“If the inner life is to be
harmonious and enlightened, Divine qualities, Have to be developed and
expressed in Daily life.” (Jika apa yang di dalam diri
selaras dan memberi pencerahan kualitas Surgawi pastilah berkembang dan
terekspresikan dalam kehidupan Sehari-hari) (Munda, 1997)
Bersastra
tidak hanya mengarungi estetika, bukan sekedar meluapkan rasa, namun lebih dari
itu. Sastra menjadi jelmaan kualitas pribadi penulis yang diekspresikan dalam
larik kata. Sikap kritis, dewasa, romantis, sampai sikap nasionalis akan
senantiasa terpantul dari baris sastra dan membangun karakter sastra itu
sendiri. Termasuk mental spiritual penulis juga dipertaruhkan dalam membentuk
sebuah karya.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘spiritual’ berarti ‘berhubungan dengan atau
bersifat kejiwaan (rohani, batin)’ (Alwi et.al, 2003). Menurut Michal Levin
(2000), taraf tertinggi spiritualitas adalah jika spiritualitas sudah tak lagi
menjadi sekadar pengetahuan, namun built in dalam sikap hidup (Sukidi, 2001)
Setidaknya,
Musthofa Bisri atau Gus Mus telah membuktikan bahwa menulis puisi itu gerakan
hati yang didasarkan semangat spiritual. “Ketika menulis, saya tidak berpikir
apakah tulisan saya akan diterbitkan atau tidak; ketika akan diterbitkan pun,
saya tidak berpikir apakah ada yang akan membaca atau tidak. Bahkan saya tidak
berpikir apakah tulisan saya pantas atau tidak disebut puisi. Biar semua itu
orang lain yang memikirkannya. Tugas saya hanya menuliskan apa yang ingin saya
tulis. Syukur alhamdulillah kepada Allah yang mengilhami saya menulis dengan
sikap itu.” (Bisri, 2002, Negeri Daging: v).
Bahkan,
karena subjektivitas ini terkadang para pembaca dibuat bingung dengan adanya
symbol dan pencitraan yang tidak lazim. Beberapa kata yang asing didengar
muncul dalam puisi tanpa terduga, bukan karena tuntutan rima tetapi karena
keluwesan penulis melukiskan keadaan - kebenaran yang ingin disampaikan. Bagi
seorang penyair, nilai kebenaran dan keindahan bagaikan dua sisi mata uang.
Menurut Gus Mus, berpuisi adalah tidak penting kecuali sebagai kesantunan
kepada hati nurani. Kata-kata hanyalah wahana. Penulis dan pembaca puisi adalah
yang utama.
Jangan
remehkan huruf karena/ Dari huruf-huruflah kata-kata tercipta/ Jangan remehkan
kata-kata dari mana/ Hadir makna-makna/ Tapi jangan terlalu percaya/ Huruf dan
kata-kata/ Seringkali sekedar persembunyian belaka/ Atau terlampau bodoh dan
buta/ Terhadap kehendak makna/ Puisi boleh jadi berjasad kata/ Tapi belum tentu
makna/ Yang kau tangkap adalah ruhnya. (Bisri, t.th., Takdim Rubaiyat Angin dan
Rumput: 9).
Ketika
puisi menemukan alurnya, kadang kala penulisnya terjerembab pada kekosongan
makna. Makna hidup dan sesudahnya. Tak ayal jika sesosok Chairil Anwar
memungkasi liku katanya dengan bait-bait “Doa” yang membawa pada perenungan
spiritual.
Tuhanku/ Dalam termangu/ Aku masih
menyebut namamu/ Biar susah sungguh/ mengingat Kau penuh seluruh/ cayaMu panas
suci/ tinggal kerdip lilin di kelam sunyi/ Tuhanku/ aku hilang bentuk/ remuk/
Tuhanku/ aku mengembara di negeri asing/ Tuhanku/ di pintuMu aku mengetuk/ aku
tidak bisa berpaling (Doa :kepada pemeluk teguh)
Begitupun
Sutarji Calzoum Bachri, berusaha memanggil Tuhannya dengan rayuan puitis. Rasa
yang dalam/ datang Kau padaku/ aku telah mengecup luka/ aku telah membelai
aduhai/ aku telah harap-harap/ aku telah mencium aum/ aku telah terpukau au/
aku telah merasa celah lobang pintu/ aku telah tinggalkan puri pura-puraMu/.
Uniknya, sebagaimana yang dikabarkan, ketika membaca sajak tersebut ia dalam
kondisi mabuk.
Sajak-sajak
yang mengalir dari penanya ini yang membawa Sutardji pada pencarian hakekat
Allah. Alih-alih membuat sajak sufi, lama-lama dia terpengaruh juga. Tetapi
tasawuf itu bukan ilmu, bukan ungkapan, pikiran, tapi laku. Sehingga wajar bila
sastra sufi membawa perubahan jiwa penulisnya yang mulanya gelisah. ..mari
pecahkan botol-botol/ ambil lukanya/ jadikan bunga/ mari pecahkan tik-tok jam/
ambil jarumnya/ jadikan diam.
Begitulah
Sutarji, yang menuangkan nilai religius dalam sajaknya meski masih bersifat
implisif. Sebagai manusia yang terlahir muslim, ia menyebut “Tuhan “ sebagai
Tuhan dalam konsep tauhid. Ia pun mengutuk alkohol sebagai kesalahan yang ia
insyafi. Berbeda dengan beberapa penulis puisi sufistik lain yang mempunyai
background keislaman yang kental, seperti Taufik Ismail, Emha Ainun Najib, Gus
Mus, Kuntowijoyo, dsb.
Meskipun
puisi ini ditulis dengan ragam ekspresi dan bentuk pengucapan, mengutip
Tjahjono Widarmanto sastra sufistik memiliki karakteristik kecenderungan
estetika yang sama. Kecenderungan estetika sastra sufi di antaranya adalah
ekspresi kerinduan kepada Allah. Para penyair selalu memilih wilayah sunyi.
Sunyi akibat jauh dari kekasih hati, yaitu Allah. Untuk melukiskan kerinduan,
pencarian, dan kecintaan (mahabbah), penyair menggunakan symbol-simbol seperti
burung (puisi Jamal D Rahman), kekasih (Amir Hamzah), burung, mawar, dsb.
Karakteristik
puisi sufistik lainnya adalah ekspresi khas sufi tentang penyatuan diri dengan
Tuhannya. Dalam dunia tasawuf hal dikenal dengan konsep Wahdatul Wujud yaitu
kesatuan dalam kegandaan, dan kegandaan dalam kesatuan. Tuhan tidak dihayati
sebagai Dia yang ada di sana, namun juga hadir bersama manusia. Tuhan memang
tidak terjangkau, tetapi bisa didekati karena dia Maha Dekat. (Pelita,
17/7/2009)
Ragam
puisi sufistik menjadi menarik untuk diangkat kepermukaan kembali, seiring
tendensi negative yang sering dikaitkan dengan puisi kontemporer kini. Nada
kasar, arogan, porno, kejantanan, vulgar hadir di tengah-tengah perbendaharaan
symbol puisi modern. Terlebih warna teenlit yang kian menghipnotis penikmat
sastra. Religiousitas puisi menjadi media perenungan pribadi yang juga berperan
penting dalam membentuk karakter penikmatnya. Walaupun sastra sufistik
Indonesia tak sekhas suluk yang tenggelam dalam kenikmatan makrifat, setidaknya
terdapat nuansa sufistik yang dapat dinikmati dan direnungkan oleh semua
kalangan. Seperti sajak Amit Hamzah yang menggambarkan kefanaan dunia.
…Hidup
seperti mimpi/ laku lakon di layar terkelar/ aku pemimpi lagi penari/ sekedar siuman
bertukar-tukar/ Maka merupa di datar layar/ wayang warna menayang rasa/ kalbu
rindu turut mengikut/ dua sukma esa-mesra -/ Aku boneka engkau boneka/
penghibur dalang mengatur tembang/ di layar kembang bertukar pandang/ hanya
selagu, sepanjang dendang/ Golek gemilang ditukarnya pula/ aku engkau di kotak
terletak/ laku boneka engkau boneka/ penyenang dalang mengarak sajak. (Sebab Dikau, Nyanyian
Sunyi).
Dengan
puisi kita bisa membuka cakrawala pikir, merenung, dan peduli pada
‘pertanyaan-pertanyaan’. Puisi juga bisa menjadi buluh bagi mengalirnya
kekuatan Tuhan ke tangan kita untuk merespons persoalan-persoalan konkret kita
dan sekeliling kita. Begitu, ketika kita berpuisi dengan nurani dan semangat
spiritual. Bangunlah/ Asahlah huruf-hurufmu/ Celupkan baris-baris
sajakmu/ dalam cahya dzikir dan doa/ Lalu tembakkan kebenaran/ Dan biarlah Maha
Benar/ yang menghajar kepongahan gelap/ dengan mahacahyaNya. (Bisri, 1995,
Pahlawan dan Tikus: 47-48).
(esai ini disampaikan pada diskusi Sabtu-nan LPM Paradigma Kudus pada tanggal
20 Oktober 2012)
No comments :
Post a Comment