Wednesday, November 7, 2012

Membangkitkan Spiritualitas Sastra Puisi

“If the inner life is to be harmonious and enlightened, Divine qualities, Have to be developed and expressed in Daily life.” (Jika apa yang di dalam diri selaras dan memberi pencerahan kualitas Surgawi pastilah berkembang dan terekspresikan dalam kehidupan Sehari-hari) (Munda, 1997)
Bersastra tidak hanya mengarungi estetika, bukan sekedar meluapkan rasa, namun lebih dari itu. Sastra menjadi jelmaan kualitas pribadi penulis yang diekspresikan dalam larik kata. Sikap kritis, dewasa, romantis, sampai sikap nasionalis akan senantiasa terpantul dari baris sastra dan membangun karakter sastra itu sendiri. Termasuk mental spiritual penulis juga dipertaruhkan dalam membentuk sebuah karya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘spiritual’ berarti ‘berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (rohani, batin)’ (Alwi et.al, 2003). Menurut Michal Levin (2000), taraf tertinggi spiritualitas adalah jika spiritualitas sudah tak lagi menjadi sekadar pengetahuan, namun built in dalam sikap hidup (Sukidi, 2001)
Setidaknya, Musthofa Bisri atau Gus Mus telah membuktikan bahwa menulis puisi itu gerakan hati yang didasarkan semangat spiritual. “Ketika menulis, saya tidak berpikir apakah tulisan saya akan diterbitkan atau tidak; ketika akan diterbitkan pun, saya tidak berpikir apakah ada yang akan membaca atau tidak. Bahkan saya tidak berpikir apakah tulisan saya pantas atau tidak disebut puisi. Biar semua itu orang lain yang memikirkannya. Tugas saya hanya menuliskan apa yang ingin saya tulis. Syukur alhamdulillah kepada Allah yang mengilhami saya menulis dengan sikap itu.” (Bisri, 2002, Negeri Daging: v).
Bahkan, karena subjektivitas ini terkadang para pembaca dibuat bingung dengan adanya symbol dan pencitraan yang tidak lazim. Beberapa kata yang asing didengar muncul dalam puisi tanpa terduga, bukan karena tuntutan rima tetapi karena keluwesan penulis melukiskan keadaan - kebenaran yang ingin disampaikan. Bagi seorang penyair, nilai kebenaran dan keindahan bagaikan dua sisi mata uang. Menurut Gus Mus, berpuisi adalah tidak penting kecuali sebagai kesantunan kepada hati nurani. Kata-kata hanyalah wahana. Penulis dan pembaca puisi adalah yang utama.
 Jangan remehkan huruf karena/ Dari huruf-huruflah kata-kata tercipta/ Jangan remehkan kata-kata dari mana/ Hadir makna-makna/ Tapi jangan terlalu percaya/ Huruf dan kata-kata/ Seringkali sekedar persembunyian belaka/ Atau terlampau bodoh dan buta/ Terhadap kehendak makna/ Puisi boleh jadi berjasad kata/ Tapi belum tentu makna/ Yang kau tangkap adalah ruhnya. (Bisri, t.th., Takdim Rubaiyat Angin dan Rumput: 9).
Ketika puisi menemukan alurnya, kadang kala penulisnya terjerembab pada kekosongan makna. Makna hidup dan sesudahnya. Tak ayal jika sesosok Chairil Anwar memungkasi liku katanya dengan bait-bait “Doa” yang membawa pada perenungan spiritual.
Tuhanku/ Dalam termangu/ Aku masih menyebut namamu/ Biar susah sungguh/ mengingat Kau penuh seluruh/ cayaMu panas suci/ tinggal kerdip lilin di kelam sunyi/ Tuhanku/ aku hilang bentuk/ remuk/ Tuhanku/ aku mengembara di negeri asing/ Tuhanku/ di pintuMu aku mengetuk/ aku tidak bisa berpaling (Doa :kepada pemeluk teguh)
Begitupun Sutarji Calzoum Bachri, berusaha memanggil Tuhannya dengan rayuan puitis. Rasa yang dalam/ datang Kau padaku/ aku telah mengecup luka/ aku telah membelai aduhai/ aku telah harap-harap/ aku telah mencium aum/ aku telah terpukau au/ aku telah merasa celah lobang pintu/ aku telah tinggalkan puri pura-puraMu/. Uniknya, sebagaimana yang dikabarkan, ketika membaca sajak tersebut ia dalam kondisi mabuk.
Sajak-sajak yang mengalir dari penanya ini yang membawa Sutardji pada pencarian hakekat Allah. Alih-alih membuat sajak sufi, lama-lama dia terpengaruh juga. Tetapi tasawuf itu bukan ilmu, bukan ungkapan, pikiran, tapi laku. Sehingga wajar bila sastra sufi membawa perubahan jiwa penulisnya yang mulanya gelisah. ..mari pecahkan botol-botol/ ambil lukanya/ jadikan bunga/ mari pecahkan tik-tok jam/ ambil jarumnya/ jadikan diam.
Begitulah Sutarji, yang menuangkan nilai religius dalam sajaknya meski masih bersifat implisif. Sebagai manusia yang terlahir muslim, ia menyebut “Tuhan “ sebagai Tuhan dalam konsep tauhid. Ia pun mengutuk alkohol sebagai kesalahan yang ia insyafi. Berbeda dengan beberapa penulis puisi sufistik lain yang mempunyai background keislaman yang kental, seperti Taufik Ismail, Emha Ainun Najib, Gus Mus, Kuntowijoyo, dsb.
Meskipun puisi ini ditulis dengan ragam ekspresi dan bentuk pengucapan, mengutip Tjahjono Widarmanto sastra sufistik memiliki karakteristik kecenderungan estetika yang sama. Kecenderungan estetika sastra sufi di antaranya adalah ekspresi kerinduan kepada Allah. Para penyair selalu memilih wilayah sunyi. Sunyi akibat jauh dari kekasih hati, yaitu Allah. Untuk melukiskan kerinduan, pencarian, dan kecintaan (mahabbah), penyair menggunakan symbol-simbol seperti burung (puisi Jamal D Rahman), kekasih (Amir Hamzah), burung, mawar, dsb.
Karakteristik puisi sufistik lainnya adalah ekspresi khas sufi tentang penyatuan diri dengan Tuhannya. Dalam dunia tasawuf hal dikenal dengan konsep Wahdatul Wujud yaitu kesatuan dalam kegandaan, dan kegandaan dalam kesatuan. Tuhan tidak dihayati sebagai Dia yang ada di sana, namun juga hadir bersama manusia. Tuhan memang tidak terjangkau, tetapi bisa didekati karena dia Maha Dekat. (Pelita, 17/7/2009)
Ragam puisi sufistik menjadi menarik untuk diangkat kepermukaan kembali, seiring tendensi negative yang sering dikaitkan dengan puisi kontemporer kini. Nada kasar, arogan, porno, kejantanan, vulgar hadir di tengah-tengah perbendaharaan symbol puisi modern. Terlebih warna teenlit yang kian menghipnotis penikmat sastra. Religiousitas puisi menjadi media perenungan pribadi yang juga berperan penting dalam membentuk karakter penikmatnya. Walaupun sastra sufistik Indonesia tak sekhas suluk yang tenggelam dalam kenikmatan makrifat, setidaknya terdapat nuansa sufistik yang dapat dinikmati dan direnungkan oleh semua kalangan. Seperti sajak Amit Hamzah yang menggambarkan kefanaan dunia.
…Hidup seperti mimpi/ laku lakon di layar terkelar/ aku pemimpi lagi penari/ sekedar siuman bertukar-tukar/ Maka merupa di datar layar/ wayang warna menayang rasa/ kalbu rindu turut mengikut/ dua sukma esa-mesra -/ Aku boneka engkau boneka/ penghibur dalang mengatur tembang/ di layar kembang bertukar pandang/ hanya selagu, sepanjang dendang/ Golek gemilang ditukarnya pula/ aku engkau di kotak terletak/ laku boneka engkau boneka/ penyenang dalang mengarak sajak. (Sebab Dikau, Nyanyian Sunyi).
Dengan puisi kita bisa membuka cakrawala pikir, merenung, dan peduli pada ‘pertanyaan-pertanyaan’. Puisi juga bisa menjadi buluh bagi mengalirnya kekuatan Tuhan ke tangan kita untuk merespons persoalan-persoalan konkret kita dan sekeliling kita. Begitu, ketika kita berpuisi dengan nurani dan semangat spiritual. Bangunlah/ Asahlah huruf-hurufmu/ Celupkan baris-baris sajakmu/ dalam cahya dzikir dan doa/ Lalu tembakkan kebenaran/ Dan biarlah Maha Benar/ yang menghajar kepongahan gelap/ dengan mahacahyaNya. (Bisri, 1995, Pahlawan dan Tikus: 47-48).


(esai ini disampaikan pada diskusi Sabtu-nan LPM Paradigma Kudus pada tanggal 20 Oktober 2012)


No comments :

Post a Comment