Langkah demi langkah kami menyusuri
bukit-bukit penuh semak belukar, sambil bergandengan tangan tanpa henti.
Langkah ini semakin berat, seperti ada beban yang merantai di pergelangan kaki
kami. Sesekali kami menghela nafas panjang dan menghempaskannya dengan
meneriakkan vocal ‘A’ panjang untuk sekedar merelaksasikan fikiran dan jiwa
kami yang penuh cucuran peluh. Perjalanan ini sungguh melelahkan.
Kami berlima: Aku, Dimas, Aji,
Naira, dan Isma mendapat tugas dari Ketua Jurusan (Kajur) Tarbiyah IAIN
Walisongo untuk melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada semester pungkasan. Hampir
5 km kami berjalan dari tepian Jalan Karanganyar-Kudus menuju desa Undaan, sebuah
perkampungan kecil yang di tengah hamparan pesawahan. Kampung itu terkenal
dengan hasil bumi berupa sayur mayur dan buah-buahan, namun seiring dengan
bertambahnya area industri di daerah sekitar banyak warga desa yang
berbondong-bondong beralih profesi menjadi buruh pabrik. Kami menikmati perjalanan
yang menguras tenaga ini, seraya saling melontarkan celoteh. Kali ini aku yang
jadi sasaran baku
tembak cibiran mereka, karena sampai sekarang aku masih menyandang status
jomblo. Lain dengan teman-teman di sampingku ini, sudah mahir memainkan istilah
cinta atau setidaknya sudah mencicipi indahnya pacaran. Hatiku semakin panas
ketika Dimas ikut-ikutan meledek, seakan-akan ia membuka kartu As yang pernah
aku perlihatkan padanya.
Aku bergumam sendiri dalam hati
sambil melirikkan mata ke arah Dimas. Dia adalah rival terberat di kampusku
dalam beberapa ajang lomba karya ilmiah. Selain rival, ia juga sahabat karibku
yang aku anggap seperti saudara kandung. Tak seperti aku yang hidup
berkecukupan dan masih memiliki kedua orang tua, ia hidup cukup memprihatinkan.
Semenjak ia kecil ia menjadi yatim piatu. Ayahnya seorang tukang becak
meninggal sebagai korban tabrak lari, sedangkan ibunya meninggal kena serangan
kanker leher rahim ketika mengandung adiknya yang baru berusia 7 bulan. Dokter
memvonis harus diadakan aborsi, namun Allah berkehendak lain. Keduanya
meninggal dunia. Bahkan Dimas tidak sempat menemani detik-detik terakhir
bersama mereka, ketika itu ia sibuk menemani pamannya mengurusi administrasi
rumah sakit. Namun, waktu itu tak sedikitpun aku lihat lelehan air mata yang
mengalir dari pelupuk matanya. Tak seperti tanah makam keluarganya yang masih
basah dengan serpihan bunga bertabur di atasnya. Ia duduk termangu di antara kedua nisan itu, sambil
mengorek-orekkan sebatang kayu di atas
tanah seakan ingin menyampaikan isyarat hatinya kepada medan penghabisan itu. Yah, minha
khalaqnakum, wa fiha mu’idukum, wa minha nukhrijukum tarotan ukhra[1],
sepertinya kalimat ini yang senantiasa terngiang-ngiang di telinga sebatang
kara itu berharap Tuhan memutar waktu lebih cepat dan terus cepat agar bumi
segera memuntahkan isi perutnya.
Aku teringat waktu hari lebaran lima belas tahun yang
lalu, Dimas kecil hidup dalam kegelapan malam sendiri di kamar sempit berukuran
dua meter persegi. Dari jauh aku lihat, di tepi jendela ia mengamati rombongan
takbir keliling menggenggam obor pembakar nafsu dan syetan seraya memekikkan
pujian-pujian Tuhan, Allahu Akbar. Aku berhenti sejenak mengamati
gerak-geriknya yang tampak seperti raga tak bernyawa. Seperti hilang semangat
hidup dan bungkam terhadap nada-nada kehidupan. Kedua bola matanya menatap
tajam, tapi kosong. Aku mulai susuri lensa matanya, menembus kornea, pupil,
sampai ujung retina tak tergambar sedikitpun bayangan kebahagiaan di hari
kemenangan ini, selain gambaran fatamorgana masa lalunya. Gambar itu melapisi
seluruh jaringan matanya sehingga yang tampak hanya mata yang sayup penuh beban
hidup. Namun sekali lagi, aku tidak menemukan butiran air mata yang mengalir ke
hilir pipinya. Entah bendungan apa yang sanggup menahan muntahan kesedihan itu.
Mungkin itu salah satu keistimewaan yang dimiliki kedua bola mata hitamnya,
hitam penuh teka-teki.
Lamunanku terhenti sejenak ketika
kaki ini sudah memijak di batas desa. Desa Undaan tampak asri, lengkap dengan
atribut alam yang jauh dari kontaminasi metropolis. Kami segera mencari
kediaman kepala desa untuk sejenak berebah menghilangkan rasa capek. Sesampai
di rumah kayu bercat hijau muda dengan atap joglo khas Jawa, kami dipersilakan
masuk. Secangkir kopi hangat di suguhkan menemani rehat kami di rumah itu yang
semakin lama diliputi kegelapan malam. Sang purnama sudah siap menampilkan
senyum indahnya.
Suasana malam itu semakin kondusif
setelah tiba-tiba udara mendingin, sang rembulan meredup terhalang hamparan
mendung gelap. Gelap, semakin gelap keadaan sekitar malah semakin asyik kami
berbincang-bincang dengan tetua di kampung itu, sambil sesekali menyeruput kopi
hangat dihadapan kami. “Warga kampung sini amat bersahaja dalam menjalani
hidup, selalu menghormati tamu pendatang, tidak mau berbohong, mencuri sekecil
apapun dan dalam bentuk apapun. Namun sayang, akidah islam mereka masih
bercampur dengan adat leluhur. Sebagian
mereka masih percaya akan adanya cerita takhayul maupun tradisi sesajen.
Walaupun saya sudah sering mengingatkan, namun sepertinya kepercayaan itu sudah
mendarah daging.” Tutur tetua kampung dengan harapan kami bisa membantu
memerangi kejahilan warganya.
Sayup suara air hujan bergemricik
di sela-sela atap rumah mengalir ke talang air dan jatuh ke pelimbahan menambah
eksotis malam ini. Namun, keheningan itu pecah karena terdengar suara aneh yang
muncul dari arah seberang jalan. Suara itu seperti angin yang memecah
partikel-partikel air menjadi muatan listrik. Tapi, bukan itu. Suara itu
disusul erangan keras seperti anak kecil yang merengek minta segelas susu.
Sontak saja kami berhambur menuju bibir pintu dan melihat apa yang terjadi.
Terlihat seorang anak usia delapan tahunan terjatuh tertimpa sepeda dengan drum
air terikat di bagian belakang sepeda. Sepertinya ia terjatuh karena terlalu
berat beban yang ia bawa sehingga terjungkal dan jatuh.
Dari ujung yang lain, Dimas
menunjukkan sifat yang membuat kami semua kaget. Ia berlari mengambil payung dari
dalam ranselnya kemudian menghampiri anak kecil yang basah kuyup itu. Pertama
yang ia lakukan adalah mengulurkan payungnya kepada anak itu sambil melepas
ikatan drum pada bagian belakang sepeda. Kedua, ia menegakkan sepeda dan
menyandarkannya pada sebuah pohon jati di sebelah kanannya. Terakhir, ia
membopong anak itu menuju emperan rumah tetua kampung. Tampaknya kaki kiri
bocah itu terkilir. Sepertinya Dimas merasa yang paling mengerti dengan keadaan
anak kecil. Setelah berteduh sejenak di emperan rumah dan meneguk segelas air
putih, anak itu mulai buka mulut menceritakan perihal kejadiannya. Setiap hari,
ia harus menyetor drum berisi 20 liter air mineral kepada para pelanggan
setianya dengan mengayuh sepeda mini Phoenix
untuk membantu meringankan beban ekonomi ibunya. Ayahnya bekerja di luar kota sudah tiga tahun
tidak ada kabarnya. Mungkin penyakit medok-nya[2]
kambuh, sehingga dia membina rumah tangga baru di daerah kerjanya dan melupakan
anak kecil berambut kriting itu bersama ibunya.
Gumam batinku, nasib anak ini
sungguh malang .
Namun hal ini juga pernah di alami Dimas, si Pahlawan Kesiangan. Rintik hujan
dan rerontokan daun trembesi menjadi saksi perjuangan dan alur hidup si Kara
alias Dimas dengan mata sayupnya. Lima
belas tahun lalu, ketika takbir berkumandang dari pita-pita suara kami,
menggelombang di setiap celah udara, mengayun dan membumbung ke angkasa,
berharap sang Khaliq bangga dan tersenyum mendengar pujian-pujian kami
lantunkan di masjid penjuru dunia.
Hari kemenangan telah tiba, hampir
semua insan menjelma putih bersih dari ujung kepala sampai ujung kaki bak bayi
yang baru mencium aroma bumi. Suci dari dosa dan penuh kegembiraan. Sekalian
manusia datang berkumpul bersama sanak saudara anjang sana anjang sini, bersilaturrahim sambil
mengucap ”sugeng riyadhi”[3]
dan saling bersalam-salaman meminta maaf. Aku bersama keluargaku tak mau
ketinggalan mengikuti tradisi ini. Kata pak Ustad, tradisi halal bi halal
adalah bentuk keberagamaan Indonesia
sebagai bentuk refleksi ayat Tuhan “wal ‘afina ‘aninnas”.[4] Walaupun
ini cuma tradisi yang tidak kita temukan di negara-negara Arab, tidak ada
salahnya mengabadikannya sebagai bagian dari hari raya.
Aku sudah tak sabar ingin melihat
kondisi si Kara di kediamannya. Aku pun menuju rumahnya dengan membawa seikat
ketupat dan rantang berisi opor ayam untuk melihat apakah ada perubahan pada
tatapan matanya. Benar saja, setelah aku mengucapkan “assalamu’alaikum”,
ia menjawab dengan suara lantang dengan nada yang hampir-hampir aku tidak
percaya kalau itu suaranya. “Wa’alaikum salam warohmatullahi wabarokatuh”,
ia menjawab salamku dengan lengkap. Nadanya pun satu oktaf lebih tinggi dari
suaraku tadi. Ada
apa dengan si-Kara berkemeja kotak-kotak ini?
Dimas membukakan pintu dari kayu
jati berukiran khas Jepara dan menyambut tatapan mataku dengan mata yang
berbinar-binar. Sayup matanya mulai terang benderang, tanpa aku telusuri pun
sudah tampak berkas kebahagiaan di urat syarafnya. Sudah tidak ada berkas kalut
yang membalut jaringan matanya. Apa gerangan yang mengubah keadaan temanku ini?
“Wah, ketupat bikinanmu sendiri ,
Kun?” ujarnya membuka dialog kami. Ia mulai menyapa aku dengan laqob aneh,
Jukun alias juru kunci. Alasan ia memilih panggilan itu karena aku sering
dijadikan pelabuhan kunci jawaban ketika ada ulangan kelas. Teman-teman
menganggap IQ-ku paling tinggi, jadi sering dimintai contekan.
“Yup, tapi yang mengisi dan memasak
ya tetep mamiku lah!” jawabku dengan santai.
“Ngomong-omong tumben wajahmu sumringah[5],
ada apa gerangan?” tanyaku mengintrogasi perubahan mimik mukanya hari ini.
“Semalam aku mendapatkan sesuatu
yang sangat spesial dari orang yang paling spesial.” Seperti itulah jawaban
manusia super aneh ini. Jawabannya singkat dan penuh teka-teki, penuh tanda
tanya.
“Maksudmu, mendapatkan apa? Dari
siapa?” aku mengumpan pertanyaan balik berharap mendapat jawaban yang lebih
detail dan tidak absurd.
Ia menarik napas panjang sebagai
kuda-kuda ketika bercerita. Napas Dimas memang agak pendek tersengal-sengal
karena adanya garis keturunan yang membawa bibit asma. Faktor hereditas yang
sering disebut-sebut sebagai faktor penyakit yang sulit dihindari itu malah
membuat Dimas semakin mahir dalam bercakap-cakap, terutama bidang logika
linguistik atau mantiq. Sering orang yang mengaku pintar atau dipandang pintar
ketika ia bisa mengelabuhi pikiran orang lain dengan bicaranya. Padahal omongannya
kosong, rancu, dan orientasinya cuma satu, membuat orang lain bingung dan diam
tak berkutik untuk menimpalinya. Itulah omongan tukang debat, orator
provokatif, dan wartawan bodrek.
“Semalam aku bertemu dengan kekasih
Tuhan, Rasulullah SAW. Ia memberiku sebuah wejangan yang membuat aku sekarang
lebih fine dalam menjalani hidup.”
Aku terperangah tidak percaya
dengan ucapan Dimas, si Kara yang biasanya berpenampilan dekil, berwajah kusut,
dan berambut acak-acakan, sekarang menjelma menjadi lelaki gagah di usianya
yang relatif lebih tua dari aku.
“Coba ceritakan jluntrungane![6]
Soalnya Rasulullah kan
sudah wafat 15 Abad mendahului kita.” Ujarku meragukan cerita temanku ini.
“Kamu pasti tidak percaya dengan
ceritaku.” Ia sudah menyadari pikiranku tentang dia. Tanpa ragu, ia pun
menyambung cerita dalam mimpinya itu.
“Malam itu aku duduk termangu
sendiri di teras rumah melihat teman-teman kecilku bermain kembang api dan
memakai baju barunya untuk lebaran esok hari. Aku berandai, kapan aku bisa
merasakan kebahagiaan seperti mereka? Bermain dengan gembira, merasakan
kebersamaan bersama keluarga, memakai baju baru dan menyalakan kembang api. Ah,
daripada aku melamun, mendingan ikut bermain bersama mereka saja, walau harus
menerima konsekuensi berupa hinaan dan sindiran. Belum sempat kaki ini
melangkah tiba-tiba hujan gerimis turun, seketika segerombolan teman-teman
kecilku berhamburan menuju rumah masing-masing untuk berteduh.” Ia berhenti
bercerita. Sesaat ia menghela napas untuk mengisi penuh volume paru-parunya.
Tampaknya udara residu pada paru-parunya sudah habis untuk mendeskripsikan
kejadian mimpi malam itu.
Aku pun turut larut dalam cerita
itu. Rasanya jiwa ini mencair mengikuti setiap untaian kata dan nada bicaranya
yang kadang naik-turun seperti dalang yang sedang pentas. Imajinasiku mulai
menyuting keadaan si-Kara dalam mimpinya, dengan cuaca gerimis dan hati yang
tampak dingin, membeku sendu.
Ia melanjutkan ceritanya. “Aku
urungkan niat, dan kembali ke posisi semula. Tiba-tiba ada seseorang yang
menghampiri dari sisi kananku. Ia memanggiku dengan sebutan “ghulam” atau anak
kecil. Sejenak ia berbicara kepadaku tetapi aku tidak tahu apa maksudnya.
Kemudian ia membawaku ke suatu tempat yang belum pernah aku kunjungi
sebelumnya. Aku melihat sebuah cahaya terang yang memenuhi ruangan itu,
sampai-sampai aku ingin pingsan karena saking silaunya. Di tengah berkas
cahaya itu muncul seorang yang sangat tampan. Baru pertama kali melihat,
rasanya aku sudah ngefans banget, sudah dekat banget hatiku dengan dia.
Sepertinya ia lebih dari seorang malaikat.
“Sesosok lelaki itu tampan; bersinar wajahnya; baik
akhlaknya; perutnya tidak gendut; tidak kecil kepalanya; hitam matanya sangat
hitam; bulu matanya lebat dan lentik; suaranya berwibawa; lehernya bersih bersinar; jenggotnya lebat;
alisnya tipis memanjang dan bersambung satu dengan yang lain; jika diam
berwibawa; jika berbicara, tutur katanya indah; sedap dipandang dari jauh
maupun dari dekat; manis bicaranya, jelas, tidak terlalu singkat dan tidak
bertele-tele; bahkan seperti untaian mutiara. Postur tubuhnya sedang; tidak
terlalu tinggi, atau terlalu pendek sehingga diremehkan orang lain……Dia tidak pernah
terlihat cemberut atau menampakkan muka sebagai orang bodoh.”[7]
Dimas sepertinya paham betul deskripsi manusia dari balik cahaya itu, buktinya
aku yang mendengarnya tak sempat menghela napas karena takjub akan keindahan
sosok itu.
“Perawakannya sedang. Tidak terlalu tinggi dan tidak
terlalu pendek. Mukanya bercahaya tidak putih sekali dan tidak coklat.
Rambutnya tidak keriting dan tidak lurus tetapi bergelombang.”[8]
“Kami saling memandang, dan beliau memberi salam
kepadaku dengan lengkap. Beliau mulai memperkenalkan diri dan menghiburku
dengan menceritakan kisah kecil beliau kepadaku dengan singkat, tetapi dalam
banget. Rasanya aku sudah tidak sendirian lagi, karena beliau semulia-mulianya
manusia sudah berkenan mengobati kesedihanku. Pada akhir perjumpaan kami,
beliau memberikan suatu pesan. Ia menyuruhku untuk membacakan shalawat kepada
beliau ketika hatiku merasa hampa dan diliputi rasa rindu pada beliau. Bahkan
aku hampir hafal dengan sabda beliau: “Barang siapa yang bershalawat kepadaku
satu kali, maka Allah akan mencurahkan rahmat dan ampunan-Nya sepuluh kali.”[9]
Kemudian tiba-tiba ruangan yang terang benderang itu
berubah menjadi gelap kembali. Aku diantar pulang orang yang membawaku tadi
dengan wajah penuh senyum –begitupun aku- seraya berbicara kepadaku yang kali
ini aku coba cerna dengan teliti. Ternyata ia mendendangkan sebuah syair: Dia
(Rasulullah) Orang jujur, pilihan Allah, mengajak pada kebaikan. Habis
gelap, terbitlah terang.[10]
“Setelah aku sampai di ambang pintu, sekonyong-konyong
orang itu menghilang dan aku terbangun dari mimpi. Telingaku disambut dengan
gema takbir yang mengisi lorong-lorong udara, serasa sesak berebut frekuensi.
Aku mulai tersadar bahwa pertemuanku dengan Nur fauqa Nur itu hanya di alam
mimpi.” Ucap Dimas sedikit mendesah, melihat panorama mimikku yang sedikit
berkerut meragukannya. “Tapi, mimpi itu terasa nyata, bagaikan purnama yang
bersinar tanpa sedikitpun mendung di sekelilingnya.” lanjutnya, mencoba
meyakinkanku.
“Ya,” aku mulai buka mulut untuk sekedar merespon cerita
si-Kara. “Walaupun begitu, bertemu dengan manusia pilihan Allah itu bukan
sembarang orang mengalaminya. Mungkin bunga tidurmu itu merupakan peringatan
Allah agar kamu supaya engkau selalu optimis dalam menjalani hidup ini,
sebagaimana Rasulullah yang tidak pernah putus asa walaupun seribu satu
rintangan menghalangi tekadnya. Ingatlah, habis gelap terbitlah terang, setelah
hujan pun segera muncul pelangi, seperti kamu saat ini.” Kataku sambil menepuk
pundaknya. Ia tampak sumringah dengan tanggapanku terhadap ceritanya.
Kembali aku tersadar dari lamunan lima belas tahun silam itu, ketika
butir-butir air hujan yang mulai lengang menetes di keningku. Pak tetua kampung
sudah mengantar anak kecil yang terjatuh tadi, yang mengaku mempunyai nama
Ajik, ke rumah ibunya. Naira mulai mencibirku karena sejak tadi aku terbengong
sendiri, yang tidak me-legewo[11]
apa yang terjadi di sekitarnya.
“Wah, Kang Jukun sedang berimprovisasi dengan kejadian
tadi ya? Sudah bisa jadi bait-bait puisi dong!” sindir si cewek super crewet
yang berpipi kemerah-merahan karena terlalu tebal memakai make up –terlalu
menor menurutku. Yah, teman-teman memang terlalu memuji aku, sehingga ketika
sedikit saja aku terjatuh atau bahkan dijatuhkan rasanya teramat sakit. Apalagi
kalau mengenai sesuatu yang berbau puitis, pasti selalu menuding aku sebagai creatornya
karena kebiasaanku –bukan hobi- mengisi waktu senggang dengan membuat sajak
pendek atau gurindam sampai-sampai prosa agak panjang yang kemarin aku buat dicuri
teman-teman untuk dimuat majalah kampus. Aku menimpalinya dengan senyum getir,
senyum khas untuk membalas sindirannya -yaitu dengan sedikit menarik pipi
kananmu ke atas diikuti kerdipan mata kanan.
Kami semua kembali masuk rumah dan membahas agenda
kegiatan KKN yang dibebankan kepada kami selama kurang lebih empat minggu. Kami
ditemani Pak Tetua Kampung berdiskusi untuk menentukan kegiatan yang akan
diadakan sebagai salam sapa pembuka kedatangan kami. Usul mencuat dari bibir sana , bibir sini, layaknya
sebuah rapat anggota Dewan yang sedang membahas RUU. Dimas –karena dia sebagai
ketua rombongan kami- mengetuk palu kali pertama dengan keputusan: Akan diselenggarakan
pengajian umum, sehubungan dengan masuknya bulan Maulud atau Rabi’ul Awal,
bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW, sekaligus perkenalan dan ramah tamah dari rombongan Mahasiswa. Dia
kembali mengetuk palu kali kedua dengan putusan: Pengajian dilaksanakan
seminggu lagi di serambi Masjid al-Mufakat dengan mengundang seluruh warga
kampung. Ketukan palu ketiga, keputusan yang terakhir: Mengenai anggaran
belanja disokong dua pertiga oleh pemerintah desa dengan mengajukan proposal,
sisanya dari pihak mahasiswa sendiri, baik dengan uang pribadi atau mencari
sponsor. Adapun mengenai susunan acara akan dibahas lebih lanjut setelah
perlengkapan udah clear. “Demikian diskusi pada kesempatan kali ini,
atas perhatian dan partisipasinya saya ucapkan terima kasih.” Begitu kata penutup
meeting malam ini.
Aku sudah lelah. Mataku sudah tidak mau diajak kompromi
lagi. Aku sudah menggelar tikar dan bersiap-siap untuk merebahkan badan. Yah,
kami harus menerima keadaan untuk tidur di lantai beralaskan tikar, karena
rumah Pak Tetua Kampung hanya memiliki dua kamar berukuran tiga kali tiga
meter. Yang satu digunakan oleh beliau bersama istrinya, dan kamar satunya lagi
untuk Naira dan Isma karena tidak mungkin kami berlima tidur sebangsal.
Mataku sudah hampir meredup, seperti memiliki pseudo
engsel yang hampir melekat sempurna. Namun, hatiku masih terjaga. Dalam hati
aku bermunajat kepada Allah, semoga Dia senantiasa memberikan rahmat-Nya kepada
kekasih-Nya Muhammad ibnu Abdullah SAW yang mengalir sejauh dari ufuk timur
sampai ufuk barat, sebanyak bilangan-bilangan bintang yang mengisi jagat raya,
seluas buih mengisi lautan; yang semoga uswatun hasanah beliau bisa merembes ke
pori-pori sifat dan perbuatan kami, menjadi pelipur lara jiwa-jiwa kami yang
hampa, dan senantiasa memenuhi labuhan kerinduan kami untuk bertemu dengan
beliau. Amin.
Cerita malam itu ditutup dengan hembusan angin malam yang membawa kabar
gembira akan datangnya sang fajar. Semburat sinar putih di setiap penjuru bumi
menantang gelapnya malam, pertanda gema-gema alam bersorak-sorai menyambut
kumandang pujian Tuhan, Allahu Akbar. Itulah waktu di mana sang Rahmatan lil
‘Alamin memijakkan kedua kaki dan tangan mungilnya di bumi pertama kali
dengan kepala mendongak ke atas pertanda kemuliaan cita dan cinta beliau akan
umat. Dalam rentang waktu yang lamanya seukuran jari tengah dan telunjuk yang
merapat ini, para pendusta dan para pecinta akan merindu syafaat beliau di
tengah samudera gurun mahsyar, menanti payung peneduh yang diperuntukkan bagi
orang-orang yang bibirnya selalu basah mengucap: Allahumma Sholli wa Sallim
‘ala Sayyidina Muhammad (Semoga
Allah senantiasa memberi rahmat ta’dzim serta keselamatan atas baginda Nabi
Muhammad)
[1] “Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu
dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan
mengeluarkan kamu pada kali yang lain.” (QS. Thaha:
55)
[4] “…dan mema'afkan (kesalahan) orang.” (QS.
Ali Imran: 134)
[5] Berseri
[6] Penjelasan
No comments :
Post a Comment