Ayat-Ayat yang Terkait
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzāriyāt: 56)
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."(Q.S. Al-Baqarah: 30)
“Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Q.S. Shad: 26)
PEMBAHASAN
Sebagai insan muslim, haruslah kita tahu eksistensi diri baik secara transidental maupun sosial. Sangat ironis sekali bila dijumpai bila seorang manusia tidak mengetahui mangapa ia ada dan untuk apa ia ada. Dalam kajian ilmiah sering dipaparkan tentang hakekat manusia, namun dalam makalah ini kami tengahkan hakekat manusia beserta tugas hidupnya menurut tafsir al-Qur’an al-Karim. Hakekat dan tugas hidup manusia dibedakan manjadi dua:
1. Manusia Sebagai Hamba Allah (Abd Allah)
Dalam ayat pertama dijelaskan bahwa tujuan manusia diciptakan adalah sebagai hamba Allah, yang dapat kita pahami dari kata ﻠﻳﻌﺑﺩﻮﻦ (agar mereka mengabdi kepada-Ku). Kata tersebut merupakan akar kata dari ﻴﻌﺑﺩﻮﻦ yang mengandung fi’il, fa’il dan maf’ul. Dengan penambahan kata lam pada awal kata yang berarti sebab/ lantaran atau menjadi serta digunakannya kata ﻣﺎ dan ﺇﻻ yang merupakan salah satu bentuk hasyr (pembatasan). Hal ini memberi pengertian bahwa tujuan diciptakannya manusia adalah untuk mengabdi kepada Allah dengan sebenarnya.
Menurut Ibnu Manzur, ‘ubudiyyah (penghambaan diri) mencakup al-khudhu’ (ketaatan) dan at-tadhallul (kerendahan hati) sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa ibadah adalah perbuatan manusia yang menunjukkan ketaatannya kepada aturan/ perintah dan pengakuan kerendahan dirinya di hadapan pemberi perintah. Demikian pula ibnu Katsir, menganggap ibadah sebagai perbuatan yang menghimpun rasa cinta dan penyerahan diri seorang hamba dan rasa khawatir terhadap penolakan Tuhan terhadap hamba itu.
Mengenai kandungan ayat tersebut ada dua pendapat, yakni menurut ibnu Abbas manusia diciptakan agar mengakui ketuhanan Allah SWT baik secara sukarela maupun terpaksa. Sedangkan menurut Ali ibn Abi Thalib manusia diciptakan agar diperintah untuk beribadah. Keduanya memiliki persamaan dengan konsep yang bersifat umum bahwa manusia diciptakan dengan kodratnya sebagai hamba Allah sekaligus dibebani tanggung jawab sebagai manifestasi ketundukannya.
Menurut Quraisy Syihab, yang dimaksud ‘menciptakan mereka untuk beribadah’ adalah menciptakan mereka dengan memiliki potensi untuk beribadah yakni kehendak bebas, akal dan kemampuan. Jadi karena manusia diciptakan dengan potensi untuk beribadah maka diberilah tanggung jawab untuk beribadah, namun manusia tetap diberi kebebasan memilih.
Adapun pandangan Ja’far Shadiq, pengabdian hamba kepada Allah bias terwujud apabila memenuhi tiga kriteria, yakni: pertama, menyadari bahwa apa yang dimilikinya-termasuk dirinya sendiri-adalah milik-Nya dan dalam kuasa-Nya. Kedua, mengarahkan segala aktivitasnya pada usaha menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ketiga, mengambil keputusan dengan mengaitkannya dengan ridha Allah semata.
Mengenai kriteria hamba Allah, kami kutipkan kandungan Firman Allah QS. Al-Furqan ayat 63-76 yang bisa kita simpulkan bahwa ciri-ciri ibad ar-Rahman (Hamba Allah) adalah: 1) Rendah hati, 2) Suka beribadah, 3) berusaha menjauhkan diri dari murka Allah, 4) tidak kikir dan tidak boros 5) Tidak syirik, 6) Tidak suka berbuat dosa besar, 7) Suka bertaubat dan mengerjakan amal saleh, 8) Menjaga kehormatan diri dan emnghindari perbuatan yang tidak bermanfaat, 9) dapat mengambil manfaat dari ayat-ayat Allah, dan 10) mempunyai kepedulian sosial terutama anak dan istrinya.
Dari kriteria di atas bisa diambil kesimpulan bahwa seorang hamba Allah bukan sekedar orang yang sujud dan ruku’ (akhlaq ma’a Allah), tetapi juga orang yang memiliki kepedulian mengembangkan potensi diri (akhlaq ma’a an-nafs) serta kepedulian sosial (akhlaq ma’a ghair).
2. Manusia Sebagai Wakil Allah (Khalifah Allah)
Ayat kedua menjelaskan dialog Allah dengan para Malaikat tentang penciptaan Adam, yakni sebagai khalifah di bumi. Ayat tersebut diawali kata ja’ala yang berarti menjadikan yang menitikberatkan segi fungsional manusia, berbeda dengan kata khalaqa yang berarti menciptakan yang mengacu pada segi fisik dan psikisnya. Kata khalifah atau khulafa’/ khalaif berasal dari kata khalafa yang berarti di belakang atau pengganti, yakni seseorang yang menggantikan yang lain akan suatu hal atas nama yang digantikan, yang mana pengganti itu berada atau datangnya dibelakang. Adapun aspek fugsional manusia sebagai khalifah Allah kemudian menuntut sebuah tanggung jawab. Dalam hal ini telah dijelaskan pada Q.S. Shad: 26 bahwa tanggung jawab manusia sebagai khalifah adalah untuk menegakkan hukum Allah di muka bumi serta untuk tidak memperturutkan hawa nafsunya agar tidak menyeleweng dari jalan-Nya.
Menurut Muhammad Baghir as-Sadr, kekhalifahan mengandung tiga unsur yang berkaitan yaitu manusia (sebagai khalifah), alam semesta, serta hubungan antara keduanya. Artinya bahwa kekhalifahan manusia adalah upaya menegakkan hukum Allah dengan menggunakan potensi yang ada di alam ini mencakup manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan seluruh ciptaan Allah.
Oleh karena begitu besar tanggung jawab manusia, maka Malaikat memprotes mengapa Allah menjadikan orang-orang yang berbuat kerusakan dan saling menumpahkan darah sebagai khalifah di bumi. Maka Allah menjawab bahwa Dia Mengetahui apa yang tidak kita ketahui. Allah menegaskan bahwa tesis malaikat tersebut tidak benar, artinya kalau manusia bisa menggunakan potensi yang diberikan Allah yakni ilmu pengetahuan -sebagaimana penjelasan pada ayat sesudahnya- maka ia bisa menunaikan amanah-Nya sebagai khalifah Allah.
Interrelasi Tugas Manusia sebagai Abd Allah dan Khalifah Allah
1. Kedudukan manusia sebagai abd Allah merupakan perwujudan dari hubungan insan dengan Tuhannya (hablum min Allah) sedangkan manusia sebagai khalifah Allah merupakan pengejawantahan dari hubungan sosial dan lingkungannya (hablum min an-Nas).
2. Manusia sebagai abd Allah merupakan fungsi penguatan potensi dirinya untuk menggantungkan diri pada yang pemberi potensi yakni Allah SWT, sedangkan khalifah Allah sebagai fungsi aplikatif manusia dalam mengembangkan potensinya kearah yang dirihoi Allah.
Menurut Ibnu Manzur, ‘ubudiyyah (penghambaan diri) mencakup al-khudhu’ (ketaatan) dan at-tadhallul (kerendahan hati) sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa ibadah adalah perbuatan manusia yang menunjukkan ketaatannya kepada aturan/ perintah dan pengakuan kerendahan dirinya di hadapan pemberi perintah. Demikian pula ibnu Katsir, menganggap ibadah sebagai perbuatan yang menghimpun rasa cinta dan penyerahan diri seorang hamba dan rasa khawatir terhadap penolakan Tuhan terhadap hamba itu.
Mengenai kandungan ayat tersebut ada dua pendapat, yakni menurut ibnu Abbas manusia diciptakan agar mengakui ketuhanan Allah SWT baik secara sukarela maupun terpaksa. Sedangkan menurut Ali ibn Abi Thalib manusia diciptakan agar diperintah untuk beribadah. Keduanya memiliki persamaan dengan konsep yang bersifat umum bahwa manusia diciptakan dengan kodratnya sebagai hamba Allah sekaligus dibebani tanggung jawab sebagai manifestasi ketundukannya.
Menurut Quraisy Syihab, yang dimaksud ‘menciptakan mereka untuk beribadah’ adalah menciptakan mereka dengan memiliki potensi untuk beribadah yakni kehendak bebas, akal dan kemampuan. Jadi karena manusia diciptakan dengan potensi untuk beribadah maka diberilah tanggung jawab untuk beribadah, namun manusia tetap diberi kebebasan memilih.
Adapun pandangan Ja’far Shadiq, pengabdian hamba kepada Allah bias terwujud apabila memenuhi tiga kriteria, yakni: pertama, menyadari bahwa apa yang dimilikinya-termasuk dirinya sendiri-adalah milik-Nya dan dalam kuasa-Nya. Kedua, mengarahkan segala aktivitasnya pada usaha menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ketiga, mengambil keputusan dengan mengaitkannya dengan ridha Allah semata.
Mengenai kriteria hamba Allah, kami kutipkan kandungan Firman Allah QS. Al-Furqan ayat 63-76 yang bisa kita simpulkan bahwa ciri-ciri ibad ar-Rahman (Hamba Allah) adalah: 1) Rendah hati, 2) Suka beribadah, 3) berusaha menjauhkan diri dari murka Allah, 4) tidak kikir dan tidak boros 5) Tidak syirik, 6) Tidak suka berbuat dosa besar, 7) Suka bertaubat dan mengerjakan amal saleh, 8) Menjaga kehormatan diri dan emnghindari perbuatan yang tidak bermanfaat, 9) dapat mengambil manfaat dari ayat-ayat Allah, dan 10) mempunyai kepedulian sosial terutama anak dan istrinya.
Dari kriteria di atas bisa diambil kesimpulan bahwa seorang hamba Allah bukan sekedar orang yang sujud dan ruku’ (akhlaq ma’a Allah), tetapi juga orang yang memiliki kepedulian mengembangkan potensi diri (akhlaq ma’a an-nafs) serta kepedulian sosial (akhlaq ma’a ghair).
2. Manusia Sebagai Wakil Allah (Khalifah Allah)
Ayat kedua menjelaskan dialog Allah dengan para Malaikat tentang penciptaan Adam, yakni sebagai khalifah di bumi. Ayat tersebut diawali kata ja’ala yang berarti menjadikan yang menitikberatkan segi fungsional manusia, berbeda dengan kata khalaqa yang berarti menciptakan yang mengacu pada segi fisik dan psikisnya. Kata khalifah atau khulafa’/ khalaif berasal dari kata khalafa yang berarti di belakang atau pengganti, yakni seseorang yang menggantikan yang lain akan suatu hal atas nama yang digantikan, yang mana pengganti itu berada atau datangnya dibelakang. Adapun aspek fugsional manusia sebagai khalifah Allah kemudian menuntut sebuah tanggung jawab. Dalam hal ini telah dijelaskan pada Q.S. Shad: 26 bahwa tanggung jawab manusia sebagai khalifah adalah untuk menegakkan hukum Allah di muka bumi serta untuk tidak memperturutkan hawa nafsunya agar tidak menyeleweng dari jalan-Nya.
Menurut Muhammad Baghir as-Sadr, kekhalifahan mengandung tiga unsur yang berkaitan yaitu manusia (sebagai khalifah), alam semesta, serta hubungan antara keduanya. Artinya bahwa kekhalifahan manusia adalah upaya menegakkan hukum Allah dengan menggunakan potensi yang ada di alam ini mencakup manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan seluruh ciptaan Allah.
Oleh karena begitu besar tanggung jawab manusia, maka Malaikat memprotes mengapa Allah menjadikan orang-orang yang berbuat kerusakan dan saling menumpahkan darah sebagai khalifah di bumi. Maka Allah menjawab bahwa Dia Mengetahui apa yang tidak kita ketahui. Allah menegaskan bahwa tesis malaikat tersebut tidak benar, artinya kalau manusia bisa menggunakan potensi yang diberikan Allah yakni ilmu pengetahuan -sebagaimana penjelasan pada ayat sesudahnya- maka ia bisa menunaikan amanah-Nya sebagai khalifah Allah.
Interrelasi Tugas Manusia sebagai Abd Allah dan Khalifah Allah
1. Kedudukan manusia sebagai abd Allah merupakan perwujudan dari hubungan insan dengan Tuhannya (hablum min Allah) sedangkan manusia sebagai khalifah Allah merupakan pengejawantahan dari hubungan sosial dan lingkungannya (hablum min an-Nas).
2. Manusia sebagai abd Allah merupakan fungsi penguatan potensi dirinya untuk menggantungkan diri pada yang pemberi potensi yakni Allah SWT, sedangkan khalifah Allah sebagai fungsi aplikatif manusia dalam mengembangkan potensinya kearah yang dirihoi Allah.
Aplikasi Tafsir Ayat-Ayat di Atas dalam Perspektif Edukasi
Sudah kita ketahui bahwa kita diciptakan Allah Azza wa Jalla untuk beribadah dan mewakili-Nya dalam menegakkan hukum Allah. Mengenai pengertian beribadah sendiri sudah mafhum muwafaqah bahwa menuntut ilmu merupakan bentuk ibadah, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasul bahwa menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim maupun muslimah. Jadi sudah sepantasnya kita mempunyai persepsi bahwa kita diciptakan Allah untuk mencari ilmu tentang bagaimana kita mengenal-Nya, mengabdi pada-Nya dan bagaimana kita mewakili Allah di Bumi sebagai penegak ajaran dan hukum-Nya.
Demikian pula kita bisa mengambil i’tibar dari proses pelimpahan tanggung jawab kekhalifahan manusia di bumi sebagaimana yang telah dipaparkan di atas bahwa karena ilmu pengetahuan lah kedudukan manusia lebih pantas dalam mengemban amanat yang amat berat ini, sehingga apabila dalam kita hidup sebagai khalifah Allah tanpa menggunakan ilmu pengetahuan dan potensi dirinya secara efektif, maka yang terjadi adalah kerusakan bumi dan pertumpahan darah.
Oleh karena itu sudah layaknya kita luruskan niat kita dalam menuntut ilmu, sebagaimana yang kami kutip dalam ta’lim al-muta’allim yaitu niat mencari ridha Allah, sebagai bekal kebajikan di akhirat, menghilangkan kebodohan dan untuk menegakkan agama Islam sebagai bentuk ibadah kita kepada Allah SWT.
Daftar Pustaka
Abdul Muin Salim,. Fiqih Siyasah : Konsep Kekuasaan Politik dalam Al Qur’an.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.
M. Quraish Shihab, Membumikan al Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat Bandung : Mizan, 1994.
M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta:Lentera hati, 2002
Badr al-Din al-Zarkashi. al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an Vol. IV. Mesir: Dar Ihya al- Kutub al-Arabiyah, tt.
Abu al-Fida Ismail ibn Kathir, Tafsir Ibn Kathir, Juz I, Dar Thayyibah:
www.qurancomplex.com
Taufikurrahman, Tujuan penciptaan manusia dalam al-Quran,
http://idiaprenduan.com, 2009.
No comments :
Post a Comment