Thursday, April 9, 2015

MA-TEMA-TIKA: Berkaca pada Angka


“Lihatlah, mata sipit itu semakin menciut melihat angka.” Sindir Joko, cowok yang sedari tadi menahan gelak. Deretan rumus dan angka yang terpampang di papan tulis itu memang bukan pelajaran favoritku. Namun, guru matematikaku yang super cool seolah-olah menggodaku dengan soal-soal rumitnya. Seolah-olah dia tahu kalau aku semenjak awal pelajaran hanya konsen memandangi wajahnya yang mirip Tom Cruze, aktor film mission impossible. Benar-benar impossible kalau aku bisa menaklukkan soal garis singgung lingkaran yang ku acuhkan tadi. Lebih baik disuruh push-up sebanyak seratus kali daripada menanggung malu di depan kelas, terutama di depan Mr. Joe, begitu aku memanggil guru matematikaku.
“Soalnya kurang jelas San?” celoteh Mr. Joe sembari melangkah mengitari kelas. “Wajahnya pak yang kurang jelas.” Sahut teman seisi kelas mengejek. Benar saja, wajahku pucat pasi menatap soal angka yang cuma aku diamkan. Perlahan aku menggerakkan spidol, dan menulis rumus soal, berharap penderitaan ini segera berakhir. Ternyata, nasib memihakku. Baru selesai aku menuliskan rumus, bel istirahat berbunyi. Plong rasanya dada ini, sembari bergaya genius di depan Mr. Joe.
“Soal di papan tulis itu dibuat PR ya, kumpulkan besok. Silahkan Santi duduk kembali. Semoga besok siang tidak kurang semangat kalian dalam mengikuti jam saya.” Pungkas Mr. Joe mengakhiri pelajaran. Hubunganku dengan pelajaran yang satu ini memang buruk sejak dulu. Di kelas tujuh saja, aku termasuk peringkat ketiga dari bawah dengan predikat nilai terburuk dalam sejarahku. Di samping karena aku tidak suka dengan pelajarannya, banyak PR yang diberikan, menurutku materi matematika kurang adaptif untuk otak sekelas otakku. Bayangkan saja, materi aljabar dipelajari cuma hanya bikin otak pusing mengibaratkan sesuatu dengan x dan y. “Nilainya saja gak jelas, kenapa dipelajari.” Tukasku menganalogikan. Terlebih guru yang mengampu sangat kolot dan otoriter dalam mengajarkan rumus-rumus itu. Bisa kebayang kalo rumus dan angka itu ibarat sayur terong yang pahit, dipaksakan untuk ditelan mentah-mentah tiap ketemu. Apa yang terjadi? Pastinya bakal muntah dan phobia makan terong.
Di kelas delapan, pelajaran matematika mengalami kenaikan rating. Pasalnya, selain guru yang mengajarnya sangat cool, metode mengajarnya sangat unik. Mr. Joe bukan sarjana Matematika melainkan seorang insinyur. Namun, tidak kalah jago dengan matematikawan ulung yang memenangi olimpiade nasional, terlebih dalam membagi pengetahuannya tentang angka. Mr. Joe membagi pelajaran matematika menjadi beberapa tema menarik, tentunya menyesuaikan silabus yang sudah ditetapkan. Setiap bab maupun subbab dikelompokkan menjadi beberapa kelompok dengan tema berdasarkan rumus yang digunakan, kemudian mengawali pelajaran dengan cerita yang mengikuti alur materi yang akan disampaikan. Bahkan tidak jarang cerita itu berasal dari pengalaman pribadnya atau bahkan cuplikan curhat murid-muridnya.
Contohnya begini. Semester pertama kemarin, Mr. Joe menceritakan mengenai sebuah cinta segitiga yang terjadi antara Mr. H, Mr. R dan Miss S. Mr. H sudah menjalin hubungan asmara dengan Miss S selama satu tahun di bangku sekolah. Selama itu pula mereka lebih menikmati romantisme dibanding belajar dan mengerjakan tugas. Kebiasaan itu membuat mereka dicibir oleh guru karena merosotnya prestasi keduanya. Wal hasil, keduanya berpisah kelas dan Miss S bertemu dengan Mr. R. Singkat cerita Mr. R jatuh cinta dengan Miss S dengan komitmen tidak akan mengganggu konsentrasi belajarnya dan akan membantu jika Miss S mengalami kesulitan belajar. Miss S dilanda kegalauan antara tetap bertahan dengan Mr. H atau memilih Mr. R yang notabennya adalah bintang kelas.
Aku menebak-nebak inisial H, R, dan S yang digunakan Mr. Joe. Usut punya usut, ternyata mereka adalah kakak kelasku yang baru saja mengikuti Olimpiade Matematika Provinsi (Mr. R dan Miss S) dan Pekan Olahraga dan Seni tingkat Daerah (Mr. H) tahun ini. Dengan cerdik, guru tampan itu menganalogikan ceritanya dengan materi relasi, fungsi dan korespondensi. Relasi diibaratkan sebagai hubungan dimana pihak domain maupun kodomain memiliki kecenderungan untuk selingkuh ataupun menjomblo. Sementara fungsi, hanya pihak kodomain yang memiliki kecederungan untuk selingkuh ataupun menjomblo, sementara pihak domain memiliki kecederungan setia dengan pasangannya. Adapun korenspondensi adalah hubungan dimana pihak domain maupun kodomain sama-sama setia menjalin hubungan dengan pasangannya.
“Aku termasuk mana ya?” pikirku dalam hati, sembari menyimak penjelasan lanjutan dari Mr. Joe.

***
Aku seperti dirasuki syetan was-was, disusupi perasaan galau dan gundah. Sejak peristiwa pagi lalu, semenjak cowok berdasi miring itu memutuskan untuk menghindar dariku dengan alasan yang tidak masuk akal. “Aku dan kamu sudah tidak seideologi lagi, jadi biarlah keadaan ini memisahkan kita.” Mungkin, karena aku memilih karir sebagai polwan, sementara dia begitu sinis memberitakan polemik kepolisian. Aku mengerti, karir kami menghambat hubungan ini, terlebih saat interogasi melilit urat pikirmu semenjak peristiwa demonstrasi di gerbang gedung DPR. Di sanalah pria yang kerap aku sapa Hary itu menyuarakan ketidakbecusan DPR dalam menyusun APBD. Aku dengan atribut kepolisian hanya bisa memandangnya dari pos penjagaan, tersembur gas air mata dan sesekali tersentak dengan tembakan peluru membubarkan masa.
Selepas interogasi, Hary mengajakku menyeruput kopi bersama. Hal yang membuat hubunganku dengannya semakin rumit, saat dia menyebut-nyebut angka yang dia tuduhkan masuk ke kantong para petinggi kepolisian. “Delapan miliar San, cukup untuk menghidupi warga kampung kita selama setahun.” Tukasnya dengan nada meninggi. Aku hanya menggeleng kepada, seolah tidak menahu soal nominal itu. Aku sadari, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi yang aku geluti ini mengalami penurunan, semenjak para petingginya terjerat kasus korupsi.
“Apakah permasalahan ini tidak membuatmu risih dengan pekerjaanmu, Santi?” Begitu dia mulai menggedor komitmenku sedari dulu saat masih di akademi kepolisian. “Atau kamu malah punya hasrat untuk ambil bagian terhadap sistem yang bobrok itu?” Dia hampir membuatku tersentak. Aku memilih untuk diam, menganalisis setiap kata yang terucap dari bibirnya. Dalam benakku, aku akan buktikan bahwa aku bisa menjadi pengayom masyarakat dengan lencana polisi di dadaku.
Hingga sampai suatu pagi, di tengah kemacetan jalan berhias gerimis hujan, Hary menghampiriku dengan nafas tersengal. Seperti sedang tergesa-gesa, dia memulai pembicaraan dengan sepatah kata. “Aku akan ke Medan, menjadi bagian dari redaktur koran di sana.” Dia berhenti sejenak, mengambil napas dan melanjutkan. “Selamat bertugas dan berpegang teguhlah pada komitmenmu sebagai aparat penegak hukum.” Sembari mengulurkan tangan, dia mengujarkan kata perpisahan yang begitu menyakitkan, membiarkan ideologi sinisnya memutuskan hubungan yang sudah kami bangun semenjak duduk di bangku SMA.
***
Aku terus memandang kalung pemberiannya, memilin, dan merenung. Terlintas akan sebuah penjelasan matematis dari Mr. Joe sepuluh tahun silam, mengenai soal yang membuatku kikuk di depan kelas. Dia menggambarkan dua buah lingkaran memiliki tiga hubungan dan kedudukan satu sama lain. Berpotongan, bersinggungan, atau lepas. Persis, seperti sebuah hubungan percintaan, di mana ada konflik, di sanalah muncul gesekan hati dan akhirnya mereka pisah.
Dia melanjutkan, garis singgung persekutuan lingkaran dalam terjadi bilamana ada dua lingkaran yang saling berjauhan dalam jarak tertentu, dan terdapat garis yang menyinggung ke dalam di titik singgung masing-masing lingkaran. Sehingga kita bisa menghitung garis singgung itu dengan mengakarkan kuadrat jarak dikurangi kuadrat dari jumlah jari-jari lingkaran tersebut.
Malam ini, aku mencoba merenungkan rumus tersebut meniru gaya Mr. Joe. Membayangkan kedua lingkaran itu adalah aku dan Hary dengan besar ego masing-masing. Medan-Semarang menjadi jarak yang memisahkan titik pusat cinta kami. Masalah yang menyinggung perasaan kami adalah, akumulasi dari jarak yang memisahkan kami serta besar ego yang kami pertahankan.
“Cinta memang begitu rumit, seperti mengaca pada angka yang menjejali rumus matematika.” Begitu kesimpulanku.
(bersambung)

No comments :

Post a Comment