Tuesday, November 20, 2012

Batik: Antara Tren dan Entitas

Pesona batik kian memikat di masyarakat, bukan hanya bisa dilihat sebagai komoditas, tren batik juga sudah merambah pada desain fashion di Indonesia. Sebuah fenomena yang bias tafsir ketika batik menjadi tren fashion, baik di kalangan masyarakat, artis maupun para petinggi Negara. Bisa saja ini hal positif, batik sebagai komoditas lokal mulai digemari warga pribumi maupun warga asing dan dipercaya sebagai ikon budaya Indonesia. Rasa kebanggaan akan batik semakin kental ketika UNESCO menetapkan batik sebagai produk budaya Indonesia. Walaupun secara realistis kita kecolongan start dalam mempopulerkan batik setelah negeri tetangga mengklaim batik sebagai budaya mereka. Adanya hak paten batik atas Indonesia menjadikan populasi pengrajin batik semakin meningkat.
Namun, ironis jika kita memakai batik namun tidak mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa, hanya sekedar mengikuti trend dan mengujarkan “cinta produk dalam negeri” sebatas di bibir. Batik bukan sekedar produk yang mendatangkan pundi-pundi uang, menjadi komoditas yang kehilangan ruh filosofisnya. Lebih dari itu, batik merupakan warisan budaya Indonesia yang meliputi serangkaian proses panjang dalam perkembangan dan pembuatannya, khususnya batik tulis. Batik menjadi wujud simbolistik kepribadian pemakainya. Kepribadian individu berpengaruh terhadap gaya busananya, dan secara tidak langsung juga membentuk karakter social pada komunitas seorang tersebut. (Carlyle,seperti dikutip Barnard, 1996:vi). Begitu hakikat batik yang menjadi karakteristik budaya Bangsa Indonesia.

Sejarah Batik
Munculnya batik tidak terlepas dengan sejarah berkembangnya kain berikut teknik pewarnaannya, yakni menggunakan malam untuk pencegah pewarnaan sebagai motif. Penemuan di Mesir menunjukkan bahwa teknik ini telah dikenal semenjak abad ke-4 SM, dengan diketemukannya kain pembungkus mumi yang juga dilapisi malam untuk membentuk pola. Di Asia, teknik serupa batik juga diterapkan di Tiongkok semasa Dinasti T’ang (618-907) serta di India dan Jepang semasa Periode Nara (645-794). Di Afrika, teknik seperti batik dikenal oleh Suku Yoruba di Nigeria, serta Suku Soninke dan Wolof di Senegal. Di Indonesia, batik dipercaya sudah ada semenjak zaman Majapahit, tentunya dipengaruhi budaya china dan India.
Walaupun kata “batik” berasal dari bahasa Jawa, kehadiran batik di Jawa sendiri tidaklah tercatat. G.P. Rouffaer berpendapat bahwa tehnik batik ini kemungkinan diperkenalkan dari India atau Srilangka pada abad ke-6 atau ke-7. G.P. Rouffaer juga melaporkan bahwa pola gringsing sudah dikenal sejak abad ke-12 di Kediri, Jawa Timur. Dia menyimpulkan bahwa pola seperti ini hanya bisa dibentuk dengan menggunakan alat canting, sehingga ia berpendapat bahwa canting ditemukan di Jawa pada masa sekitar itu.
Dalam literatur Eropa, teknik batik ini pertama kali diceritakan dalam buku History of Java (London, 1817) tulisan Sir Thomas Stamford Raffles. Ia pernah menjadi Gubernur Inggris di Jawa semasa Napoleon menduduki Belanda. Pada 1873 seorang saudagar Belanda Van Rijekevorsel memberikan selembar batik yang diperolehnya saat berkunjung ke Indonesia ke Museum Etnik di Rotterdam dan pada awal abad ke-19 itulah batik mulai mencapai masa keemasannya. Sewaktu dipamerkan di Exposition Universelle di Paris pada tahun 1900, batik Indonesia memukau publik dan seniman.

Filosofi Batik
Batik menjadi salah satu bukti, warisan budaya yang tetap bertahan di tengah dominasi budaya asing dan terus berkembang dalam keragaman artistik. Batik telah masuk ke dalam lingkaran budaya masyarakat Indonesia khususnya daerah Jawa. Batik sangat dekat dengan kehidupan. Hal ini dimungkinkan karena kriya batik merupakan “seni kriya kewanitaan”, dengan begitu akan mudah menyusup masuk dalam lingkungan keluarga. Proses pembatikan, sejak awal pembuatannya hingga diperdagangkan di pasar, hampir seluruhnya dikerjakan kaum wanita. Hal ini menjadi bukti bahwa kaum hawa di masa itu sudah memiliki karier dan penghasilan secara mandiri.
Selain unsur simbolis yang lekat pada seni batik, nilai lebih pembuatan batik adalah proses pengerjaannya yang rumit. Prosesnya memerlukan ketelitian dan penguasaan teknologi bahan dan proses. Butuh kesabaran dan ketekunan dalam membuat batik, khususnya batik tulis agar hasilnya bagus.
Dari segi motif, batik memiliki banyak pilihan dan tentunya filosofi tersendiri. Transfer motif dan persilangan budaya pun terjadi dalam khazanah batik. Lima motif yang sering ditemui di kawasan DIY Jogjakarta, Solo, dan di kawasan lain di Jawa Tengah yaitu: 1) Kawung. Kain ini dipakai oleh Raja dan keluarganya. Motif tertua ini melambangkan keadilan dan keperkasaan. Empat bulatan dengan sebuah titik pusat melambangkan Raja didampingi para pembantu setianya. 2) Parang. Parang yang berarti persenjataan, melambangkan kekuasaan, kekuatan, dan kecepatan gerak. 3) Nitik. Diharapkan pemakai motif ini menjadi orang yang bijaksana. 4) Sido Mulyo Bermakna kemakmuran dan melindungi tanah airnya, bumi yang dipijak. 5) Udan Liris Motif ini berarti hujan gerimis. Diharapkan orang yang memakai ini akan diberikan kesuburan (simbol kesuburan).
Ragam motif batik menyebar di sebagian besar wilayah Jawa, khususnya sepanjang pantura. Konon, batik yang masuk di suatu wilayah akan terjadi silang budaya yang menghasilkan motif-motif baru sesuai dengan karakteristik daerah tersebut. Seperti motif yang didasarkan pada hasil bumi daerah setempat, kebiasaan atau karakter pemimpin daerah setempat, juga pada kepercayaan dan mitos setempat. Selain itu, motif batik juga mengandung doa yang terselubung pada symbol-simbol tertentu, seperti harapan kemakmuran, kesuburan tanah, kebijaksanaan pemerintah dsb.
Sekarang, jika kita mengikuti pendapat Carlyle bahwa gaya busana mencerminkan pribadi pemakainya, akan kita jumpai fenomena yang paradox. Misalkan saja para petinggi Negara yang memakai batik dengan bangganya namun perilakunya tidak mencerminkan filosofis batik tersendiri. Sudah pudar rasa keadilan, kewibawaan, ketegasan dan kebijaksanaan sebagaimana warna batik yang luntur. Maka sudah sepantasnya tren batik bukan hanya sebagai kebanggaan budaya bangsa saja, tetapi lebih pada penghayatan nilai-nilai ruh batik, yakni sebagai entitas bagi bangsa Indonesia.

No comments :

Post a Comment