Pesona batik
kian memikat di masyarakat, bukan hanya bisa dilihat sebagai komoditas, tren
batik juga sudah merambah pada desain fashion di Indonesia. Sebuah fenomena
yang bias tafsir ketika batik menjadi tren fashion, baik di kalangan
masyarakat, artis maupun para petinggi Negara. Bisa saja ini hal positif, batik
sebagai komoditas lokal mulai digemari warga pribumi maupun warga asing dan
dipercaya sebagai ikon budaya Indonesia. Rasa kebanggaan akan batik semakin
kental ketika UNESCO menetapkan batik sebagai produk budaya Indonesia. Walaupun
secara realistis kita kecolongan start dalam mempopulerkan batik setelah negeri
tetangga mengklaim batik sebagai budaya mereka. Adanya hak paten batik atas
Indonesia menjadikan populasi pengrajin batik semakin meningkat.
Namun, ironis
jika kita memakai batik namun tidak mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa,
hanya sekedar mengikuti trend dan mengujarkan “cinta produk dalam negeri”
sebatas di bibir. Batik bukan sekedar produk yang mendatangkan pundi-pundi
uang, menjadi komoditas yang kehilangan ruh filosofisnya. Lebih dari itu, batik
merupakan warisan budaya Indonesia yang meliputi serangkaian proses panjang
dalam perkembangan dan pembuatannya, khususnya batik tulis. Batik menjadi wujud
simbolistik kepribadian pemakainya. Kepribadian individu berpengaruh terhadap
gaya busananya, dan secara tidak langsung juga membentuk karakter social pada
komunitas seorang tersebut.
(Carlyle,seperti dikutip Barnard, 1996:vi). Begitu hakikat
batik yang menjadi karakteristik budaya Bangsa Indonesia.
Sejarah Batik
Munculnya batik
tidak terlepas dengan sejarah berkembangnya kain berikut teknik pewarnaannya,
yakni menggunakan malam untuk pencegah pewarnaan sebagai motif. Penemuan di
Mesir menunjukkan bahwa teknik ini telah dikenal semenjak abad ke-4 SM, dengan
diketemukannya kain pembungkus mumi yang juga dilapisi malam untuk membentuk
pola. Di Asia, teknik serupa batik juga diterapkan di Tiongkok semasa Dinasti
T’ang (618-907) serta di India dan Jepang semasa Periode Nara (645-794). Di
Afrika, teknik seperti batik dikenal oleh Suku Yoruba di Nigeria, serta Suku
Soninke dan Wolof di Senegal. Di Indonesia, batik dipercaya sudah ada semenjak
zaman Majapahit, tentunya dipengaruhi budaya china dan India.
Walaupun kata “batik”
berasal dari bahasa Jawa, kehadiran batik di Jawa sendiri tidaklah tercatat.
G.P. Rouffaer berpendapat bahwa tehnik batik ini kemungkinan diperkenalkan dari
India atau Srilangka pada abad ke-6 atau ke-7. G.P. Rouffaer juga melaporkan
bahwa pola gringsing sudah dikenal sejak abad ke-12 di Kediri, Jawa Timur. Dia
menyimpulkan bahwa pola seperti ini hanya bisa dibentuk dengan menggunakan alat
canting, sehingga ia berpendapat bahwa canting ditemukan di Jawa pada masa
sekitar itu.
Dalam literatur
Eropa, teknik batik ini pertama kali diceritakan dalam buku History of Java
(London, 1817) tulisan Sir Thomas Stamford Raffles. Ia pernah menjadi Gubernur
Inggris di Jawa semasa Napoleon menduduki Belanda. Pada 1873 seorang saudagar
Belanda Van Rijekevorsel memberikan selembar batik yang diperolehnya saat
berkunjung ke Indonesia ke Museum Etnik di Rotterdam dan pada awal abad ke-19
itulah batik mulai mencapai masa keemasannya. Sewaktu dipamerkan di Exposition
Universelle di Paris pada tahun 1900, batik Indonesia memukau publik dan
seniman.
Filosofi Batik
Batik menjadi
salah satu bukti, warisan budaya yang tetap bertahan di tengah dominasi budaya asing
dan terus berkembang dalam keragaman artistik. Batik telah masuk ke dalam
lingkaran budaya masyarakat Indonesia khususnya daerah Jawa. Batik sangat dekat
dengan kehidupan. Hal ini dimungkinkan karena kriya batik merupakan “seni kriya
kewanitaan”, dengan begitu akan mudah menyusup masuk dalam lingkungan keluarga.
Proses pembatikan, sejak awal pembuatannya hingga diperdagangkan di pasar,
hampir seluruhnya dikerjakan kaum wanita. Hal ini menjadi bukti bahwa kaum hawa
di masa itu sudah memiliki karier dan penghasilan secara mandiri.
Selain unsur
simbolis yang lekat pada seni batik, nilai lebih pembuatan batik adalah proses
pengerjaannya yang rumit. Prosesnya memerlukan ketelitian dan penguasaan
teknologi bahan dan proses. Butuh kesabaran dan ketekunan dalam membuat batik,
khususnya batik tulis agar hasilnya bagus.
Dari segi motif,
batik memiliki banyak pilihan dan tentunya filosofi tersendiri. Transfer motif
dan persilangan budaya pun terjadi dalam khazanah batik. Lima motif yang sering
ditemui di kawasan DIY Jogjakarta, Solo, dan di kawasan lain di Jawa Tengah
yaitu: 1) Kawung. Kain ini dipakai oleh Raja dan keluarganya. Motif tertua ini
melambangkan keadilan dan keperkasaan. Empat bulatan dengan sebuah titik pusat
melambangkan Raja didampingi para pembantu setianya. 2) Parang. Parang yang
berarti persenjataan, melambangkan kekuasaan, kekuatan, dan kecepatan gerak. 3)
Nitik. Diharapkan pemakai motif ini menjadi orang yang bijaksana. 4) Sido Mulyo
Bermakna kemakmuran dan melindungi tanah airnya, bumi yang dipijak. 5) Udan
Liris Motif ini berarti hujan gerimis. Diharapkan orang yang memakai ini akan
diberikan kesuburan (simbol kesuburan).
Ragam motif
batik menyebar di sebagian besar wilayah Jawa, khususnya sepanjang pantura.
Konon, batik yang masuk di suatu wilayah akan terjadi silang budaya yang
menghasilkan motif-motif baru sesuai dengan karakteristik daerah tersebut. Seperti
motif yang didasarkan pada hasil bumi daerah setempat, kebiasaan atau karakter
pemimpin daerah setempat, juga pada kepercayaan dan mitos setempat. Selain itu,
motif batik juga mengandung doa yang terselubung pada symbol-simbol tertentu,
seperti harapan kemakmuran, kesuburan tanah, kebijaksanaan pemerintah dsb.
Sekarang, jika
kita mengikuti pendapat Carlyle bahwa gaya busana mencerminkan pribadi
pemakainya, akan kita jumpai fenomena yang paradox. Misalkan saja para petinggi
Negara yang memakai batik dengan bangganya namun perilakunya tidak mencerminkan
filosofis batik tersendiri. Sudah pudar rasa keadilan, kewibawaan, ketegasan
dan kebijaksanaan sebagaimana warna batik yang luntur. Maka sudah sepantasnya
tren batik bukan hanya sebagai kebanggaan budaya bangsa saja, tetapi lebih pada
penghayatan nilai-nilai ruh batik, yakni sebagai entitas bagi bangsa Indonesia.
No comments :
Post a Comment