Friday, March 14, 2014

PEREMPUAN KARIER DALAM ISLAM


Illustrasi
 Oleh Mufaridah *)
 I.  PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
                           Perempuan adalah makhluk ciptaan Allah yang luar biasa. Dengan segala kelebihan yang diberikan pada seorang perempuan yang tidak dimiliki oleh pria. Perempuan merupakan makhluk yang amat berbeda dengan pria. Seringkali perbedaan itu diartikan pada sebuah anggapan tentang lemahnya seorang perempuan. Dan segala ketidakberdayaannya yang bertolak belakang dengan kaum pria. Meskipun anggapan itu memang benar adanya, namun tidak seharusnya penilaian terhadap perempuan hanya dilihat dari sudut pandang itu saja. Masih banyak karakter lain dari perempuan yang bukan hanya memaparkan keterbatasannya saja. Bahkan masih banyak hal yang bisa diteladani dari seorang perempuan.
                           Di masyarakat banyak kita temukan perempuan yang tidak hanya menjalankan perannya sebagai perempuan. Mereka banyak yang berperan ganda. Dalam artian, meski tetap menempatkan dirinya sebagaimana kodrat seorang perempuan, namun mereka juga dapat mengerjakan sesuatu yang sebenarnya sebagai tugas seorang pria.
                           Di sini, perlu didudukkan dengan baik, antara posisi perempuan sebagai perempuan (pengelelo rumah tangga) dengan peran perempuan dalam dunia public (berkarier).
                           Dan kita tidak seharusnya memandang secara subjektiv terhadap keduanya. Apalagi memprioritaskan secara berlebihan di antara keduanya tanpa mengetahui batasan-batasan yang menjadi sebuah tolak ukur dalam menempatkan keduanya secara seimbang.
                           Sebagai seorang perempuan, sudah menjadi tuntutan bagi kita untuk dapat menempatkan diri secara adil. Memahami peran kita sebagai perempuan sesuai dengan Islam, namun juga tidak meremehkan kepentingan dalam publik.
                           Sesuai perputaran zaman yang terus berganti, kini sudah banyak wanita yang menggunakan peluang kesempatan yang ada untuk dapat menjadikan dirinya lebih produktif. Menyalurkan potensi dalam dirinya kepada publik, dan tentunya tidak melupakan peran wajibnya sebagai wanita muslimah.
                           Namun benarkan setelah mereka memasuki dunia publik, mereka akan melupakan kodratnya sebagai wanita? Atau mereka mampu menempatkan dua peran yang berbeda secara seimbang ?

B.  Rumusan Masalah
                           Berdasarkan gambaran di atas, maka ada beberapa rumusan masalah yang bisa diajukan:
1.Bagaimanakah posisi perempuan menurut Islam ?
2.      Bagaimanakah cara perempuan dalam berkarier. Adakah batasan-batasannya?
3.      Bagaimana menyeimbangkan peran sebagai pengelola rumah tangga dengan aktifitas berkarier?

II. PEMBAHASAN
Sebagai seorang perempuan, pastilah kita sudah mengetahui kodrat sebagai perempuan. Kodrat sebagai hamba Allah yang dicipatakan berpasangan dengan seorang pria sebagai istri darinya. Dalam Islam, perempuan yang baik disebut sholekhah, yang mengetahui kewajibannya terhadap Allah SWT, orang tua, dan suaminya (bila sudah menikah).
Jika kita memaknainya secara sekilas, mungkin kita memandang perempuan hanyalah sebagai subyek yang harus mengerjakan kewajibannya dan tidak sekalipun boleh melanggar aturan tersebut.
Dalam tradisi kuno, perempuan hanya diposisikan sebagai mahkluk kedua. Ia selalu ditempatkan di belakang. Kehidupan perempuan seolah-olah hanya terbatas dalam lingkungan rumah tangga. Menjadi ibu rumah tangga. Perempuan hanya bertugas untuk melayani laki-laki (suami). Ia tidak boleh keluar terlalu jauh dari urusan rumah tangga. (Lia Heliana, A-Z Menjadi Wanita Terindah, hlm 23.)
Tradisi kuno itu pun kini mulai bergeser. Perempuan bukan lagi makhluk yang selalu di belakang laki-laki. Perempuan sekarang mulai berani untuk mengakses dunia luar (public). Kini ia tidak hanya dikait-kaitkan dengan urusan 3 M (Make Up, Masak, Melahirkan). Perempuan pun mulai berkarier bahkan berprestasi. Posisi perempuan kini mulai sejajar dengan laki-laki.

A.    Perempuan dalam Islam
Islam adalah agama yang sangat menghargai perempuan. Islam menghargai potensi perempuan secara utuh. Islam mengakui potensi perempuan untuk beribadah, dan untuk mencinta. Perempuan juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama seperti laki-laki. Misalnya saja tentang menuntut ilmu.
Sebagaimana sabda Rasulullah
طلب العلم فريضة على كل مسلمين والمسلمة
Artinya : “Menuntut ilmu itu wajib bagi muslim laki-laki dan muslim perempuan. (Zainuddin Azzarnuji, Ta'lim al Muta'allim)
                Dengan dasar tersebut, berarti perempuan juga wajib menuntut ilmu. Sebab Allah tidak akan membiarkan umatnya (perempuan) sebagai golongan yang “Kuper” yang tidak mengetahui apa-apa. Apalagi tidak mengetahui kewajibannya yang mutlak. Berarti, sebagai seorang perempuan kita juga harus mendapatkan hak pendidikan (ilmu) yang memang seharusnya kita dapatkan.
                Allah tidak melarang wanita muslim untuk mencari ilmu. Akan tetapi, masyarakat di zaman sekarang masih saja menganggap wanita yang berpendidikan sebagai suatu hal yang aneh. Padahal sudah jelas, Allahlah yang mewajibkannya untuk berpendidikan, dan mencai ilmu sebagai bekal hidupnya.
                Seperti halnya Rasulullah yang tidak melarang istrinya. Siti Aisyah untuk mendapatkan ilmu dan menjalani kehidupannya sebagai muslimah yang berpendidikan. Bahkan Rasulullah sendiri yang mengajarkan pendidikan tersebut pada Ummi Aisyah. Sehingga pada zamannya, Ummi Aisyah menjadi seorang wanita yang amat cerdas. Karena ilmu-ilmu yang didapatnya diajarkan langsung oleh Rasulullah SAW, suaminya. Ummi Aisyah sebagai  cermin seorang perempuan yang berpendidikan. Namun ia juga tetap menempatkan dirinya secara seimbang sebagai seorang istri. Sebab, tidak ada larangan bagi wanita untuk menjadi seseorang yang cerdas, mandiri, aktif, dan kreatif. Asalkan ia bisa menyeimbangkan kedudukannya sesuai Islam dan tetap menjadi seorang wanita yang berguna dalam publik. (FLP Yogyakarta, Karena Engkau Perempuan, hlm. 58).
                Wanita dalam publik hanyalah sebagai penyempurnaan kehidupan yang sebenarnya diperuntukkan bagi pria. Seperti dalam dunia karier. Sebenarnya peranan wanita dalam publik ini juga diperbolehkan. Asalkan kita juga mengembalikannya pada ketentuan dasar tentang kodrat seorang perempuan. Bukan berarti wanita dilarang keras untuk mengembangkan potensi dalam dirinya ataupun dilarang berkumpul dalam sebuah forum. Dan kita tidak perlu mengorbankan salah satu peran kita jika kita memang mampu menjalani keduanya. Apabila kita mempunyai potensi diri yang memang seharusnya disalurkan dalam publik. Tidak harus memilih salah satu darinya. Tetapi hanya perlu mengaturnya untuk dapat dijalankan secara seimbang.
                Keaktifan, kecerdasan dan kekreatifan seorang wanita dapat disalurkan dengan berbagai cara. Seperti seorang wanita yang berkumpul dalam sebuah forum semisal muslimatan atau PKK. Ataupun seorang ustadzah yang mengajar anak didiknya dalam sebuah madrasah maupun dirumahnya. Seperti yang dilakukan Siti Aisyah yang mengajarkan ilmu pada setiap orang yang ingin belajar darinya.
                Jikapun penyaluran bakat seorang wanita melalui sebuah pekerjaan, itupun boleh saja. Asalkan tidak pernah melupakan kewajibannya sebagai wanita. Bukan seperti seorang pria yang memang diwajibkan mencari nafkah. Karena pada dasarnya wanita itu dicarikan nafkah oleh suaminya.
                Jadi, bukan berarti wanita boleh bekerja itu disalahartikan menjadi wanita wajib bekerja. Sebab pekerjaan itu hanyalah sebagai forum untuk menyalurkan bakat yang dimilikinya.
                Untuk masalah mengamalkan ilmunya ini, dalam Islam tidak melarang wanita hidup dalam lingkup publik. Wanita juga berpotensi untuk lebih produktif dalam dunia publik. Karena publikpun menanti wanita-wanita cerdas yang juga mampu menyelamatkan dunia. Dengan adanya wanita sebagai konstributor bagi penyelamat umat manusia, berarti mereka juga ikut dalam proses pembentukan wanita-wanita lain agar luas ilmunya. Tentunta juga agar dapat menyeimbangkang peran dirinya dalam Islam dan publik
                Dalam Islam, wanita tidak akan terkurung untuk mengkonstribusikan kemampuannya dalam publik. Marilah sejenak kita renungi ucapan seorang Neno Warisman, yang mengatakan :
                “Islam menghargai potensi perempuan secara utuh. Islam mengakui potensi perempuan untuk beribadah. Islam mengakui potensi perempuan untuk mencinta.       Islam mengakui potensi perempuan untuk hamil, melahirkan, dan menyusui.        Islam mengakui potensi perempuan akan keindahan. Islam mengakui potensi perempuan untuk bekerja keras dan berusaha. Islam mengakui potensi perempuan untuk maju. Islam mengakui seluruh potensi perempuan dari sektor manapun ia beraktivitas, sementara kebudayaan lain hanya mengakui potensi perempuan  saat ia mendapatkan uang.” (FLP Yogyakarta, Karena Engkau Perempuan, hlm. 82).
                Dengan sebaris kata mutiara dari Neno Warisman tersebut, sudah kita ketahui jelas, Islam tidak menghalangi wanita untuk berada dalam lingkungan publik, Dan tentunya Islam tidak menghujat wanita karier. Karena Islam begitu menghargai potensi yang ada pada seorang wanita.
                Kita bisa belajar dari istri Rasulullah SAW, yaitu Siti Khadijah. Beliau adalah muslimah yang kaya raya sebagai seorang saudagar yang sukses. Beliau adalah istri seorang nabi, dan beliau juga menjadikan potensi dirinya untuk berkarier sebagai seorang saudagar.
                Namun ia juga berkedudukan sebagai seorang istri. Istri yang menurut pandangan islam dan juga dalam publik. Dan tentu keduanya harus bisa berjalan beriringan dan seimbang. Begitu juga Siti Aisyah, istri Rosulullah yang sangat muda beliau mengeluarkan potensinya pada publik dengan cara mengajarkan ilmu-ilmu yang didapatnya langsung dari Rosulullah. Potensi yang dimiliki wanita dalam islam dan publik juga juga seperti yang dimiliki oleh Asma binti Abu Bakar, yang sukses dalam islamiyah. Dalam artian sukses, mendidik putra-putrinya dan juga sukses menyelurkan potensi besarnya dalam bidang politik. Kemampuan wanita untuk memposisikan dirinya secara seimbang, patut kita hargai dan kita jadikan contoh sebagai wujud keberhasilan dalam menempatkan dirinya.
                Sebagai wanita, tentu saja kita merasakan kepuasan apabila bisa menempatkan diri secara seimbang diantara islam dan publik. Pandangan tentang wanita dalam publik, bukana berarti wanita mengekploitasi apa yang ada di dirinya hanya untuk publik. Terlalu berfikir sempit hanya tentang tanggung jawabnya terhadap pekerjaan, dan tidak menyadari bahwa islam pun menantikan perannya, meski islam meperbolehkan wanita menyalurkan potensinya dalam publik, bukan berarti wanita harus memikirkan dunia kariernya secara berlebihan. Apalagi jika pikiran itu berorientasi pada uang. Hanya memikirkan bagaimana agar perannya dalam publik bisa berbuah dengan uang, bukan itu yang seharusnya mereka cari, karena bukan tugas mereka sebagai perempuan untuk mencari uang, juga jangana pernah memikirkan bagaimana caranya agar bisa mendominasi dari laki-laki. Karena di zaman sekarang ini publik memang menawarkan kedudukan menggiurkan bagi wanita, apalagi bagi wanita-wanita yang memang diakui kecerdasan dan potensinya. Semoga aja kita tidak akan tertipu daya olehnya, jangan sampai kita melupakan tugas kita sebagai perempuan dalam kehidupan sehari-hari.

B.     Perempuan Berkarier
Memang diakui, perempuan di zaman sekarang ini telah berhasil menunjukkan eksistensinya dalam publik, mereka dapat memasuki ranah kerja yang dulunya didominasi para lelaki, bahkan sudah sering kita temui, para perempuan kini menduduki jabatan lebih tinggi dari pria dalam urusan pekerjaan. Tapi semua itu bisa mengubah kodrat dirinya sebagai perempuan, jangan sampai menyepelekan tugas utamanya dalam rumah tangga sesuai islam. Gunakan potensi yang ada pada diri kita untuk kabaikan orang lain. Jangan sampai menyalahgunakan keberhasilan kita dalam publik, juga jangan sampai kita diberikan julukan sebagai perempuan gila harta dan tahta, hanya karena obsesi kita yang berlebihan dalam dunia publik.(na’udzu billahi min dzalik).
Kitapun harus menyesuaikan waktu kita, agar tidak ada salah satu peran kita yang dikorbankan, karena disadari, islam menunggu satu peran kita dikorbankan. Karena disadari, Karena disadari, islam menunggu kita untuk berlaku bijaksana dalam kehidupan berkeluarga, dan publikpun menanti kita, membutuhkan saluran potensi dari kita.
Sebagai seorang wanita, kita harus bisa berlaku adil dan fleksibel bagi kehidupan kita sendiri.
Bisa berlaku bijaksana dalam setiap keputusan yang kita tentukan. Seperti halnya posisi kita sebagai perempuan karier. Berlaku fleksibel sesuai waktu yang telah ditentukan, serta mengatur kahidupan kita agar keduanya berjalan seimbang.
Sesuai hukum Islam tentang karier seorang wanita, tidak ada keharusan dalam syariat Islam. Kecuali meliputi 2 perkara yaitu hijab (penutup) dan malu.
Sedangkan kriteria-kriteria pekerjaan bagi wanita, menurut survei Abu Syuqah, realitas serikat wanita dalam berprofesi dimasa kerasulan diantaranya seperti pertanian, membuat kerjinan, produksi rempah-rempah, menyamak kulit, peternakan, mengajar menulis, dan merawat orang yang terluka.
Sedangkan fenomena masyarakat baru yang berhubungan dengan profesi wanita, diantaranya adanya kemajuan dalam segala bidang yang menunutut bantuan seorang wanita kepada yang lainnya; adanya kebebasan dalama keluarga dan jarak kematangan seorang lelaki serta kemampuan menghadapi kebebasan materi yang membuat rumah memerlukan biaya tambahan lebih banyak; meningkatnya kebutuhan hidup dan melemahnya pemasukan. (Dr. Akram Ridha,Tanggung Jawab Wanita Dalam Rumah Tangga, hlm. 128).
Abu Syuqah juga mengatakan bahwa rambu syariat bagi wanita publik di zaman sekarang ini, yang terpenting adalah pertama, memperbanyak pengajaran yang layak bagi wanita. Kedua, wanita harus menggunakan waktunya dengan sebaik mungkin dan jangan rela dengan pengangguran. Ketiga, istri bertanggung jawab menjaga rumah dan anak-anaknya dengan sebaik mungkin. Keempat, bekerja bukan tujuan mutlak, melainkan karena kebutuhan untuk mencari nafkah saat suami dalam keadaan lemah, atau kebutuhan komunitas yang dilaksanakan para wanita.
Sedangkan Dr. Yusuf Qardlawi memaparkan syarat-syarat wanita boleh bekerja sebagai berikut:
1.      Pekerjaan itu tidak bertentangan dengan ketentuan syariat islam. Artinya pekerjaan itu tidak di haramkan, atau tidak memberi peluang untuk berbuat haram.
2.      Hendaknya wanita secara istiqomah berpegang teguh terhadap garis-garis moralitas islam. Setiap kali keluar rumah, baik dalam hal berpakaian, berbicara, berjalan, dan berkelakuan. Sebagaimana dijelaskan dalam al-qur’an surat An-Nr ayat 31, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan”.
3.      Pekerjaan itu tidak sampai meninggalkan kwajiban-kewajiban lain yang tidak boleh diabaikan. Seperti kewajiban terhadap suami dan anak-anaknya. Sebab itulah pekerjaan pokok dan kewajibannya yang utama. (Dr. Yusuf Qardlawi, Jangan Menyesal Menjadi wanita, hlm. 200)
Dan yang perlu diperhatikan para wanita muslimah adalah mereka harus mampu memilah-milah pekerjaan, dan menciptakan suasana yang kondusif. Sehingga wanita Islam dapat bekerja dengan baik.

III.   KESIMPULAN
1.  Dalam Islam, menempati posisi terhormat. Surga yang menjadi cita-cita setiap muslim bahkan diletakkan di bawah "kaki ibu". Ini menandakan betapa perempuan sangat berperan dalam kehidupan. Sejarah Islam juga menunjukkan bahwa perempuan ikut berpartisipasi dalam pengembangan Islam. Islam juga memberikan hak yang sama di dalam bidang intelektual, menuntut ilmu secara mendalam dan leluasa, melaksanakan berbagai aktivitas dan tanggung jawab sosial, serta menyalurkan potensi yang dimilikinya pada publik.
2.  Dalam masyarakat kita sekarang ini, perempuan berkarier sudah menjadi hal yang biasa. Hal ini mestinya tidak menjadi masalah. Asalkan kariernya di bidang yang tidak menyebabkan hakikat dirinya sebagai perempuan hilang, dan tidak pula memberatkan perempuan karena perempuan dari beberapa segi punya keterbatasan, seperti tenaga misalnya. Maka harus ada batasan-batasan bagaimana perempuan bisa berkarier sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan di atas.
3.  Berkarier bukanlah segala-galanya bagi permpuan. Perempuan punya tugas yang lebih utama, yaitu sebagai pengelola rumah tangga. Perempuan di belahan dunia manapun selalu dirindukan kasih sayangnya oleh anak-anak. Perempuan juga punya tugas melayani suami. Oleh karena itu, perempuan yang berkarier  mesti bisa membagi tugas. Bisa menyeimbangkan antara tugas di rumah dengan berkarier di luar rumah. Ini memang berat bagi perempuan. Tapi ini adalah risiko kehidupan perempuan yang berkarier.

IV.   PENUTUP
Secara Islam, seorang wanita tidaklah di haramkan untuk bekerja, dan tetap mendapatkan hak-haknya sebagai umat manusia, seperti halnya seorang lelaki. Namun ada rambu-rambu yang di berikan pada seorang perempuan publik agar dirinya tidak mengabaikan tugas pokoknya sebagai seorang perempuan. Sekali lagi Islam tidak akan menghalangimu untuk menyalurkan potensi umatnya. Karena Islam begitu menghargai potensi seorang perempuan. Dengan itu, para perempuan harus bersikap seimbang dalam kehidupannya antara peran dalam kehidupan berumah tangga dengan peran di publik.
Demikianlah karya tulis yang dapat saya sajikan. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama para perempuan Islam yang juga berkarier dalam publik. Kritik dan saran selalu saya nantikan untuk kelanjutan karya saya yang lain, agar dapat menjadi lebih baik.
                   “Wallahu A’lam”



DAFTAR PUSTAKA

-    Al-Qur'an Al-Karim
-    Azzarnuji, Zainuddin, Ta'lim al Muta'allim, Semarang: Karya Toha Putra
-     Heliana, Lia, 2007, A-Z Menjadi Wanita Terindah, Solo: Ziyad Visi Medis.
-   Qardlawi, Yusuf, 2004, Jangan menyesal Menjadi Wanita, Jogjakarta: Diva Press.
-    Ridha, Akram, 2005, Tanggung Jawab Wanita Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Amzah.
-  Widhiyoga, Gajar, (dkk) 2007, Karena Engkau Perempuan, Jakarta: Gema Insani.

*) Siswi MA NU Miftahul Falah Cendono, nominasi karya tulis ilmiah yang digelar LPM Paradigma STAIN Kudus tahun 2010. Sayang kalo dibuang, hehe.

No comments :

Post a Comment