“Lihatlah, mata sipit itu semakin menciut melihat angka.”
Sindir Joko, cowok yang sedari tadi menahan gelak. Deretan rumus dan angka yang
terpampang di papan tulis itu memang bukan pelajaran favoritku. Namun, guru
matematikaku yang super cool seolah-olah menggodaku dengan soal-soal rumitnya.
Seolah-olah dia tahu kalau aku semenjak awal pelajaran hanya konsen memandangi
wajahnya yang mirip Tom Cruze, aktor film mission impossible.
Benar-benar impossible kalau aku bisa menaklukkan soal garis singgung
lingkaran yang ku acuhkan tadi. Lebih baik disuruh push-up sebanyak seratus
kali daripada menanggung malu di depan kelas, terutama di depan Mr. Joe, begitu
aku memanggil guru matematikaku.
“Soalnya kurang jelas San?” celoteh Mr. Joe sembari
melangkah mengitari kelas. “Wajahnya pak yang kurang jelas.” Sahut teman seisi
kelas mengejek. Benar saja, wajahku pucat pasi menatap soal angka yang cuma aku
diamkan. Perlahan aku menggerakkan spidol, dan menulis rumus soal, berharap
penderitaan ini segera berakhir. Ternyata, nasib memihakku. Baru selesai aku
menuliskan rumus, bel istirahat berbunyi. Plong rasanya dada ini, sembari
bergaya genius di depan Mr. Joe.
“Soal di papan tulis itu dibuat PR ya, kumpulkan besok.
Silahkan Santi duduk kembali. Semoga besok siang tidak kurang semangat kalian
dalam mengikuti jam saya.” Pungkas Mr. Joe mengakhiri pelajaran. Hubunganku
dengan pelajaran yang satu ini memang buruk sejak dulu. Di kelas tujuh saja,
aku termasuk peringkat ketiga dari bawah dengan predikat nilai terburuk dalam
sejarahku. Di samping karena aku tidak suka dengan pelajarannya, banyak PR yang
diberikan, menurutku materi matematika kurang adaptif untuk otak sekelas
otakku. Bayangkan saja, materi aljabar dipelajari cuma hanya bikin otak pusing
mengibaratkan sesuatu dengan x dan y. “Nilainya saja gak jelas, kenapa
dipelajari.” Tukasku menganalogikan. Terlebih guru yang mengampu sangat kolot
dan otoriter dalam mengajarkan rumus-rumus itu. Bisa kebayang kalo rumus dan
angka itu ibarat sayur terong yang pahit, dipaksakan untuk ditelan
mentah-mentah tiap ketemu. Apa yang terjadi? Pastinya bakal muntah dan phobia
makan terong.
Di kelas delapan, pelajaran matematika mengalami kenaikan rating.
Pasalnya, selain guru yang mengajarnya sangat cool, metode mengajarnya sangat
unik. Mr. Joe bukan sarjana Matematika melainkan seorang insinyur. Namun, tidak
kalah jago dengan matematikawan ulung yang memenangi olimpiade nasional,
terlebih dalam membagi pengetahuannya tentang angka. Mr. Joe membagi pelajaran
matematika menjadi beberapa tema menarik, tentunya menyesuaikan silabus yang
sudah ditetapkan. Setiap bab maupun subbab dikelompokkan menjadi beberapa
kelompok dengan tema berdasarkan rumus yang digunakan, kemudian mengawali
pelajaran dengan cerita yang mengikuti alur materi yang akan disampaikan.
Bahkan tidak jarang cerita itu berasal dari pengalaman pribadnya atau bahkan
cuplikan curhat murid-muridnya.
Contohnya begini. Semester pertama kemarin, Mr. Joe
menceritakan mengenai sebuah cinta segitiga yang terjadi antara Mr. H, Mr. R
dan Miss S. Mr. H sudah menjalin hubungan asmara dengan Miss S selama satu
tahun di bangku sekolah. Selama itu pula mereka lebih menikmati romantisme
dibanding belajar dan mengerjakan tugas. Kebiasaan itu membuat mereka dicibir
oleh guru karena merosotnya prestasi keduanya. Wal hasil, keduanya berpisah
kelas dan Miss S bertemu dengan Mr. R. Singkat cerita Mr. R jatuh cinta dengan
Miss S dengan komitmen tidak akan mengganggu konsentrasi belajarnya dan akan
membantu jika Miss S mengalami kesulitan belajar. Miss S dilanda kegalauan
antara tetap bertahan dengan Mr. H atau memilih Mr. R yang notabennya adalah
bintang kelas.
Aku
menebak-nebak inisial H, R, dan S yang digunakan Mr. Joe. Usut punya usut,
ternyata mereka adalah kakak kelasku yang baru saja mengikuti Olimpiade Matematika
Provinsi (Mr. R dan Miss S) dan Pekan Olahraga dan Seni tingkat Daerah (Mr. H)
tahun ini. Dengan cerdik, guru tampan itu menganalogikan ceritanya dengan
materi relasi, fungsi dan korespondensi. Relasi diibaratkan sebagai hubungan
dimana pihak domain maupun kodomain memiliki kecenderungan untuk selingkuh
ataupun menjomblo. Sementara fungsi, hanya pihak kodomain yang memiliki
kecederungan untuk selingkuh ataupun menjomblo, sementara pihak domain memiliki
kecederungan setia dengan pasangannya. Adapun korenspondensi adalah hubungan
dimana pihak domain maupun kodomain sama-sama setia menjalin hubungan dengan
pasangannya.
“Aku termasuk mana ya?” pikirku dalam hati, sembari menyimak
penjelasan lanjutan dari Mr. Joe.
***
Aku seperti dirasuki syetan was-was, disusupi perasaan galau
dan gundah. Sejak peristiwa pagi lalu, semenjak cowok berdasi miring itu
memutuskan untuk menghindar dariku dengan alasan yang tidak masuk akal. “Aku
dan kamu sudah tidak seideologi lagi, jadi biarlah keadaan ini memisahkan kita.”
Mungkin, karena aku memilih karir sebagai polwan, sementara dia begitu sinis
memberitakan polemik kepolisian. Aku mengerti, karir kami menghambat hubungan
ini, terlebih saat interogasi melilit urat pikirmu semenjak peristiwa demonstrasi
di gerbang gedung DPR. Di sanalah pria yang kerap aku sapa Hary itu menyuarakan
ketidakbecusan DPR dalam menyusun APBD. Aku dengan atribut kepolisian hanya
bisa memandangnya dari pos penjagaan, tersembur gas air mata dan sesekali
tersentak dengan tembakan peluru membubarkan masa.
Selepas interogasi, Hary mengajakku menyeruput kopi bersama.
Hal yang membuat hubunganku dengannya semakin rumit, saat dia menyebut-nyebut
angka yang dia tuduhkan masuk ke kantong para petinggi kepolisian. “Delapan
miliar San, cukup untuk menghidupi warga kampung kita selama setahun.” Tukasnya
dengan nada meninggi. Aku hanya menggeleng kepada, seolah tidak menahu soal
nominal itu. Aku sadari, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi yang
aku geluti ini mengalami penurunan, semenjak para petingginya terjerat kasus
korupsi.
“Apakah permasalahan ini tidak membuatmu risih dengan
pekerjaanmu, Santi?” Begitu dia mulai menggedor komitmenku sedari dulu saat masih
di akademi kepolisian. “Atau kamu malah punya hasrat untuk ambil bagian
terhadap sistem yang bobrok itu?” Dia hampir membuatku tersentak. Aku memilih
untuk diam, menganalisis setiap kata yang terucap dari bibirnya. Dalam benakku,
aku akan buktikan bahwa aku bisa menjadi pengayom masyarakat dengan lencana
polisi di dadaku.
Hingga sampai suatu pagi, di tengah kemacetan jalan berhias
gerimis hujan, Hary menghampiriku dengan nafas tersengal. Seperti sedang
tergesa-gesa, dia memulai pembicaraan dengan sepatah kata. “Aku akan ke Medan,
menjadi bagian dari redaktur koran di sana.” Dia berhenti sejenak, mengambil
napas dan melanjutkan. “Selamat bertugas dan berpegang teguhlah pada komitmenmu
sebagai aparat penegak hukum.” Sembari mengulurkan tangan, dia mengujarkan kata
perpisahan yang begitu menyakitkan, membiarkan ideologi sinisnya memutuskan
hubungan yang sudah kami bangun semenjak duduk di bangku SMA.
***
Aku terus memandang kalung pemberiannya, memilin, dan
merenung. Terlintas akan sebuah penjelasan matematis dari Mr. Joe sepuluh tahun
silam, mengenai soal yang membuatku kikuk di depan kelas. Dia menggambarkan dua
buah lingkaran memiliki tiga hubungan dan kedudukan satu sama lain.
Berpotongan, bersinggungan, atau lepas. Persis, seperti sebuah hubungan
percintaan, di mana ada konflik, di sanalah muncul gesekan hati dan akhirnya
mereka pisah.
Dia melanjutkan, garis singgung persekutuan lingkaran dalam
terjadi bilamana ada dua lingkaran yang saling berjauhan dalam jarak tertentu,
dan terdapat garis yang menyinggung ke dalam di titik singgung masing-masing lingkaran.
Sehingga kita bisa menghitung garis singgung itu dengan mengakarkan kuadrat
jarak dikurangi kuadrat dari jumlah jari-jari lingkaran tersebut.
Malam ini, aku mencoba merenungkan rumus tersebut meniru
gaya Mr. Joe. Membayangkan kedua lingkaran itu adalah aku dan Hary dengan besar
ego masing-masing. Medan-Semarang menjadi jarak yang memisahkan titik pusat
cinta kami. Masalah yang menyinggung perasaan kami adalah, akumulasi dari jarak
yang memisahkan kami serta besar ego yang kami pertahankan.
“Cinta memang begitu rumit, seperti mengaca pada angka yang
menjejali rumus matematika.” Begitu kesimpulanku.
(bersambung)
No comments :
Post a Comment