Indonesia adalah negara demokrasi, sebagaimana yang didengungkan Abraham Lincoln: from the people, by the people and for the people. Entah dari mana istilah itu dia dapat yang jelas Indonesia melaksanakan pemerintahan berkedaulatan rakyat sesuai undang-undang dasar.
Apakah anda setuju dengan ungkapan politisi yang menyatakan Indonesia benar-benar Negara yang becermin dengan asas demokrasi? Bagaimana dengan pemilihan gubernur Jawa Timur yang awalnya berlangsumg ‘demokratis’ berakhiir dengan kisruh, bagaimana dengan Pilkades yang rentan dengan moneypolitic, bagaimana juga dengan kasus sengketa tanah, penertiban PKL yang melahirkan teriakan histeris dan perlawanan terhadap Satpol PP? Apakah ini Negara demokrasi? Bagaimana juga dengan tindakan tangan-tangan yang merampok hak rakyat masih berkeliaran di panggung politik. Fenomena ini adalah realitas yang tidak bisa kita elakkan.
Benar juga kata Gus Dur bahwa Indonesia masih dalam tahap belajar berdemokrasi. Lalu cara preventif untuk membendung demokrasi yang ‘melenceng’ semacam hal diatas adalah mencari akar permulaan penanaman sikap tersebut dan menggantinya dengan substansi atau nilai demokrasi yang moderat dan etis, yang tidak lain adalah pendekatan terhadap system pendidikan negara kita.
DEMOKRASI SEBAGAI HAK ASASI
Sebelum kita mengurai permasalahan di atas, mari kita tinjau kembali hakekat demokrasi.
Pemikiran awal kita tentang demokrasi adalah pemerintahan yang berkedaulatan rakyat (demos: rakyat, cratos: kedaulatan/ kekuasaan) atau istilahnya pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Padahal sebenarnya dmokrasi tidak sebatas pada hal system pemerintahan saja. Menurut kaum modernis, demokrasi merupakan suatu sistem nilai dan etika yang mengutamakan keadilan berkerakyatan, sebagaimana ungkapan seorang filosof: “ Justice saves, absolute justice save absolutely. If democracy doesn’t bring justice, we don’t need democracy” (Keadilan akan menyelamatkan, keadilan yang sempurna pasti menyelamatkan. Jika demokrasi tidak membawa pada situasi yang adil, maka kita tidak butuh apapun dari demokrasi). Jadi ketika kita berbicara tentang demokrasi secara tidak langsung kita terpaut dengan masalah sosial, budaya, dan agama, termasuk pula masalah pendidikan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa prinsip-prinsip demokrasi menurut Masykuri Abdillah terdiri dari persamaan, kebebasan, dan pluralisme. Kalau ketiga prinsip itu dikaitkan dengan pendidikan maka bisa diinterpretasikan bahwa prinsip persamaan memberi penegasan bahwa setiap siswa/ peserta didik baik dari keluarga berada maupun sederhana dan miskin mempunyai persamaan kesempatan dan kesamaan kedudukan dalam memperoleh pendidikan dan prestasi. Begitu pula dengan prinsip kebebasan yang menegaskan bahwa setiap siswa bebas mengikuti kegiatan ekstrakurikuler dan berorganisasi serta bebas mengemukakan pendapat dan kritik terhadap proses pembelajaran. Sedangkan prinsip pluralisme memberikan penegasan dapat pengakuan bahwa keragaman budaya, bahasa, etnis, agama, dan sebagainya sebagai condition sainquo non (sesuatu yang tidak bisa terelakkan) dalam pendidikan atau lebih dikenal dengan system pendidikan multikultural.
Nilai Demokrasi Di Sekolah
Sejak reformasi bergulir di negeri ini, atmosfer demokrasi berhembus kencang di segenap lapis dan lini kehidupan masyarakat. Masyarakat pun menyambut “paradaban” baru itu dengan antusias. Kebebasan yang terpasung bertahun-tahun lamanya kembali berkibar di atas panggung kehidupan sosial.
Meskipun demikian, atomsfer demokrasi itu tampaknya belum diimbangi dengan kemaTangan, kedewasaan, dan kearifan, sehingga kebebasan seolah-olah berubah menjadi “hukum rimba”. Mereka yang tidak sepaham dianggap sebagai “kerikil” demokrasi yang mesti disingkirkan. Contoh paling nyata adalah meruyaknya berbagai aksi kekerasan yang menyertai perhelatan pilkada di berbagai daerah beberapa waktu yang lalu. Pihak yang kalah bertarung tidak mau menerima kekalahan dengan sikap lapang dada. Jika perlu, mereka memaksakan diri untuk melakukan tindakan anarki yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.
Jika kondisi semacam itu terus berlanjut, bukan tidak mungkin benih-benih demokrasi di negeri ini akan layu sebelum berkembang. Bagaimana mungkin niolai-nilai demokrasi bisa tumbuh dan berkembang secara kondusif kalau demokrasi dimaknai sebagai sikap besar kepala dan ingin menang sendiri? Bagaimana mungkin atmosfer demokrasi mampu menumbuhkan kedamaian, keadilan, dan ketenteraman kalau perbedaan pendapat ditabukan?
Dogma yang Menyesatkan
Sebenarnya pendidikan demokrasi di negeri ini bukanlah barang baru. Sejak 1957 hingga kini, Indonesia telah memiliki dan melakukan pendidikan demokrasi bagi warga negaranya. Namun, jika kita mengacu pada realitas di atas panggung sosial politik di negeri ini, secara jujur harus diakui, nilai-nilai demokrasi belum sepenuhnya bisa diapresiasi oleh segenap komponen bangsa. Perilaku politik kaum elite, misalnya, dinilai cenderung masih konservatif dan masih berorientasi pada politik kekuasaan dengan pijakan semangat primordialisme, baik yang berbaju kultural maupun keagamaan. Mainstream kalangan elite ini pun pada kahirnya akan mudah berimbas ke bawah dalam bentuk perilaku politik massa. Dalam konteks demikian, ada benarnya jika ada pandangan yang menyatakan bahwa pendidikan demokrasi yang dilakukan pemerintah sepanjang kekuasaannnya telah gagal menghasilkan warga negara yang demokratis.
Kegagalan pendidikan demokrasi, dalam pandangan Azyumardi Azra (2001) dapat dilihat dalam tiga aspek yang saling terkait satu sama lainnya. Pertama, secara substantif, pelajaran PPKn, Pendidikan Pancasila dan Kewriraan tidak dipersiapkan sebagai matei pendidikan demokrasi dan kewarganegaraan. Kedua, secara metodologi pembelajarannya bersifat indoktrinatif, regimentif, monologis, dan tidak partisipatoris. Ketiga, subjek material lebih bersifat teoretis daripada praksis (Azra, 2001).
Selain faktor tersebut, menurut hemat penulis, kegagalan penanaman nilai-nilai demokrasi juga tidak terlepas dari buruknya pengakaran nilai-nilai demokrasi dalam dunia pendidikan kita. Sekolah bukan lagi menggambarkan masyarakat mini yang mencerminkan realitas sosial dan budaya, melainkan telah menjadi ruang karantina yang membunuh kebebasan dan kreativitas siswa didik. Guru belum mampu bersikap melayani kebutuhan siswa berdasarkan prinsip kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan –sebagai pilar-pilar demokrasi– tetapi lebih cenderung bersikap bak “diktator” yang memosisikan siswa sebagai objek yang bebas dieksploitasi sesuai dengan selera dan kepentingannya. Masih menjadi sebuah pemandangan yang langka ketika seorang guru tidak sanggup menjawab pertanyaan muridnya, mau bersikap ksatria untuk meminta maaf dan berjanji untuk menjawabnya pada lain kesempatan. Hampir sulit ditemukan, siswa yang melakukan kekhilafan diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan diri. Yang lebih sering terjadi adalah pola-pola indoktrinasi dan dogma-dogma menyesatkan. Siswa diposisikan sebagai pihak yang paling bersalah sehingga harus menerima sanksi yang sudah dirumuskan tanpa melakukan “kontrak sosial” bersama siswa. Ketika ada siswa yang mencoba bersikap kritis dengan bertanya: “Mengapa kalau guru terlambat tidak mendapatkan sanksi, sedangkan kalau siswa yang terlambat akan dikenai hukuman tanpa pembelaan? Bak seorang diktator, sang guru akan menjawab secara dogmatis bahwa hal itu sudah menjadi peraturan yang tak boleh ditawar-tawar lagi. Sungguh, sebuah dogma menyesatkan yang bisa membunuh nilai-nilai demokrasi dalam jiwa dan kepribadian siswa.
Magnet Demokrasi
Saat ini, negeri kita tampaknya membutuhkan model pendidikan demokrasi yang baru dalam dunia persekolahan kita. Idealnya, upaya membumikan nilai-nilai demokrasi tidak hanya dibebankan kepada mata pelajaran tertentu, seperti PPKn, misalnya. Akan tetapi, perlu ada kesamaan visi untuk menjadikan prinsip-prinsip demokrasi sebagai “roh” yang mewarnai kegiatan pembelajaran dengan mata pelajaran apa pun. Substansi pembumian nilai-nilai demokrasi bukan lagi dilakukan secara dogmatis dan indoktrinasi melalui ceramah, melainkan sudah dalam bentuk perilaku nyata sebagai perwujudan kultur demokrasi yang sesungguhnya.
Tujuan yang jendak dicapai melalui model pendidikan demokrasi semacam itu adalah tumbuhnya kecerdasan warga sekolah, baik secara spiritual, emosional, maupun sosial, rasa tanggung jawab, dan peran serta segenap komponen dunia persekolahan. Melalui upaya model pendidikan ini diharapkan akan terlahir kualitas generasi masa depan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial sehingga pada gilirannya kelak mampu menopang tumbuhnya iklim civil society (masyarakat madani) di Indonesia.
Seiring dengan berhembusnya iklim demokrasi di negeri ini, sudah saatnya dilakukan upaya serius untuk membumikan nilai-nilai demokrasi di kelas. Prinsip kebebasan berpendapat, kesamaan hak dan kewajiban, tumbuhnya semangat persaudaraan antara siswa dan guru harus menjadi “roh” pembelajaran di kelas pada mata pelajaran apa pun. Interaksi guru dan siswa bukanlah sebagai subjek-objek, melainkan sebagai subjek-subjek yang sama-sama belajar membangun karakter, jatidiri, dan kepribadian. Profil guru yang demokratis tidak bisa terwujud dengan sendirinya, tetapi membutuhkan proses pembelajaran. Kelas merupakan forum yang strategis bagi guru dan murid untuk sama-sama belajar menegakkan pilar-pilar demokrasi.
Bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantoro, mewariskan semangat “ing madya mangun karsa” yang intinya berporos pada proses pemberdayaan. Di sekolah, guru senantiasa membangkitkan semangat berekplorasi, berkreasi, dan berprakarsa di kalangan siswa agar kelak tidak menjadi manusia-manusia robot yang hanya tunduk pada komando. Dengan cara demikian, kelas akan menjadi magnet demokrasi yang mampu menggerakkan gairah siswa untuk menginternalisasi nilai-nilai demokrasi dan keluhuran budi secara riil dalam kehidupan sehari-hari.
Sudah bukan zamannya lagi, guru tampil bak diktator yang menggorok dan membunuh kebebasan dan kreativitas siswa dalam berpikir. Berikan ruang dan kesempatan kepada mereka di kelas untuk tumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang kritis dan dinamis. Tugas dan fungsi guru adalah menjadi fasilitator dan mediator untuk menjembatani agar siswa tidak tumbuh menjadi pribadi mekanistik yang miskin nurani dan antidemokrasi.
Bukankah membangun pribadi yang demokratis merupakan salah satu fungsi pendidikan nasional sebagaimana tersurat dalam pasal 3 UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas? Kalau tidak dimulai dari ruang kelas, kapan anak-anak bangsa ini akan belajar berdemokrasi?
Satu lagi yang perlu kita renungkan tentang peryataan Fauz Noor dalam perdebatan tentang sesuatu yang mengganjal akan keberadaan sekolah. Tampaknya ada yang salah dalam system pendidkan kita. Begitu gencar guru menakut-nakuti murid tentang perkembanagn zaman dan pasar bebas. Cuma orang yang mengerti teknologilah yang akan bisa bertahan. Tapi sepertinya ironis, di satu sisi kita harus berkenalan dengan teknologi, di sisi lainbegitu repotnya guru melarang muridnya menyontek. Nilai kertas ujian tidak mengungkapkan kejujuran intelektual. Terutama dalam dunia perkuliahan, sudah zamannya pendidikan menyajikan soal ujian yang aplikatif, yang berimplementasi langsung degan kehidupan sehari-hari, bukan sekedar soal pilihan ganda yang banyak dipandang sebagai soal yang membodohi, termasuk juga tentang materi pendidikan berdemokrasi. Menurut Fauz Noor, bagi orang yang mengeri perkembanagn zaman dan bisa arif menyikapinya, nyontek adalah keharusan. Tolol sekali jika kita tidak memanfaatkan perpustakaan, memubazirkan kamus, tidak tahu ensiklopedi, buku-buku dan browsing di internet, sebagaimana ungkapan Ali bin Abi Tholib:”Man husni al-mar’I ilmuhu bi zamanihi”
Mengembangkan Demokrasi di Sekolah
Menurut analisis penulis, ada tiga substansi dalam pendidikan yang bisa diusung sebagai ladang penanaman/ penerapan demokrasi.
1. Ujian Nasional
Sebagaimana yang sekarang diperbincangkan bahwa ujian nasional dipandang sebagai sistem ujian yang rentan penyelewengan dan kecurangan. Hal ini tidak lain terjadi karena Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP) yang kurang demokratis. Bagaimana mungkin proses standarisasi pendidikan bisa terwujud sedangkan pemerataan mutu pendidikan belum menyeluruh. Bagaimana mungkn sekolah berstandar internasional mengerjakan soal dan kualifikasi yang sama dengan sekolah MEWAH (Mepet Sawah). Akhirnya cara yang ditempuh pihak sekolah dan guru adalah memberi bocoran/ kecuragan untuk menyelamatkan nama baik sekolahnya. Maka perlu ditinjau ulang mengenai system dan pelaksanaan UN agar lebih terkesan demokratis.
2. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
KTSP muncul sebagai pembaharu kurikulum sentralistik dengan mentiadakan system otoritas Dinas Pendidikan Pusat. Setiap satuan pendidikan diberi keleluasaan untuk menentukan kurikulum yang sesuai denagn kondisi sekolah dengan standar manajemen yang ditentukan oleh BNSP. Sudah sewajarnya kurikulum ini diterapkan sebagai bentuk pendidikan yang demokratis yag bagaimanapun hanya pihak sekolah sendiri yang tahu metode apa yang baik dan cocok untuk diterapkan pada proses belajar mengajar. Hendaknya pula diadakan semacam kontrak belajar sebagi norma yang disepakati bersama untuk mewujudkan pembelajaran yang menyenangkan, kreatif dan tidak menekan siswa.
3. Organisasi Ekstra dan Intra Sekolah
Dalam setiap jenjang pendidikan pastilah memiliki organisasi siswa baik ekstra maupun intra sekolah sebagai wahana pengembanagn kreativitas siswa terutama dalam hal leadership maupun berdemokrasi tentunya. Dalam jenjang sekolah menengah kita mengenal OSIS dengan berbagai kegiatan ekstrakurikuler maupun kegiatan partisipasi kepada sekolah. Nilai demokrasi bisa ditanamkan pada saat kegiatan rapat rutinan, rapat kerja, pemilian ketua osis dan lain sebagainya yang melibatkan guru dengan siswa dalam satu forum.
Sedangkan di kampus/ perguruan tinggi lebih menekankan lagi prinsip-prinsip demokrasi atau istilah bekennya ‘miniatur negara’ yang lembaganya terdiri dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang menduduki posisi presiden dan kabinet. Ada pula Dewan Perwakilan Mahasiswa yang menduduki posisi DPR-MPR dan Himpunan Mahasiswa JUrusan yabg setara denagn LSM di ‘miniatur negara’ tersebut. Ada juga Uit Kegiatan Mahasiswa yang baik dalam bidang seni, mental, kepemmpinan religius, edukasional, dan sebagainya. Maka pantaslah apabila mahasiswa diberi amanat menjadi agent of change bagi bangsa dan masyarakat, bisa menerapkan demokrasi di organisasinya dan diaplikasikan ke masyarakat luas.
Demikian apabila prinsip-prinsip demokrasi bisa ditanamkan di dunia awal kita yaitu pendidikan, niscaya akan menjadi bekal kita dalam hidup bernegara terutama yag diberi kesempatan terjun di dunia politik.
SIMPULAN
Langkah awal untuk mengubah tatanan negara ini adalah penanaman nilai-nilai demokrasi pada sistem pendidikan kita melalui kurikulum, system ujian, dan organisasi intra dan ekstra sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Hendra Nurtjahjo. 2006. Filsafat Demokrasi. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
A. Ubaidillah, dkk. 2000. Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM dan MAsyarakat Madani. IAIN JAkarta Press.
http://sawali.info/2008/01/01/membumikan-nilai-demokrasi-di-sekolah/
Fauz Noor. 2003. Setapak Sabda. Pustaka Filsafat: Bandung
Sejak reformasi bergulir di negeri ini, atmosfer demokrasi berhembus kencang di segenap lapis dan lini kehidupan masyarakat. Masyarakat pun menyambut “paradaban” baru itu dengan antusias. Kebebasan yang terpasung bertahun-tahun lamanya kembali berkibar di atas panggung kehidupan sosial.
Meskipun demikian, atomsfer demokrasi itu tampaknya belum diimbangi dengan kemaTangan, kedewasaan, dan kearifan, sehingga kebebasan seolah-olah berubah menjadi “hukum rimba”. Mereka yang tidak sepaham dianggap sebagai “kerikil” demokrasi yang mesti disingkirkan. Contoh paling nyata adalah meruyaknya berbagai aksi kekerasan yang menyertai perhelatan pilkada di berbagai daerah beberapa waktu yang lalu. Pihak yang kalah bertarung tidak mau menerima kekalahan dengan sikap lapang dada. Jika perlu, mereka memaksakan diri untuk melakukan tindakan anarki yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.
Jika kondisi semacam itu terus berlanjut, bukan tidak mungkin benih-benih demokrasi di negeri ini akan layu sebelum berkembang. Bagaimana mungkin niolai-nilai demokrasi bisa tumbuh dan berkembang secara kondusif kalau demokrasi dimaknai sebagai sikap besar kepala dan ingin menang sendiri? Bagaimana mungkin atmosfer demokrasi mampu menumbuhkan kedamaian, keadilan, dan ketenteraman kalau perbedaan pendapat ditabukan?
Dogma yang Menyesatkan
Sebenarnya pendidikan demokrasi di negeri ini bukanlah barang baru. Sejak 1957 hingga kini, Indonesia telah memiliki dan melakukan pendidikan demokrasi bagi warga negaranya. Namun, jika kita mengacu pada realitas di atas panggung sosial politik di negeri ini, secara jujur harus diakui, nilai-nilai demokrasi belum sepenuhnya bisa diapresiasi oleh segenap komponen bangsa. Perilaku politik kaum elite, misalnya, dinilai cenderung masih konservatif dan masih berorientasi pada politik kekuasaan dengan pijakan semangat primordialisme, baik yang berbaju kultural maupun keagamaan. Mainstream kalangan elite ini pun pada kahirnya akan mudah berimbas ke bawah dalam bentuk perilaku politik massa. Dalam konteks demikian, ada benarnya jika ada pandangan yang menyatakan bahwa pendidikan demokrasi yang dilakukan pemerintah sepanjang kekuasaannnya telah gagal menghasilkan warga negara yang demokratis.
Kegagalan pendidikan demokrasi, dalam pandangan Azyumardi Azra (2001) dapat dilihat dalam tiga aspek yang saling terkait satu sama lainnya. Pertama, secara substantif, pelajaran PPKn, Pendidikan Pancasila dan Kewriraan tidak dipersiapkan sebagai matei pendidikan demokrasi dan kewarganegaraan. Kedua, secara metodologi pembelajarannya bersifat indoktrinatif, regimentif, monologis, dan tidak partisipatoris. Ketiga, subjek material lebih bersifat teoretis daripada praksis (Azra, 2001).
Selain faktor tersebut, menurut hemat penulis, kegagalan penanaman nilai-nilai demokrasi juga tidak terlepas dari buruknya pengakaran nilai-nilai demokrasi dalam dunia pendidikan kita. Sekolah bukan lagi menggambarkan masyarakat mini yang mencerminkan realitas sosial dan budaya, melainkan telah menjadi ruang karantina yang membunuh kebebasan dan kreativitas siswa didik. Guru belum mampu bersikap melayani kebutuhan siswa berdasarkan prinsip kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan –sebagai pilar-pilar demokrasi– tetapi lebih cenderung bersikap bak “diktator” yang memosisikan siswa sebagai objek yang bebas dieksploitasi sesuai dengan selera dan kepentingannya. Masih menjadi sebuah pemandangan yang langka ketika seorang guru tidak sanggup menjawab pertanyaan muridnya, mau bersikap ksatria untuk meminta maaf dan berjanji untuk menjawabnya pada lain kesempatan. Hampir sulit ditemukan, siswa yang melakukan kekhilafan diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan diri. Yang lebih sering terjadi adalah pola-pola indoktrinasi dan dogma-dogma menyesatkan. Siswa diposisikan sebagai pihak yang paling bersalah sehingga harus menerima sanksi yang sudah dirumuskan tanpa melakukan “kontrak sosial” bersama siswa. Ketika ada siswa yang mencoba bersikap kritis dengan bertanya: “Mengapa kalau guru terlambat tidak mendapatkan sanksi, sedangkan kalau siswa yang terlambat akan dikenai hukuman tanpa pembelaan? Bak seorang diktator, sang guru akan menjawab secara dogmatis bahwa hal itu sudah menjadi peraturan yang tak boleh ditawar-tawar lagi. Sungguh, sebuah dogma menyesatkan yang bisa membunuh nilai-nilai demokrasi dalam jiwa dan kepribadian siswa.
Magnet Demokrasi
Saat ini, negeri kita tampaknya membutuhkan model pendidikan demokrasi yang baru dalam dunia persekolahan kita. Idealnya, upaya membumikan nilai-nilai demokrasi tidak hanya dibebankan kepada mata pelajaran tertentu, seperti PPKn, misalnya. Akan tetapi, perlu ada kesamaan visi untuk menjadikan prinsip-prinsip demokrasi sebagai “roh” yang mewarnai kegiatan pembelajaran dengan mata pelajaran apa pun. Substansi pembumian nilai-nilai demokrasi bukan lagi dilakukan secara dogmatis dan indoktrinasi melalui ceramah, melainkan sudah dalam bentuk perilaku nyata sebagai perwujudan kultur demokrasi yang sesungguhnya.
Tujuan yang jendak dicapai melalui model pendidikan demokrasi semacam itu adalah tumbuhnya kecerdasan warga sekolah, baik secara spiritual, emosional, maupun sosial, rasa tanggung jawab, dan peran serta segenap komponen dunia persekolahan. Melalui upaya model pendidikan ini diharapkan akan terlahir kualitas generasi masa depan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial sehingga pada gilirannya kelak mampu menopang tumbuhnya iklim civil society (masyarakat madani) di Indonesia.
Seiring dengan berhembusnya iklim demokrasi di negeri ini, sudah saatnya dilakukan upaya serius untuk membumikan nilai-nilai demokrasi di kelas. Prinsip kebebasan berpendapat, kesamaan hak dan kewajiban, tumbuhnya semangat persaudaraan antara siswa dan guru harus menjadi “roh” pembelajaran di kelas pada mata pelajaran apa pun. Interaksi guru dan siswa bukanlah sebagai subjek-objek, melainkan sebagai subjek-subjek yang sama-sama belajar membangun karakter, jatidiri, dan kepribadian. Profil guru yang demokratis tidak bisa terwujud dengan sendirinya, tetapi membutuhkan proses pembelajaran. Kelas merupakan forum yang strategis bagi guru dan murid untuk sama-sama belajar menegakkan pilar-pilar demokrasi.
Bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantoro, mewariskan semangat “ing madya mangun karsa” yang intinya berporos pada proses pemberdayaan. Di sekolah, guru senantiasa membangkitkan semangat berekplorasi, berkreasi, dan berprakarsa di kalangan siswa agar kelak tidak menjadi manusia-manusia robot yang hanya tunduk pada komando. Dengan cara demikian, kelas akan menjadi magnet demokrasi yang mampu menggerakkan gairah siswa untuk menginternalisasi nilai-nilai demokrasi dan keluhuran budi secara riil dalam kehidupan sehari-hari.
Sudah bukan zamannya lagi, guru tampil bak diktator yang menggorok dan membunuh kebebasan dan kreativitas siswa dalam berpikir. Berikan ruang dan kesempatan kepada mereka di kelas untuk tumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang kritis dan dinamis. Tugas dan fungsi guru adalah menjadi fasilitator dan mediator untuk menjembatani agar siswa tidak tumbuh menjadi pribadi mekanistik yang miskin nurani dan antidemokrasi.
Bukankah membangun pribadi yang demokratis merupakan salah satu fungsi pendidikan nasional sebagaimana tersurat dalam pasal 3 UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas? Kalau tidak dimulai dari ruang kelas, kapan anak-anak bangsa ini akan belajar berdemokrasi?
Satu lagi yang perlu kita renungkan tentang peryataan Fauz Noor dalam perdebatan tentang sesuatu yang mengganjal akan keberadaan sekolah. Tampaknya ada yang salah dalam system pendidkan kita. Begitu gencar guru menakut-nakuti murid tentang perkembanagn zaman dan pasar bebas. Cuma orang yang mengerti teknologilah yang akan bisa bertahan. Tapi sepertinya ironis, di satu sisi kita harus berkenalan dengan teknologi, di sisi lainbegitu repotnya guru melarang muridnya menyontek. Nilai kertas ujian tidak mengungkapkan kejujuran intelektual. Terutama dalam dunia perkuliahan, sudah zamannya pendidikan menyajikan soal ujian yang aplikatif, yang berimplementasi langsung degan kehidupan sehari-hari, bukan sekedar soal pilihan ganda yang banyak dipandang sebagai soal yang membodohi, termasuk juga tentang materi pendidikan berdemokrasi. Menurut Fauz Noor, bagi orang yang mengeri perkembanagn zaman dan bisa arif menyikapinya, nyontek adalah keharusan. Tolol sekali jika kita tidak memanfaatkan perpustakaan, memubazirkan kamus, tidak tahu ensiklopedi, buku-buku dan browsing di internet, sebagaimana ungkapan Ali bin Abi Tholib:”Man husni al-mar’I ilmuhu bi zamanihi”
Mengembangkan Demokrasi di Sekolah
Menurut analisis penulis, ada tiga substansi dalam pendidikan yang bisa diusung sebagai ladang penanaman/ penerapan demokrasi.
1. Ujian Nasional
Sebagaimana yang sekarang diperbincangkan bahwa ujian nasional dipandang sebagai sistem ujian yang rentan penyelewengan dan kecurangan. Hal ini tidak lain terjadi karena Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP) yang kurang demokratis. Bagaimana mungkin proses standarisasi pendidikan bisa terwujud sedangkan pemerataan mutu pendidikan belum menyeluruh. Bagaimana mungkn sekolah berstandar internasional mengerjakan soal dan kualifikasi yang sama dengan sekolah MEWAH (Mepet Sawah). Akhirnya cara yang ditempuh pihak sekolah dan guru adalah memberi bocoran/ kecuragan untuk menyelamatkan nama baik sekolahnya. Maka perlu ditinjau ulang mengenai system dan pelaksanaan UN agar lebih terkesan demokratis.
2. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
KTSP muncul sebagai pembaharu kurikulum sentralistik dengan mentiadakan system otoritas Dinas Pendidikan Pusat. Setiap satuan pendidikan diberi keleluasaan untuk menentukan kurikulum yang sesuai denagn kondisi sekolah dengan standar manajemen yang ditentukan oleh BNSP. Sudah sewajarnya kurikulum ini diterapkan sebagai bentuk pendidikan yang demokratis yag bagaimanapun hanya pihak sekolah sendiri yang tahu metode apa yang baik dan cocok untuk diterapkan pada proses belajar mengajar. Hendaknya pula diadakan semacam kontrak belajar sebagi norma yang disepakati bersama untuk mewujudkan pembelajaran yang menyenangkan, kreatif dan tidak menekan siswa.
3. Organisasi Ekstra dan Intra Sekolah
Dalam setiap jenjang pendidikan pastilah memiliki organisasi siswa baik ekstra maupun intra sekolah sebagai wahana pengembanagn kreativitas siswa terutama dalam hal leadership maupun berdemokrasi tentunya. Dalam jenjang sekolah menengah kita mengenal OSIS dengan berbagai kegiatan ekstrakurikuler maupun kegiatan partisipasi kepada sekolah. Nilai demokrasi bisa ditanamkan pada saat kegiatan rapat rutinan, rapat kerja, pemilian ketua osis dan lain sebagainya yang melibatkan guru dengan siswa dalam satu forum.
Sedangkan di kampus/ perguruan tinggi lebih menekankan lagi prinsip-prinsip demokrasi atau istilah bekennya ‘miniatur negara’ yang lembaganya terdiri dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang menduduki posisi presiden dan kabinet. Ada pula Dewan Perwakilan Mahasiswa yang menduduki posisi DPR-MPR dan Himpunan Mahasiswa JUrusan yabg setara denagn LSM di ‘miniatur negara’ tersebut. Ada juga Uit Kegiatan Mahasiswa yang baik dalam bidang seni, mental, kepemmpinan religius, edukasional, dan sebagainya. Maka pantaslah apabila mahasiswa diberi amanat menjadi agent of change bagi bangsa dan masyarakat, bisa menerapkan demokrasi di organisasinya dan diaplikasikan ke masyarakat luas.
Demikian apabila prinsip-prinsip demokrasi bisa ditanamkan di dunia awal kita yaitu pendidikan, niscaya akan menjadi bekal kita dalam hidup bernegara terutama yag diberi kesempatan terjun di dunia politik.
SIMPULAN
Langkah awal untuk mengubah tatanan negara ini adalah penanaman nilai-nilai demokrasi pada sistem pendidikan kita melalui kurikulum, system ujian, dan organisasi intra dan ekstra sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Hendra Nurtjahjo. 2006. Filsafat Demokrasi. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
A. Ubaidillah, dkk. 2000. Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM dan MAsyarakat Madani. IAIN JAkarta Press.
http://sawali.info/2008/01/01/membumikan-nilai-demokrasi-di-sekolah/
Fauz Noor. 2003. Setapak Sabda. Pustaka Filsafat: Bandung
No comments :
Post a Comment