Illustrasi |
Oleh Mufaridah *)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perempuan adalah
makhluk ciptaan Allah yang luar biasa. Dengan segala kelebihan yang diberikan
pada seorang perempuan yang tidak dimiliki oleh pria. Perempuan merupakan
makhluk yang amat berbeda dengan pria. Seringkali perbedaan itu diartikan pada
sebuah anggapan tentang lemahnya seorang perempuan. Dan segala
ketidakberdayaannya yang bertolak belakang dengan kaum pria. Meskipun anggapan
itu memang benar adanya, namun tidak seharusnya penilaian terhadap perempuan
hanya dilihat dari sudut pandang itu saja. Masih
banyak karakter lain dari perempuan yang bukan hanya memaparkan keterbatasannya
saja. Bahkan masih banyak hal yang bisa diteladani dari seorang perempuan.
Di
masyarakat banyak kita temukan perempuan yang tidak hanya menjalankan perannya
sebagai perempuan. Mereka banyak yang berperan ganda. Dalam artian, meski tetap
menempatkan dirinya sebagaimana kodrat seorang perempuan, namun mereka juga
dapat mengerjakan sesuatu yang sebenarnya sebagai tugas seorang pria.
Di sini, perlu didudukkan
dengan baik, antara posisi perempuan sebagai perempuan (pengelelo rumah tangga)
dengan peran perempuan dalam dunia public (berkarier).
Dan kita tidak
seharusnya memandang secara subjektiv terhadap keduanya. Apalagi
memprioritaskan secara berlebihan di antara keduanya tanpa mengetahui
batasan-batasan yang menjadi sebuah tolak ukur dalam menempatkan keduanya
secara seimbang.
Sebagai seorang
perempuan, sudah menjadi tuntutan bagi kita untuk dapat menempatkan diri secara
adil. Memahami peran kita sebagai perempuan sesuai dengan Islam, namun juga
tidak meremehkan kepentingan dalam publik.
Sesuai perputaran
zaman yang terus berganti, kini sudah banyak wanita yang menggunakan peluang
kesempatan yang ada untuk dapat menjadikan dirinya lebih produktif. Menyalurkan
potensi dalam dirinya kepada publik, dan tentunya tidak melupakan peran
wajibnya sebagai wanita muslimah.
Namun
benarkan setelah mereka memasuki dunia publik, mereka akan melupakan kodratnya
sebagai wanita? Atau mereka mampu menempatkan dua peran yang berbeda secara
seimbang ?
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
gambaran di atas, maka ada beberapa rumusan masalah yang bisa diajukan:
1.Bagaimanakah posisi perempuan menurut Islam ?
2.
Bagaimanakah
cara perempuan dalam berkarier. Adakah batasan-batasannya?
3.
Bagaimana
menyeimbangkan peran sebagai pengelola rumah tangga dengan aktifitas berkarier?
II.
PEMBAHASAN
Sebagai
seorang perempuan, pastilah kita sudah mengetahui kodrat sebagai perempuan.
Kodrat sebagai hamba Allah yang dicipatakan berpasangan dengan seorang pria
sebagai istri darinya. Dalam Islam, perempuan yang baik disebut sholekhah, yang
mengetahui kewajibannya terhadap Allah SWT, orang tua, dan suaminya (bila sudah
menikah).
Jika
kita memaknainya secara sekilas, mungkin kita memandang perempuan hanyalah
sebagai subyek yang harus mengerjakan kewajibannya dan tidak sekalipun boleh
melanggar aturan tersebut.
Dalam tradisi kuno, perempuan hanya diposisikan
sebagai mahkluk kedua. Ia selalu ditempatkan di
belakang. Kehidupan perempuan seolah-olah hanya terbatas dalam lingkungan rumah
tangga. Menjadi ibu rumah tangga. Perempuan hanya bertugas untuk melayani
laki-laki (suami). Ia tidak boleh keluar terlalu jauh dari urusan rumah tangga.
(Lia Heliana,
A-Z Menjadi Wanita Terindah, hlm 23.)
Tradisi kuno itu pun kini mulai bergeser. Perempuan bukan lagi makhluk yang selalu di belakang laki-laki.
Perempuan sekarang mulai berani untuk mengakses dunia luar (public). Kini ia tidak
hanya dikait-kaitkan dengan urusan 3 M (Make Up, Masak, Melahirkan). Perempuan
pun mulai berkarier bahkan berprestasi. Posisi perempuan kini mulai sejajar
dengan laki-laki.
A.
Perempuan
dalam Islam
Islam adalah agama yang sangat menghargai perempuan. Islam menghargai
potensi perempuan secara utuh. Islam mengakui potensi perempuan untuk
beribadah, dan untuk mencinta. Perempuan juga mempunyai hak dan kewajiban yang
sama seperti laki-laki. Misalnya saja tentang menuntut ilmu.
Sebagaimana
sabda Rasulullah
طلب
العلم فريضة على كل مسلمين والمسلمة
Artinya : “Menuntut ilmu itu wajib bagi muslim laki-laki dan muslim perempuan.
(Zainuddin
Azzarnuji, Ta'lim al Muta'allim)
Dengan dasar tersebut, berarti perempuan
juga wajib menuntut ilmu. Sebab Allah tidak akan membiarkan umatnya (perempuan)
sebagai golongan yang “Kuper” yang tidak mengetahui apa-apa. Apalagi tidak
mengetahui kewajibannya yang mutlak. Berarti, sebagai seorang perempuan kita
juga harus mendapatkan hak pendidikan (ilmu) yang memang seharusnya kita
dapatkan.
Allah tidak melarang wanita muslim
untuk mencari ilmu. Akan tetapi, masyarakat di zaman sekarang masih saja
menganggap wanita yang berpendidikan sebagai suatu hal yang aneh. Padahal sudah
jelas, Allahlah yang mewajibkannya untuk berpendidikan, dan mencai ilmu sebagai
bekal hidupnya.
Seperti halnya Rasulullah yang tidak melarang
istrinya. Siti Aisyah untuk mendapatkan ilmu dan menjalani kehidupannya sebagai
muslimah yang berpendidikan. Bahkan Rasulullah sendiri yang mengajarkan
pendidikan tersebut pada Ummi Aisyah. Sehingga pada zamannya, Ummi Aisyah
menjadi seorang wanita yang amat cerdas. Karena ilmu-ilmu yang didapatnya
diajarkan langsung oleh Rasulullah SAW, suaminya. Ummi Aisyah sebagai cermin seorang perempuan yang berpendidikan.
Namun ia juga tetap menempatkan dirinya secara seimbang sebagai seorang istri. Sebab,
tidak ada larangan bagi wanita untuk menjadi seseorang yang cerdas, mandiri,
aktif, dan kreatif. Asalkan ia bisa menyeimbangkan kedudukannya sesuai Islam
dan tetap menjadi seorang wanita yang berguna dalam publik. (FLP Yogyakarta, Karena
Engkau Perempuan, hlm. 58).
Wanita dalam publik hanyalah sebagai
penyempurnaan kehidupan yang sebenarnya diperuntukkan bagi pria. Seperti dalam
dunia karier. Sebenarnya peranan wanita dalam publik ini juga diperbolehkan.
Asalkan kita juga mengembalikannya pada ketentuan dasar tentang kodrat seorang
perempuan. Bukan berarti wanita dilarang keras untuk mengembangkan potensi
dalam dirinya ataupun dilarang berkumpul dalam sebuah forum. Dan kita tidak
perlu mengorbankan salah satu peran kita jika kita memang mampu menjalani keduanya.
Apabila kita mempunyai potensi diri yang memang seharusnya disalurkan dalam
publik. Tidak harus memilih salah satu darinya. Tetapi hanya perlu mengaturnya
untuk dapat dijalankan secara seimbang.
Keaktifan, kecerdasan dan kekreatifan
seorang wanita dapat disalurkan dengan berbagai cara. Seperti seorang wanita
yang berkumpul dalam sebuah forum semisal muslimatan atau PKK. Ataupun seorang
ustadzah yang mengajar anak didiknya dalam sebuah madrasah maupun dirumahnya.
Seperti yang dilakukan Siti Aisyah yang mengajarkan ilmu pada setiap orang yang
ingin belajar darinya.
Jikapun penyaluran bakat seorang wanita
melalui sebuah pekerjaan, itupun boleh saja. Asalkan tidak pernah melupakan
kewajibannya sebagai wanita. Bukan seperti seorang pria yang memang diwajibkan
mencari nafkah. Karena pada dasarnya wanita itu dicarikan nafkah oleh suaminya.
Jadi, bukan berarti wanita boleh
bekerja itu disalahartikan menjadi wanita wajib bekerja. Sebab pekerjaan itu
hanyalah sebagai forum untuk menyalurkan bakat yang dimilikinya.
Untuk masalah mengamalkan ilmunya ini,
dalam Islam tidak melarang wanita hidup dalam lingkup publik. Wanita juga
berpotensi untuk lebih produktif dalam dunia publik. Karena publikpun menanti
wanita-wanita cerdas yang juga mampu menyelamatkan dunia. Dengan adanya wanita
sebagai konstributor bagi penyelamat umat manusia, berarti mereka juga ikut
dalam proses pembentukan wanita-wanita lain agar luas ilmunya. Tentunta juga
agar dapat menyeimbangkang peran dirinya dalam Islam dan publik
Dalam Islam, wanita tidak akan terkurung
untuk mengkonstribusikan kemampuannya dalam publik. Marilah sejenak kita
renungi ucapan seorang Neno Warisman, yang mengatakan :
“Islam menghargai potensi perempuan
secara utuh. Islam mengakui potensi perempuan untuk beribadah. Islam mengakui
potensi perempuan untuk mencinta. Islam
mengakui potensi perempuan untuk hamil, melahirkan, dan menyusui. Islam mengakui potensi perempuan akan
keindahan. Islam mengakui potensi perempuan untuk bekerja keras dan berusaha. Islam
mengakui potensi perempuan untuk maju. Islam mengakui seluruh potensi perempuan
dari sektor manapun ia beraktivitas, sementara kebudayaan lain hanya mengakui
potensi perempuan saat ia mendapatkan
uang.”
(FLP Yogyakarta, Karena Engkau Perempuan, hlm. 82).
Dengan sebaris kata mutiara dari Neno
Warisman tersebut, sudah kita ketahui jelas, Islam tidak menghalangi wanita
untuk berada dalam lingkungan publik, Dan tentunya Islam tidak menghujat wanita
karier. Karena Islam begitu menghargai potensi yang ada pada seorang wanita.
Kita bisa belajar dari istri Rasulullah
SAW, yaitu Siti Khadijah. Beliau adalah muslimah yang kaya raya sebagai seorang
saudagar yang sukses. Beliau adalah istri seorang nabi, dan beliau juga menjadikan
potensi dirinya untuk berkarier sebagai seorang saudagar.
Namun ia juga berkedudukan sebagai
seorang istri. Istri yang menurut pandangan islam dan juga dalam publik. Dan
tentu keduanya harus bisa berjalan beriringan dan seimbang. Begitu juga Siti
Aisyah, istri Rosulullah yang sangat muda beliau mengeluarkan potensinya pada
publik dengan cara mengajarkan ilmu-ilmu yang didapatnya langsung dari
Rosulullah. Potensi yang dimiliki wanita dalam islam dan publik juga juga
seperti yang dimiliki oleh Asma binti Abu Bakar, yang sukses dalam islamiyah.
Dalam artian sukses, mendidik putra-putrinya dan juga sukses menyelurkan
potensi besarnya dalam bidang politik. Kemampuan wanita untuk memposisikan
dirinya secara seimbang, patut kita hargai dan kita jadikan contoh sebagai
wujud keberhasilan dalam menempatkan dirinya.
Sebagai wanita, tentu saja kita
merasakan kepuasan apabila bisa menempatkan diri secara seimbang diantara islam
dan publik. Pandangan tentang wanita dalam publik, bukana berarti wanita
mengekploitasi apa yang ada di dirinya hanya untuk publik. Terlalu berfikir
sempit hanya tentang tanggung jawabnya terhadap pekerjaan, dan tidak menyadari
bahwa islam pun menantikan perannya, meski islam meperbolehkan wanita
menyalurkan potensinya dalam publik, bukan berarti wanita harus memikirkan
dunia kariernya secara berlebihan. Apalagi jika pikiran itu berorientasi pada
uang. Hanya memikirkan bagaimana agar perannya dalam publik bisa berbuah dengan
uang, bukan itu yang seharusnya mereka cari, karena bukan tugas mereka sebagai
perempuan untuk mencari uang, juga jangana pernah memikirkan bagaimana caranya
agar bisa mendominasi dari laki-laki. Karena di zaman sekarang ini publik
memang menawarkan kedudukan menggiurkan bagi wanita, apalagi bagi wanita-wanita
yang memang diakui kecerdasan dan potensinya. Semoga aja kita tidak akan
tertipu daya olehnya, jangan sampai kita melupakan tugas kita sebagai perempuan
dalam kehidupan sehari-hari.
B.
Perempuan Berkarier
Memang diakui, perempuan di zaman sekarang ini telah berhasil
menunjukkan eksistensinya dalam publik, mereka dapat memasuki ranah kerja yang
dulunya didominasi para lelaki, bahkan sudah sering kita temui, para perempuan
kini menduduki jabatan lebih tinggi dari pria dalam urusan pekerjaan. Tapi
semua itu bisa mengubah kodrat dirinya sebagai perempuan, jangan sampai
menyepelekan tugas utamanya dalam rumah tangga sesuai islam. Gunakan potensi
yang ada pada diri kita untuk kabaikan orang lain. Jangan sampai
menyalahgunakan keberhasilan kita dalam publik, juga jangan sampai kita
diberikan julukan sebagai perempuan gila harta dan tahta, hanya karena obsesi
kita yang berlebihan dalam dunia publik.(na’udzu billahi min dzalik).
Kitapun harus menyesuaikan waktu kita, agar tidak ada salah satu
peran kita yang dikorbankan, karena disadari, islam menunggu satu peran kita
dikorbankan. Karena disadari, Karena disadari, islam menunggu kita untuk
berlaku bijaksana dalam kehidupan berkeluarga, dan publikpun menanti kita,
membutuhkan saluran potensi dari kita.
Sebagai seorang wanita, kita harus bisa berlaku adil dan fleksibel
bagi kehidupan kita sendiri.
Bisa berlaku bijaksana dalam
setiap keputusan yang kita tentukan. Seperti halnya posisi kita sebagai
perempuan karier. Berlaku fleksibel sesuai waktu yang telah ditentukan, serta
mengatur kahidupan kita agar keduanya berjalan seimbang.
Sesuai hukum Islam tentang karier seorang wanita, tidak ada
keharusan dalam syariat Islam. Kecuali meliputi 2 perkara yaitu hijab (penutup)
dan malu.
Sedangkan kriteria-kriteria pekerjaan bagi wanita, menurut survei
Abu Syuqah, realitas serikat wanita dalam berprofesi dimasa kerasulan
diantaranya seperti pertanian, membuat kerjinan, produksi rempah-rempah,
menyamak kulit, peternakan, mengajar menulis, dan merawat orang yang terluka.
Sedangkan fenomena masyarakat baru yang berhubungan dengan profesi wanita,
diantaranya adanya kemajuan dalam segala bidang yang menunutut bantuan seorang
wanita kepada yang lainnya; adanya kebebasan dalama keluarga dan jarak
kematangan seorang lelaki serta kemampuan menghadapi kebebasan materi yang
membuat rumah memerlukan biaya tambahan lebih banyak; meningkatnya kebutuhan
hidup dan melemahnya pemasukan. (Dr. Akram Ridha,Tanggung Jawab Wanita Dalam
Rumah Tangga, hlm. 128).
Abu Syuqah juga mengatakan bahwa rambu syariat bagi wanita publik di
zaman sekarang ini, yang terpenting adalah pertama, memperbanyak
pengajaran yang layak bagi wanita. Kedua, wanita harus menggunakan
waktunya dengan sebaik mungkin dan jangan rela dengan pengangguran. Ketiga,
istri bertanggung jawab menjaga rumah dan anak-anaknya dengan sebaik mungkin. Keempat,
bekerja bukan tujuan mutlak, melainkan karena kebutuhan untuk mencari nafkah
saat suami dalam keadaan lemah, atau kebutuhan komunitas yang dilaksanakan para
wanita.
Sedangkan Dr. Yusuf Qardlawi memaparkan syarat-syarat wanita boleh
bekerja sebagai berikut:
1.
Pekerjaan itu tidak
bertentangan dengan ketentuan syariat islam. Artinya pekerjaan itu tidak di
haramkan, atau tidak memberi peluang untuk berbuat haram.
2.
Hendaknya wanita secara
istiqomah berpegang teguh terhadap garis-garis moralitas islam. Setiap kali
keluar rumah, baik dalam hal berpakaian, berbicara, berjalan, dan berkelakuan.
Sebagaimana dijelaskan dalam al-qur’an surat
An-Nr ayat 31, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan, kecuali yang
(biasa) nampak daripadanya. Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan”.
3.
Pekerjaan itu tidak sampai
meninggalkan kwajiban-kewajiban lain yang tidak boleh diabaikan. Seperti
kewajiban terhadap suami dan anak-anaknya. Sebab itulah pekerjaan pokok dan
kewajibannya yang utama. (Dr. Yusuf Qardlawi, Jangan Menyesal Menjadi wanita,
hlm. 200)
Dan yang perlu diperhatikan para wanita muslimah adalah mereka harus
mampu memilah-milah pekerjaan, dan menciptakan suasana yang kondusif. Sehingga
wanita Islam dapat bekerja dengan baik.
III. KESIMPULAN
1. Dalam Islam, menempati posisi terhormat. Surga
yang menjadi cita-cita setiap muslim bahkan diletakkan di bawah "kaki
ibu". Ini menandakan betapa perempuan sangat berperan dalam kehidupan.
Sejarah Islam juga menunjukkan bahwa perempuan ikut berpartisipasi dalam
pengembangan Islam. Islam juga memberikan hak yang sama di dalam bidang
intelektual, menuntut ilmu secara mendalam dan leluasa, melaksanakan berbagai
aktivitas dan tanggung jawab sosial, serta menyalurkan potensi yang dimilikinya
pada publik.
2. Dalam masyarakat kita sekarang ini, perempuan
berkarier sudah menjadi hal yang biasa. Hal ini mestinya tidak menjadi masalah.
Asalkan kariernya di bidang yang tidak menyebabkan hakikat dirinya sebagai
perempuan hilang, dan tidak pula memberatkan perempuan karena perempuan dari
beberapa segi punya keterbatasan, seperti tenaga misalnya. Maka harus ada
batasan-batasan bagaimana perempuan bisa berkarier sebagaimana dijelaskan dalam
pembahasan di atas.
3. Berkarier bukanlah segala-galanya bagi
permpuan. Perempuan
punya tugas yang lebih utama, yaitu sebagai pengelola rumah tangga. Perempuan
di belahan dunia manapun selalu dirindukan kasih sayangnya oleh anak-anak.
Perempuan juga punya tugas melayani suami. Oleh karena itu, perempuan yang
berkarier mesti bisa membagi tugas. Bisa
menyeimbangkan antara tugas di rumah dengan berkarier di luar rumah. Ini memang
berat bagi perempuan. Tapi ini adalah risiko kehidupan perempuan yang
berkarier.
IV. PENUTUP
Secara Islam, seorang wanita
tidaklah di haramkan untuk bekerja, dan tetap mendapatkan hak-haknya sebagai
umat manusia, seperti halnya seorang lelaki. Namun ada rambu-rambu yang di
berikan pada seorang perempuan publik agar dirinya tidak mengabaikan tugas
pokoknya sebagai seorang perempuan. Sekali lagi Islam tidak akan menghalangimu
untuk menyalurkan potensi umatnya. Karena Islam begitu menghargai potensi
seorang perempuan. Dengan itu, para perempuan harus bersikap seimbang dalam
kehidupannya antara peran dalam kehidupan berumah tangga dengan peran di publik.
Demikianlah karya tulis yang
dapat saya sajikan. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama para
perempuan Islam yang juga berkarier dalam publik. Kritik dan saran selalu saya
nantikan untuk kelanjutan karya saya yang lain, agar dapat menjadi lebih baik.
“Wallahu A’lam”
DAFTAR PUSTAKA
- Al-Qur'an Al-Karim
- Azzarnuji, Zainuddin, Ta'lim al
Muta'allim, Semarang:
Karya Toha Putra
- Heliana, Lia, 2007, A-Z Menjadi Wanita
Terindah, Solo: Ziyad Visi Medis.
- Qardlawi, Yusuf, 2004, Jangan menyesal Menjadi
Wanita, Jogjakarta: Diva Press.
- Ridha, Akram, 2005, Tanggung Jawab
Wanita Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Amzah.
- Widhiyoga, Gajar, (dkk) 2007, Karena
Engkau Perempuan, Jakarta: Gema Insani.
*) Siswi MA NU Miftahul Falah Cendono, nominasi karya tulis ilmiah yang digelar LPM Paradigma STAIN Kudus tahun 2010. Sayang kalo dibuang, hehe.
No comments :
Post a Comment