Menelusuri jalan sepanjang 20 km memang bukan pekerjaan yang mudah. Di
bawah terik raja siang yang semakin menyeringai di tambah dahaga kerongkongan
kian membuat perjalanan ini bertambah berat. Walau kibasan lalu lalang
kendaraan meniupkan angin ke lubang tubuhku, masih tak menurunkan temperature
badan yang kepanasan ini. Ku tengok lukisan langit tak menggambarkan sedikitpun
tanda-tanda munculnya awan mendung. Hanya si Raja siang yang gagah perkasa
menghujamkan panah sinarnya, ditangkis perisai aspal jalan membuat hawa neraka
makin terasa.
Aku, sebut saja pemulung, bersama kawanan penghuni rumah kumuh
bercengkrama di ruas-ruas trotoar jalan. Berjalan dari satu tong sampah, bak
sampah, sampai ke pembuangan limbah industri plastik. Pekerjaan ini tentunya
bukan cita-cita, hanya saja keadaan yang menjadikan pemulung satu-satunya
profesi yang pantas buat kami, kaum pinggiran. Memungut sampah di setiap liku jalan atau
kotak-kotak sampah di trotoar menjadi semacam suratan takdir bahwa keberadaan
hidup kami bak sampah yang tak diinginkan. Miskin, bodoh, dan terasing.
Sebagaimana kawasan-kawasan elit yang menyantumkan warning: “Pemulung
dilarang masuk!”
Namun, aku tak mau menyalahkan nasib. Sebagian nasib itu ada dikepalan
tanganku, jika aku mau mengayunkannya untuk bekerja. Aku mulai mencoba
mencintai pekerjaan ini dengan cara sesekali melirik petugas kebersihan jalan
yang memakai seragam dinasnya. Jabatan pegawai yang paling rendah kalau bisa
dibilang, namun jasanya tidak kepalang besarnya. Bayangkan saja dari Jendral
Sudirman, HOS. Cokroaminoto, Ahmad Yani, sampai Imam Bonjol, membersihkan
dedaunan, sampah plastic, sampai putungan rokok yang sering membanjiri tepian
jalan.
Aku melenggang melewati gugusan jalan yang memakai gelar para pahlawan
itu. Sebut saja Jendral Sudirman, bukan kepalang jasanya perwira yang satu ini.
Palagan Ambarawa menjadi saksi kejantanan pahalawan yang satu ini. Namun,
sekarang tinggal menjadi nama untuk sebuah jalan yang sesakdengan asap knalpot,
berjubel sampah di selokannya. Belum lagi ketika musim hujan datang, harus
menahan napas karena banjir. Menjadi berkah tersendiri bagi pemulung seperti
ku, jika ada sampah seperti ini, bahkan sampah organik pun berguna bagi ku. Walau
hanya dengan ketrampilan sederhana, dengan memisahkan antara sampah organik
dengan anorganik, kemudian membersihkan dan mengolahnya menjadi barang jadi
maupun setengah jadi. Kadang-kadang risih juga dengan olok-olok teman yang
menyebutku sebagai: “pendekar sampah”, karena hampir semua jenis sampah aku
muat dalam karung.
Dua kilometer berikutnya tepat di bawah Traffic lamp
berduyun-duyun bocah pengemis maupun pengamen menggantungkan nasib mereka pada
punggung jalan sang Jendral. Aku mengurut dada sambil mengucap syukur
Alhamdulillah, masih ada yang nasibnya lebih parah daripada ku. Sekitar enam
puluh detik berjalan lampu hijau mulai menyala, ku lihat hampir separo lebih
kendaraan memilih belok kiri dari pada lurus. Aku jadi penasaran, padahal
sebelumnya tidak ku lihat satu pun kedaraan yang menyalakan lampu rating. Tanpa
ambil pusing, aku memilih arah lurus sambil mencari tahu apa gerangan yang
menyebabkan jalan lurus kurang diminati.
Dari tepi trotoar ku lihat plang jalan bertulis Jl. HOS. COKROAMINOTO,
kawasan rumah susun. Mungkin di sana terdapat lumbung rejeki bagiku. Semakin
jauh aku menelusuri garis trotoar jalan, suasana semakin tidak mengenakkan. Bau
yang tidaksedap tercium sejauh seratus meter dari tepi jalan, tampak sekerumun
pedagang asongan berbaris menjajakan segala macam jenis barang jualan di pintu
gerbang pabrik tekstil yang tersohor. Tepat pukul setengah dua belas siang,
para buruh pabrik berjubel memadati jalanan yang dipenuhi pedangang asongan
itu. Berjajar sembarang dagangan seperti peralatan masak, perkakas rumah
tangga, pakaian, bahkan bahan-bahan makanan.
Mungkin ini yang menjadikan orang-orang menghindari jalur ini, karena
macet panjang akibat pedagang-pedagang liar yang memenuhi punggung jalan. Tak
salah jika HOS. Cokroaminoto menjadi saudagar sukses, berkat namanya saja bisa
memberikan rejeki lancar kepada para pedagang ini. Namun, tak tanggung-tanggung
jika kerap kali ada sweeping dari satpol PP, bisa merugi hingga jutaan rupiah.
Selain itu, terkadang juga banyak sampah yang menggunung di tepian jalan akibat
ulah pedagang yang tak bertanggungjawab. Sungguh tak lebih baik dari nasib
Jendral Sudirman.
Semakin ku telusuri gugusan jalan di hadapanku, semakin terasa sesak
dadaku melihat pemandangan yang terjadi di sekitarnya. Sangat ironis jika nama
pahlawan dijadikan tetenger jalanan yang tak layak pakai itu.
Keperkasaan, keperwiraan, ketangguhan nama-nama tersebut luluh lebur bersama
debu, sampah, asap knalpot, dan timbal yang diproduksi tiap hari di jalanan
berlubang itu. Tak terasa sudah sampai di ujung jalan, namun tepat di depanku
sudah menyambut jalan dengan nama yang lain lagi. Hanya berbatasan jembatan
kecil, sudah seperti memasuki dimensi yang lain. Jalan itu bernama Imam Bonjol,
namun lebih dikenal dengan Begel.
Jalan yang tersusun dari paving segi enam sejauh tiga kilo meter ini
tampak bersih, rapi, bahkan elite. Di sebelah kiri jalan terdapat taman pohon
yang kurang terawat. Di bawah pohon terdapat tempat duduk dari beton, menambah
rasa curigaku akan tempat ini. Apalagi akses tempat ini relative mudah, walau
sudah dipagar besi di sekelilingnya, karena saking tak terurus jadi orang
keluar masuk bebas tak terkendali. Khususnya waktu hari-hari libur, tempat ini
menjadi wahana bermain anak-anak miskin seperti untuk petak umpet, bermain
kelereng, atau berkejar-kejaran. Namun suasana berubah ketika malam hari.
Sempat aku berbincang-bincang dengan petugas kebersihan yang mengelola taman
pohon itu dengan sukarela. Lelaki lansia dengan topi bundar dikepalanya dan
sapu lidi di kepalan tangan kanannya, menuturkan bahwa taman yang dulunya
merupakan jantung kota sekarang menjadi wahana prostitusi, outdoor dan murah
meriah. Selain itu, sering juga digunakan para gelandangan tiduran di bawah
pohon sambil menggelar kardus. Oleh karena itu, jalan yang membujur di tepian
taman dikenal dengan Begel, akronim dari kata begenggek atau pelacur dan gelandangan. Masyarakat
banyak yang resah dengan kondisi taman tersebut, namun belum ada yang berani
melapor kepada Pemerintah Kota.
Memang sempat ku lihat bekas putung rokok yang berceceran di tempat duduk
dan bau tumpahan minuman keras. Bisa aku bayangkan keadaan tadi malam seperti
apa di tempat duduk ini. Para PSK maupun waria membungkus sorban dan jubah Imam
Bonjol dan menodainya dengan lumpur asmara. Bagaimana tidak, jika tiap malamnya
hampir puluhan PSK maupun waria menjajakan harga dirinya di tepian jalan sang
pemimpin paderi itu. Aku tak kuasa menahan sesak hati, ingin rasanya ku
muntahkan. Namun mulutku rapat terkunci oleh rasa takut, cemas, bahkan kecil
hati bila semua ini ku ujarkan pada pihak yang berwenang.
Aku hanya bisa menutup mata dan bergegas meninggalkan tempat mesum itu,
berbalik arah menuju jalan yang sudah ku sebutkan satu-persatu tadi. Baru
sekitar lima ratus meter melangkah, tanpa sadar kakiku tersangkut sesuatu.
Tubuhku goyah, miring empat puluh lima derajar dari tumpuan kaki. Aku yakin
pasti jatuh dan benar-benar jatuh, namun tidak menyentuh permukaan tanah.
Sekali lagi tanpa ku sadari sebelum jatuh ada
seseorang yang melintas di hadapanku. Tepat sepersekon saat aku jatuh menimpa
tubuhnya, berhamburan lah lembaran-lembaran dokumen yang dia pegang. Saat itu
juga jantungku berdebar ketakutan. Untung kami berdua tidak ada yang terluka.
Sekarang baru aku sadar kalau yang aku tabrak tadi seorang perempuan.
Rambutnya ikal dipangkas pendek, bahkan
lebih pendek daripada rambutku, namun jauh lebih rapi. Kulitnya kuning langsat,
tubuhnya tinggi kurus namun terlihat tegap ketika berjalan. Ia tampak anggun
memakai sweater warna ungu dengan black trouser, menunjukkan gaya
nonformalnya. Namun dari paras make up-nya yang elegan, tampak kalau dia
seorang yang terpelajar. Apalagi dia membawa berkas dokumen yang berhamburan di
sekelilingku.
Kami mulai adu pandang. Sepertinya aku mengenal tatapan mata ini, namun
sudah lama aku melupakannya. Mata yang sayup namun fokusnya tajam. Lensa mata
yang tampak hitam kecoklatan dan iris coklat tua menambah asri pemandangan mata
itu. Pikirku, hanya seorang saja yang memiliki mata seperti itu. Mata yang bisa
menyihir kodok menjadi pangeran tampan, mata yang bisa menyuruh raja menurunkan
mahkotanya, bahkan bisa mengubahku menjadi pribadi yang dewasa. Ya, aku ingat
dua tahun yang lalu. Dia Rani, mahasiswi jurusan komunikasi politik yang dulu
pernah kuliah kerja nyata di kawasan perkampungan kumuh tempat aku tinggal. Dia
menjabat sebagai ketua panitia, sekaligus
tutor pelajaran baca tulis dalam rangka mengentaskan penyakit buta huruf
di perkampungan kami.
Tanpa basa-basi aku langsung membereskan berkas dokumen yang berserakan
sekaligus mengucapkan permintaan maaf. Sambil menyerahkannya aku mengulurkan
tangan seraya menyapanya: “Masih inget saya?”
Ia menggaruk-garuk kepala sambil mengaduk isi kepalanya. “Oh iya, Jukun
kan? Apa kabar? Sudah lama nggak jumpa, tambah cakep saja!” balasnya.
Aku menghela nafas lega. “Alhamdulillah Teh, saya dan teman baik-baik
saja. Teteh mau kemana kok tampaknya buru-buru?”
“Ini aku mau ke kantor, ada rapat terbuka dengan anggota dewan. Kamu ada
acara nggak? Kalo nggak ikut teteh aja!” Ia membalas sambil membersihkan
celananya.
“Beneran boleh nih? Baiklah.” Aku menyetujui usulannya.
Kami berjalan berdampingan, serasi tampaknya walau selisih umur kami tiga
tahun. Masih ingat Traffic Lamp di ujung jalan Jendral Sudirman?
Kami mengambil arah ke kanan, menuju jalan favorit para pengendara kendaraan.
Tampaknya Teh Rani kecape’an berjalan sejauh hampir dua kilo meter. Aku
berinisiatif memanggilkan tukang ojek untuknya, namun dia menolak. Ternyata
kita berpikiran sama, kalau semakin banyak kita menggunakan kendaraan bermotor
semakin banyak pula kita mengotori napas jalan para pahlawan ini.
“Ini Jalan apa Teh?” tanyaku membuka dialog baru.
“Ini Jalan Ahmad Yani, atau lebih dikenal dengan Jalan Parlemen, yakni
jalan menuju gedung parlemen.” sahutnya.
“Memangnya Teteh jadi anggota dewan?” Aku melirik sekeliling jalan.
Memang tampak jauh berbeda dengan kondisi jalan yang aku lewati sebelumnya. Jalan
ini datar, permukaan aspalnya halus, tampak terawat tiap kali ada lubang pasti
ditambal. Terlukis juga marka dan zebra cross di tengah jalan. Benar-benar
jalan kelas elit.
“Nggak kok, aku kerja di Lembaga Swadaya Masyarakat di seberang gedung
parlemen. Rencananya hari ini kita mau mengadakan rapat terbuka dengan anggota
dewan membahas masalah Public Service di kawasan kota ini. Kemarin kan
sudah dipilih anggota dewan yang baru, jadi apa yang jadi agenda prioritas
pembangunan lima tahun kedepan kita
kupas hari ini biar terlihat lebih transparan. Kita juga mengundang masyarakat
pinggiran yang belum tersentuh tangan pembangunan.” Ia menuturkan panjang lebar.
Sejurus aku melihat pinggir-pinggir jalan masih terpampang wajah-wajah
para anggota dewan yang mempromosikan diri di punggung jalan sang pahlawan
revolusi itu. Baliho, spanduk, dan bendera-bendera partai masih bertebaran
menghiasi jalan sepanjang lima kilometer ini. Dalam hati ku berbisik: “Nasib
namamu kini jendral tak ubahnya kain putih yang dihiasi perca politik, yang
kelamaan hilang tertutupi. Semasa mu kau menjadi korban politik, masa kini pun
namamu tak luput dari padanya. Namun kau lebih beruntung daripada tiga kawanmu
yang lain, Jendral Sudirman, HOS. Cokroaminoto dan Imam Bonjol yang namanya
hanya jadi bualan saja di tepian jalan.
Aku menolehkan pandangan ke arah Teh Rani. “Aku boleh ngomong nggak Teh?”
“Boleh, tentang apa?” Jawabnya sambil tersenyum.
“Soal gugusan jalan. Ironisme antara nama dengan kondisi jalan.” Aku
mulai bercerita mengenai perjalananku seharian tadi. Aku juga mengusulkan agar
perkampungan kami mendapat penyuluhan tentang bagaimana cara mengolah sampah
agar bisa menghasilkan nilai lebih, biar tidak ada lagi hinaan, cacian,
marginalisasi, dsb.
“Usulmu bagus dik, coba ntar Teteh ajukan pada bapak-bapak yang duduk di
depan.” Dia menyetujui sambil menghentikan langkah. “Kita sudah sampai. Kamu
lihat gedung di seberang sana? Di sana lah tempat wakil rakyat bekerja atas
nama kepentingan rakyat. Dan di depanmu ini kantor Teteh, tempat Teteh bekerja
atas nama kepentingan rakyat juga, namun lebih independen.” Aku melihat dua bangunan dengan fungsi yang
sama namun konstruksinya berbeda, jauh malah. Bak baina sama’ wal sumur bur,
kondisi yang berbeda itu menjadi tanda lenyapnya tangan-tangan pemerintah dari
hiruk pikuk masalah public, beralih pada prestige kebangsawanan dan
pencitraan belaka.
Kami berdua memasuki kantor yang berdiri di atas tanah seluas lima belas
meter persegi dengan model bangunan minimalis. Atapnya terbuat dari asbes,
tanpa plafon dan dindingnya bercat hijau. Di sana sudah tersusun rapi
kursi-kursi untuk para tamu undangan dan tiga kursi utama untuk anggota dewan.
Sebagian tamu sudah memenuhi kursi dan untungnya aku masih mendapat satu jatah
kursi, disebelah pojok kanan belakang. Tempat yang paling mengasyikkan untuk
orang pinggiran.
Acara berlangsung. Tiga kursi utama sudah diduduki lelaki berjas hitam
berkacamata, seorang lagi memakai hem putih memakai peci, dan wanita berjilbab
merah berikut baju yang dikenakan. Aku berharap Teteh Rani menyampaikan
usulanku untuk segera ditanggapi. Menit demi menit berlangsung, namun belum
juga pertanyaanku dan usulanku terjawab. Baru setengah acara berlangsung
tiba-tiba handpone si jas hitam berkacamata itu berbunyi memecah konsentrasi. Sejurus
kemudian tiga orang sok sibuk itu minta maaf dan izin pamit undur diri. Mereka
bilang ada undangan dadakan dari bapak Wali Kota. Teteh juga sempat kecewa dengan sikap anggota
dewan tersebut. Acara menjadi semrawut dan setengah gagal. Untung saja para
perwakilan LSM bersedia mengambil alih acara dengan diisi penyuluhan dan
sharing bareng. Aku yang setengah mati menunggu jawaban, tergeletak lunglai kecewa.
Aku memutuskan untuk mohon pamit kepada Teh Rani, dengan alasan sudah terlalu
sore. Aku pulang dengan hati geram seraya memaki dalam hati.
Aku kembali ke duniaku, dunia marginal, asing, alienasi, dan kampungan.
Berkawan dengan sampah, bermain dengan sampah, makan dengan sampah, berpakaian
dengan sampah, tidur pun dengan sampah. Terlunta-lunta di jalanan, tercabik
dinginnya malam, terpanggang teriknya matahari, selalu menjadi pesona
kehidupanku. Namun, aku masih bersyukur karena aku lebih beruntung daripada
para pahlawan yang namanya menjadi bualan jalan berlubang, kotor berdebu,
tersedak sampah, mengendus asap knalpot, timbal, dan tertidur dengan
tampang-tampang mesum dan tak beradab. Syukur Alhamdulillah. ***
No comments :
Post a Comment