas untuk membalas sindirannya -yaitu dengan sedikit menarik pipi kananmu ke atas diikuti kerdipan mata kanan.
Kami semua kembali masuk rumah dan membahas agenda kegiatan KKN yang dibebankan kepada kami selama kurang lebih empat minggu. Kami ditemani Pak Tetua Kampung berdiskusi untuk menentukan kegiatan yang akan diadakan sebagai salam sapa pembuka kedatangan kami. Usul mencuat dari bibir sana, bibir sini, layaknya sebuah rapat anggota Dewan yang sedang membahas RUU. Dimas –karena dia sebagai ketua rombongan kami- mengetuk palu kali pertama dengan keputusan: Akan diselenggarakan pengajian umum, sehubungan dengan masuknya bulan Maulud atau Rabi’ul Awal, bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW, sekaligus perkenalan dan  ramah tamah dari rombongan Mahasiswa. Dia kembali mengetuk palu kali kedua dengan putusan: Pengajian dilaksanakan seminggu lagi di serambi Masjid al-Mufakat dengan mengundang seluruh warga kampung. Ketukan palu ketiga, keputusan yang terakhir: Mengenai anggaran belanja disokong dua pertiga oleh pemerintah desa dengan mengajukan proposal, sisanya dari pihak mahasiswa sendiri, baik dengan uang pribadi atau mencari sponsor. Adapun mengenai susunan acara akan dibahas lebih lanjut setelah perlengkapan udah clear. “Demikian diskusi pada kesempatan kali ini, atas perhatian dan partisipasinya saya ucapkan terima kasih.” Begitu kata penutup meeting malam ini.
Aku sudah lelah. Mataku sudah tidak mau diajak kompromi lagi. Aku sudah menggelar tikar dan bersiap-siap untuk merebahkan badan. Yah, kami harus menerima keadaan untuk tidur di lantai beralaskan tikar, karena rumah Pak Tetua Kampung hanya memiliki dua kamar berukuran tiga kali tiga meter. Yang satu digunakan oleh beliau bersama istrinya, dan kamar satunya lagi untuk Naira dan Isma karena tidak mungkin kami berlima tidur sebangsal.
Mataku sudah hampir meredup, seperti memiliki pseudo engsel yang hampir melekat sempurna. Namun, hatiku masih terjaga. Dalam hati aku bermunajat kepada Allah, semoga Dia senantiasa memberikan rahmat-Nya kepada kekasih-Nya Muhammad ibnu Abdullah SAW yang mengalir sejauh dari ufuk timur sampai ufuk barat, sebanyak bilangan-bilangan bintang yang mengisi jagat raya, seluas buih mengisi lautan; yang semoga uswatun hasanah beliau bisa merembes ke pori-pori sifat dan perbuatan kami, menjadi pelipur lara jiwa-jiwa kami yang hampa, dan senantiasa memenuhi labuhan kerinduan kami untuk bertemu dengan beliau. Amin.
Cerita malam itu ditutup dengan  hembusan angin malam yang membawa kabar gembira akan datangnya sang fajar. Semburat sinar putih di setiap penjuru bumi menantang gelapnya malam, pertanda gema-gema alam bersorak-sorai menyambut kumandang pujian Tuhan, Allahu Akbar. Itulah waktu di mana sang Rahmatan lil ‘Alamin memijakkan kedua kaki dan tangan mungilnya di bumi pertama kali dengan kepala mendongak ke atas pertanda kemuliaan cita dan cinta beliau akan umat. Dalam rentang waktu yang lamanya seukuran jari tengah dan telunjuk yang merapat ini, para pendusta dan para pecinta akan merindu syafaat beliau di tengah samudera gurun mahsyar, menanti payung peneduh yang diperuntukkan bagi orang-orang yang bibirnya selalu basah mengucap: Allahumma Sholli wa Sallim ‘ala Sayyidina  Muhammad (Semoga Allah senantiasa memberi rahmat ta’dzim serta keselamatan atas baginda Nabi Muhammad)




[1] “Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.” (QS. Thaha: 55)
[2] Main Perempuan
[3] Selamat hari raya
[4] “…dan mema'afkan (kesalahan) orang.” (QS. Ali Imran: 134)
[5] Berseri
[6] Penjelasan
[7] Sebagaimana deskripsi Ummu Ma’bad al Khuzai
[8] Sebagaimana deskripsi Anas bin Malik al Anshari ra
[9] Hadis riwayat Muslim dari Abu Hurairah.
[10] Syair Abu Bakar as-Shiddiq ketika berjumpa dengan Rasul, diriwayatkan oleh Anas bin Malik.
[11] Menghiraukan

No comments :

Post a Comment